DASAR MANDUL!
6 tahun sudah, Hanabi Lyxia harus mendengarkan kalimat tak menyenangkan itu dikarenakan ia belum bisa memberikan keturunan.
Kalimat sumbang sudah menjadi makanannya sehari-hari. Meskipun begitu, Hana merasa beruntung karena ia memiliki suami yang selalu dapat menenangkan hatinya. Setia, lembut bertutur kata dan siap membela saat ia di bully mertuanya.
Namun, siapa sangka? Ombak besar tiba-tiba menerjang biduk rumah tangga nya. Membuat Hana harus melewati seluruh tekanan dengan air mata.
Hana berusaha bangkit untuk mengembalikan harga dirinya yang kerap dikatai mandul.
Dapatkah wanita itu membuktikan bahwa ia bukanlah seorang wanita mandul?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dae_Hwa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
ATM12
"Ah~"
Lenguhan nikmat meluncur begitu saja dari bibir Hana, saat lidah Gavriil menyerbu lehernya. Lenguhan itu perlahan-lahan berubah menjadi jeritan kecil, kala Gavriil menelusuri dada Hana dan menciptakan jejak merah di sana.
Hana pasrah, ia tak sanggup lagi menahan gejolak panas yang mengalir di setiap peredaran darahnya. Rasanya bagai terbakar, rasanya nyaris meledak.
Jeritan-jeritan kecil kian terdengar dari dua insan di ruangan itu. Gavriil menghentak-hentakkan tongkat saktinya tanpa ampun. Entah sudah berapa kali pria itu memuntahkan bibit-bibit unggul nya pada wanita itu.
'AH, AKU INI KENAPA?!' jerit Hana dan Gavriil serentak di dalam hati dan berakhir dengan terkulai lemas di atas ranjang.
Flashback ON!
"Aku gak mau nikah, Ma! Gak akan pernah mau!"
Kesekian kalinya kalimat itu meluncur dari bibir Gavriil saat sang mama lagi dan lagi memintanya mencari pendamping hidup.
"Umur kamu sudah berapa, Nak? 32 tahun loh, kamu gak pengen ada yang bisa di peluk saat tidur?" goda sang Mama, Lestari.
"Bisa peluk samsul tuh." Bibir Gavriil mengerucut, seolah menunjuk boneka buaya nya yang diletakkan tepat di atas sofa.
"Meluk kok boneka sih, Nak. Atau, kamu gak pengen ada yang bisa di ajak bicara di dalam rumah ini?" tanya Lestari lagi.
Gavriil menepuk tangannya dua kali.
"Selamat malam, Tuan Gavril. Ada yang bisa Mimi bantu?"
"Mimi, berapa kah suhu cuaca malam ini?"
"Suhu cuaca malam ini adalah 19°C , Tuan Gavriil. Apakah ada yang bisa Mimi bantu kembali, Tuan?"
"Tidak, silahkan istirahat kembali."
"Baik, Tuan Ku. Semoga pelayanan Mimi memuaskan, see you later!"
KLIK! Benda canggih buatan Amerika yang menempel di dinding apartemen itu segera padam, setelah menjawab pertanyaan Gavriil.
"See? Jika tujuan menikah hanya untuk berpelukan dan mempunyai teman bicara, aku memiliki keduanya, Ma." Gavriil menyilangkan kedua kakinya, ujung jari nya bergoyang-goyang.
"Susah kalau ngomong sama anak badung kayak kamu tuh, Nak. Bikin gemes! Kamu gak pengen ngasih Mama cucu ya?" lirih Lestari.
"Aku gak suka anak kecil," jawab Gavriil cuek.
Lestari menggeleng-gelengkan kepala saat mendengar jawaban Gavriil. Bagi Lestari, isi kepala putranya itu setara dengan keras nya batu.
"Gak suka anak kecil, bukan berarti kamu bakal gak suka sama anak mu sendiri, Gavriil. Itu hal normal, atau ... jangan-jangan ... ini karena luka mu di masa lalu?" selidik Lestari.
Gavriil memutar malas bola mata nya, pria itu menghembuskan nafas kasar.
"Sudahlah, Ma. Jangan di bahas lagi."
"Ya, gak bisa gitu dong. Gav, kapan kamu bisa percaya sama ucapan Mama, Nak? -- Kamu itu gak mungkin akan jadi orang tua seperti dua orang yang sudah menorehkan luka dalam hidupmu itu," suara Lestari terdengar lirih dan sedih.
"Buah jatuh gak jauh dari pohonnya, Ma," sinis Gavriil dengan sorot mata sedingin serpihan es.
"Benar, buah jatuh gak jauh dari pohonnya. Kecuali, buahnya jatuh di sungai, dan hanyut. Nak, kamu itu ibarat buah yang sudah jatuh dan di bawa jauh oleh arus sungai, paham? Kamu gak akan pernah mewarisi sifat dan sikap dari ibu dan ayahmu itu. Kenapa begitu? Karena Mama sudah menggapai dan menarik jemari mungil mu untuk keluar dari kubangan lumpur itu," ucap Lestari mantap, tak ada sedikitpun keraguan yang tersirat di bola matanya.
"Jangan sebut-sebut lagi dua orang itu, Ma. Mereka gak layak mendapat gelar ayah dan ibu," sinis Gavriil.
Lestari menghela napas panjang mendengar perkataan yang terlontar dari mulut putra angkatnya itu.
Sementara Gavriil, pria itu secepat kilat menyambar ponselnya yang berdenting di atas meja. Ia tau, Hana lah yang menelfon nya. Gavriil sengaja mengatur nada dering yang berbeda khusus untuk kontak Hana, cinta pertama nya.
"Ya, Han? Ada apa?" sahut Gavriil lembut.
Lestari menelisik putra nya dengan tatapan, seumur-umur baru kali ini ia mendengar suara Gavriil selembut itu.
"HAH?" suara Gavriil nyaris menggelegar, bola mata nya membulat sempurna. "Hah? Apa sih?"
Ekspresi Gavriil semakin membuat Lestari menatap nya lekat-lekat.
"Kamu mau kemana, Nak?" tanya Lestari begitu Gavriil beranjak berdiri.
"Jemput temen," jawab Gavriil singkat.
"Malam-malam begini?" alis Lestari terangkat satu.
"Iya, yaudah Mama pulang deh. Udah jam satu malam loh ini. Liat tuh, supir Mama sampe ileran di pojokan." Gavriil menunjuk seorang pria yang tertidur sambil berdiri di sudut ruangan.
"Mama nginep sini aja deh," pancing Lestari.
"Ah, enggak enggak, Ma!" tolak Gavriil.
"Ih, kamu mau bawa cewek ya? Hayooo?" goda Lestari.
"Apaan sih, Ma, ah!" Wajah Gavriil merah merona. "Ya udah, aku pergi duluan ya, buruan Mama pulang!" peringat Gavriil yang sudah berdiri di ambang pintu.
Begitu pintu tertutup, Lestari lekas berlari menuju dapur dan membuka pintu kulkas. Di tatapnya belasan botol minuman teh melati favorit sang anak. Bibir wanita baya itu tiba-tiba saja tersenyum licik.
"Mama tau semua tentang mu, Gav. Pria sedingin kutub utara sepertimu, tiba-tiba di malam buta seperti ini pergi menjemput seorang wanita hanya karena satu panggilan telepon? Mama bisa tebak sebesar apa rasa cinta mu dan sepenting apa wanita itu bagi mu. Hah, andai saja kamu tidak mengalami masa-masa buruk itu, pasti kamu sudah menikahi wanita yang sangat penting ini bukan? -- Maaf, Gav, sepertinya Mama terpaksa harus lancang dan licik demi melihat mu naik ke pelaminan!"
Lestari segera melangkah, kembali menuju ruang tamu.
"Dim ... Dimas?!" panggil Lestari sambil menatap supirnya.
"I-iya, Bu?" Pria muda berseragam hitam tersentak, lalu mengusap liur yang mengalir dari sudut bibirnya.
Lestari membuka dompet dan mengeluarkan sepuluh lembar uang seratus ribu rupiah, lalu menyodorkan nya pada sang supir.
"Kamu pergi ke apotek yang ada di sebelah gedung apartemen ini. Katakan pada yang bertugas, Ibu Lestari memerintahkan untuk membeli produk paket A. -- Buruan!"
Sang supir gelagapan dan menyambar lembaran uang merah tersebut, meski linglung, ia tetap beranjak pergi melaksanakan perintah dari sang nyonya.
Lestari kembali melangkah menuju dapur, diambilnya sebuah kardus dan segera membuka pintu kulkas. Tangannya gesit menyambar belasan botol minuman dan menyimpannya di dalam kardus. Wanita itu menyisakan dua botol saja di dalam lemari pendingin.
Begitu supirnya kembali, Lestari lekas membongkar paket pesanan nya yang berisi obat perangsang dan jarum suntik. Segera saja wanita baya itu menjalankan aksinya.
"Maafkan Mama ya, Gav, selamat bersenang-senang!"
Flashback OFF!
Fajar mulai menyingsing, pagi itu cuaca begitu dingin. Dua insan yang tengah berpelukan di atas ranjang, mulai menggeliat.
Hana dan Gavriil membuka matanya perlahan-lahan, tak berselang lama, mereka saling beradu tatap.
Dua insan itu kembali memejamkan mata, berusaha bersikap tenang sambil berkata di dalam hati.
'Ini semua pasti mimpi, ayo coba intip sekali lagi.'
Gavriil dan Hana serentak membuka salah satu bola mata mereka, dan kembali beradu tatap.
Mereka berdua tersentak dan mengambil nafas sedalam-dalamnya.
"HUWAAAAAAAA~"
*
*
*
Bersambung bung bung bung~