Blurb :
Sebuah pernikahan yang hanya di dasari oleh cinta dari salah satu pihak, akankah berjalan mulus??
Jantung Arimbi seakan runtuh ketika pria itu mengatakan 'kita akan tidur terpisah'
Akankah ketulusan Arimbi pada putri semata wayang mampu membuat Bima, seorang TNI AU berpangkat Sersan Mayor membalas cintanya?
______
Arimbi terkejut ketika sosok KH Arifin, datang ke rumahnya bersama Pak Rio dan Bu Rio.
Yang lebih mengagetkannya, kedatangan mereka bertujuan untuk melamar dirinya menjadi istri dari putranya bernama Bima Sena Anggara, pria duda beranak satu.
Sosoknya yang menjadi idaman semenjak menempuh pendidikan di pondok pesantren milik Abi Arifin, membuat Arimbi berjingkrak dengan perjodohan itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Andreane, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
~ 12~
Setibanya di rumah sakit, kami langsung di arahkan ke ruang IGD.
Selagi perawat mengambil tindakan medis untuk Lala, aku dan mas Bima harus menunggu di luar. Mereka sama sekali tak mengijinkan kami masuk, padahal aku sudah memohon untuk menemani Lala, tapi tetap saja mereka melarangku.
Aku terpaku, duduk di bangku panjang depan ruangan yang pintunya tertutup rapat. Pintu yang menghalangiku dengan putri kecilku.
Sementara jauh di samping sebelah kiri, dengan sangat jelas bisa ku lihat sosok mas Bima yang juga tengah duduk bersandar sambil melipat tangan di dada.
Mengabaikannya, aku menatap layar ponsel yang menunjukan pose Lala.
Aku memang selalu mengambil gambarnya di ponselku dalam setiap aktifitasnya, itu karena aku selalu merindukan Lala. Apalagi di tengah-tengah kesibukanku ketika sedang bekerja, aku selalu menyempatkan diri untuk menatap wajah mungilnya demi untuk menuntaskan rasa rinduku pada gadis kecil yang sudah mencuri hatiku.
Menarik napas, aku mengeluarkannya sembari menyandarkan punggung di sandaran bangku yang ku duduki, napas yang kurasakan begitu berat.
Tiba-tiba saja, pikiranku tertuju pada moment tadi malam saat aku dan mas Bima terlibat perdebatan ringan. Hatiku seakan menuntut pertanggung jawaban atas apa yang terjadi pada Lala sekarang.
Apa ini dampak dari percekcokanku dengan mas Bima?
Sepertinya Lala memang sangat takut kehilanganku, dia takut sekali kalau aku pergi darinya.
Mendesah pelan, telingaku menangkap suara orang-orang silih berganti lalu lalang di area sekitar. Sebagian dari mereka melangkah menuju mushola rumah sakit.
"Bi, kamu mau ke mushola?" Mas Bima tiba-tiba berdiri di depanku.
Aku mendongak agar bisa melihatnya.
"Mas duluan saja"
Mas Bima sempat mengalihkan netranya ke layar ponselku yang menampilkan wajah putrinya.
"Kita gantian" imbuhku kembali menundukkan kepala.
Pria itu tak menjawab, dia langsung berbalik tanpa mengatakan apapun.
Jujur aku benci sikapnya yang seperti itu, dia memang tak menorehkan luka fisik, tapi psikisku benar-benar terluka.
Ragaku memang baik-baik saja, tapi jiwaku? Aku bahkan tak tahu seperti apa kondisinya. Aku terlalu lemah di hadapan Lala, sampai-sampai aku tak peduli dengan diriku sendiri.
Kemarahanku, nyeri yang ku rasakan, semua ku lampiaskan pada pekerjaan rumah, sementara mas Bima tak pernah tahu akan hal itu.
"Arimbi!"
Panggilan dari seseorang, membuatku tersadar bahwa tadi aku tengah melamun.
Seorang pria berpakaian snelli tiba-tiba ada di hadapanku, sontak aku berdiri menyamakan tinggi level kami.
"M-mas Saka?" aku mengernyit seraya menebak.
"Betul" Sahutnya tersenyum. "Kamu ... Arimbi kan?"
"Iya, aku Arimbi"
"Lama sekali nggak ketemu, Bi.. Apa kabar?" Pria matang ini mengulurkan tangan kanannya.
"Alhamdulillah, aku baik mas" Ku terima uluran tangannya untuk berjabat. "Mas Saka sendiri, apa kabar?"
"Alhamdulillah baik juga" Sesaat setelah menjawab, mas Saka melirik ke pintu IGD.
"Lagi nunggu seseorang, Bi?"
"Iya mas, dia lagi mendapatkan penanganan di IGD"
"Siapa?"
"Anak"
Mendengar jawabanku, kening mas Saka mengerut.
"Anak?" Balasnya seakan terkejut. "Kamu sudah menikah?"
"Sudah"
"Wah, aku telat berarti? padahal kamu satu-satunya alasanku melajang hingga detik ini"
"Mas Saka bisa saja" Aku sedikit tersipu, tapi tak serta merta membuatku melambung dengan candaannya. Dia memang menyukaiku, berkali-kali menyatakan cintanya padaku, tapi selalu ku tolak karena di hatiku ada nama mas Bima.
"Kapan menikah, kok nggak ngabarin?"
"Dua tahun lalu, tapi cuma ijab saja dan hanya keluarga inti yang ku undang"
Mas Saka mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Anaknya, laki-laki atau perempuan? Sudah umur berapa bulan?"
"Perempuan, mas. Usianya empat setengah tahun"
Mas Saka tampak mengerutkan kening untuk ke sekian kali. Sudah pasti dia terkejut, sebab usia pernikahanku baru dua tahun, tapi usia anakku sudah empat tahun.
"Dia anak dari istri pertamanya" tambahku menjawab kebingungan mas Saka.
"Oh .. Bercerai, atau istrinya meninggal?"
"Bercerai"
"Berarti, untuk pernikahanmu dengannya, belum di karuniai anak?"
Aku hanya tersenyum sambil menggelengkan kepala.
Mengedarkan pandangan, berharap mas Bima segera datang supaya percakapanku dengan mas Saka bisa berakhir. Namun sepertinya, belum ada tanda-tanda mas Bima kembali.
"Ngomong-ngomong, kamu sendirian saja, Bi" tanyanya setelah sempat hening selama sekian detik.
"Enggak mas, aku sama suamiku, tapi beliau sedang ke mushola"
"Oh ya sudah, aku tinggal dulu ya Bi, mau ke mushola?"
"Iya mas"
"Salam buat putrimu"
"Okay"
Beberapa menit setelah kepergian mas Saka, ku lihat mas Bima berjalan ke arahku sambil menempelkan ponsel di telinganya. Kalau boleh aku menebak, bisa jadi yang sedang bicara dengannya lewat telfon adalah seorang wanita.
Ah, lagi-lagi hatiku seperti tercubit ketika mengingat wanita cantik yang mas Bima temui di samping supermarket itu.
"Masih di tangani?" tanyanya ketika sudah berdiri di hadapanku.
Aku menganggukkan kepala untuk mengiyakan.
"Aku sudah telfon mami, beliau akan kesini jagain Lala, nanti kamu bisa pergi ke kantor"
"Lalu mas sendiri? akan jagain Lala juga?" aku memberanikan diri membalas tatapannya.
"Tidak, hari ini ada diklat untuk tugas minggu depan"
"Mas mau dinas lagi?"
Anggukan kepalanya membuatku faham.
"Daerah mana?"
"Kalimantan"
"Berapa minggu?" tanyaku yang entah kenapa, saat ini hati dan pikiranku bisa bekerja sama dengan baik. Aku bertanya pada mas Bima tanpa canggung dan takut sedikitpun.
"Dua bulan"
Ku telan salivaku sendiri.
Waktu yang cukup lama, tapi bukan pertama kalinya aku dan Lala di tinggal mas Bima untuk memenuhi tugas negara dalam waktu dua bulan. Dia bahkan pernah bertugas selama tiga bulan di Papua saat konflik di sana semakin memanas di tahun kemarin.
Tiba-tiba, terdengar suara pintu terbuka. Aku dan mas Bima menoleh secara bersamaan.
"Bunda Arimbi" kata si perawat dengan senyum lebar.
"Iya, sus?"
"Putrinya panggil-panggil bundanya"
"Boleh masuk, suster?" tanyaku sedikit berdebar. Jelas sekali aku menghkawatirkan kondisi Lala.
"Iya, tentu! Silakan masuk bunda!"
Aku dan mas Bima pun masuk.
"Ayah, bunda!" Suaranya sangat lemah dan parau, sungguh hatiku teriris mendengar panggilannya.
Tega kamu Bi, jika harus Pergi darinya?
Bersambung.
Ketemu Arimbima lagi besok ya..!
jujur pgn jg ada kisah ttg kalangan menengah ke bawah. Misal guru SD, dokter yg bertugas di desa terpencil dg kehidupan yg sederhana...ato apalah...😁
tp gpp lah ...nikmati kisah rumah tangganya sj...
lanjutt... .
pasti Bima ke hotel itu ngelabrak Gesya krn sdh blg yg engga2 ke Arimbi wkt itu. Gesya itu licik, pandai memanfaatkan situasi, mgkn pas Bima telp mo ngemabrak...Gesya sengaja menyuruh menemui di hotel. sengaja menciptakan kesalah pahaman dg dibantu Yoga....