Berawal dari hujan yang hadir membalut kisah cinta mereka. Tiga orang remaja yang mulai mencari apa arti cinta bagi mereka. Takdir terus mempertemukan mereka. Dari pertemuan tidak disengaja sampai menempati sekolah yang sama.
Aletta diam-diam menyimpan rasa cintanya untuk Alfariel. Namun, tanpa Aletta sadari Abyan telah mengutarakan perasaannya lewat hal-hal konyol yang tidak pernah Aletta pahami. Di sisi lain, Alfariel sama sekali tidak peduli dengan apa itu cinta. Alfariel dan Abyan selalu mengisi masa putih abu-abu Aletta dengan canda maupun tangis. Kebahagiaan Aletta terasa lengkap dengan kehadiran keduanya. Sayangnya, kisah mereka harus berakhir saat senja tiba.
#A Series
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Allamanda Cathartica, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 4: Dilema Hati Aletta
Tampak dari balik jendela, seorang laki-laki menyingkap sebagian tirai yang menghalangi pandangannya. Sesekali dia melirik ke kanan lalu ke kiri, diikuti kakinya yang berjinjit-jinjit.
“Assalamualaikum,” ucap salam dari Aletta. Dia memasuki rumah dengan ekspresi lesu. Baju olahraganya terlihat basah di bagian atas, ditambah rambutnya yang berantakan membuat Aletta persis seperti orang gila di depan kompleks yang sering bernyanyi Balonku Ada Lima.
Seorang laki-laki menyambutnya di depan pintu. Dia langsung mengadahkan kedua tangan tepat di depan wajah Aletta. “Kak, mana cokelatku?”
Helaan napas terdengar. “Besok aja,” jawab Aletta singkat sekaligus mengakhiri pembicaraan di antara keduanya. Sepertinya laki-laki itu tidak berani mengacaukan kakaknya. Dari gestur wajah yang datar lengkap dengan penampilan acak-acakan, sudah bisa ditebak kalau mood kakaknya sedang buruk.
Aletta melangkahkan kakinya ringan menuju kamar. Setelah sampai di depan pintu, tangan Aletta terulur untuk membuka handle pintu kamar.
BRUK!
Terdengar suara yang memekakan telinga. Aletta sengaja menjatuhkan tas ransel di bawah meja belajar. Tubuhnya ambruk menelungkup di kasur empuk beralaskan sprei ungu dengan motif bunga. Perempuan itu menyembunyikan wajah di lipatan tangannya, tidak mau lagi teringat tentang pertemuan yang menyebalkan tadi.
Aletta mengangkat kepalanya. “Huh, sangat kacau.” Menggeleng beberapa kali disusul hembusan nafas dari mulut Aletta. Dia mengacak-acak rambutnya dengan kesal.
“Kenapa dia bisa setampan itu? Bahkan kalau dia belum mandi saja, tetap terlihat tampan,” ujar Aletta bertanya pada dirinya sendiri. Ingatan Aletta kembali pada masa SMP-nya dulu. Kejadian-kejadian yang menyangkut Alfariel terangkai dengan rapi di ingatan Aletta, sampai-sampai tidak ada satu pun yang terlupakan.
“Buset dah! Kenapa gue malah kebayang-bayang, sih?” Aletta memukul-mukul pipinya pelan. Berusaha menyadarkan pikirannya yang mulai teracuni oleh laki-laki yang dia bilang tampan barusan.
Aletta melompat dari kasur, menaruh kedua tangannya di pinggang. “Oke, oke, gue akuin kalau gue suka sama Alfariel. Tapi nggak gini-gini juga kali. Sadar, Aletta!”
“Paling-paling dia juga sudah punya pacar. Cowok macam dia itu tampang-tampang cowok playboy,” lanjutnya kemudian.
“Tapi kalau dia beneran udah punya pacar, usaha gue selama ini sia-sia dong? Gue pindah sekolah cuma buat ketemu sama dia.” Aletta memegangi kepalanya, bingung dengan perasaan sendiri.
“Aduh, sadar, sadar, sadar! Jangan mikirin dia terus. Sadar, Let!” Aletta berjalan mondar-mandir sambil terus menepuk-nepuk pipinya.
Di balik pintu kamar Aletta, adiknya berdiri bersandar pada pintu lengkap dengan ekspresi heran setelah melihat Aletta berbicara sendiri. Yang ada dalam pikiran adik Aletta sekarang pasti bertanya ada apa dengan kakaknya itu.
"Woi, Kak! Obatnya habis ya? Adek mintakan ke Ayah dulu. Jangan sampai makan bunga loh," ujar adik Aletta. Tanpa berbasa-basi lagi, dia melenggang pergi dari hadapan Aletta yang terlihat bingung. Shock melihat adiknya mengetahui apa yang sedang Aletta bicarakan.
"Eh, dikira Kakak kesurupan apa?" teriak Aletta lumayan keras. Dia berharap adiknya segera melupakan kejadian memalukan tadi.
***
Malam pun tiba, senja berlalu begitu cepat tanpa Aletta sadari. Aletta masih berada di halaman rumah. Tangan Aletta terbentang lebar, dia memutar-mutar tubuhnya sambil tertawa lepas. Aletta sangat suka ini. Melihat indahnya benda bulat bewarna kuning yang menempel di birunya langit malam. Titik-titik kecil juga ikut menghiasi, mempercantik penampilan langit malam.
Aletta memandang lurus ke depan, tepat pada bangunan besar yang menjulang tinggi. Rumah yang ada di depannya pasti milik keluarga yang mampu dalam urusan uang. Lihat saja, pagar hitam besar dari besi menjadi pintu masuknya. Dari bawah, terlihat balkon luas yang terdapat ayunan dan beberapa kursi yang dijadikan untuk tempat bersantai. Mengapa Aletta baru menyadari keberadaan rumah itu? Apa karena Aletta selalu menyembunyikan dirinya di rumah? Aletta memang manusia gua yang kurang bersosialisasi dengan keadaan lingkungan sekitarnya. Aletta berdiam diri menatap takjub. Siapa sebenarnya tetangganya itu?
Tiba-tiba ada seseorang yang muncul dari balik pintu. Orang itu duduk di kursi sambil meminum cokelat panas dari dalam mug kecil. Aletta mengerutkan keningnya, wajah itu seperti tidak asing lagi baginya. Hanya penampilannya yang berbeda, menggunakan celana pendek dan kaos. Lelaki tampan. Ya, dia Alfariel. Senyuman Aletta kembali merekah. Dia tidak pernah menduga akan mendapatkan tetangga yang merupakan orang istimewa baginya.
Aletta berlari ke dalam rumah. “BUNDA … ” teriak Aletta dengan keras sampai suaranya dapat terdengar di seluruh penjuru rumah.
“Kakak ini kerjanya teriak-teriak, bikin telinga Bunda mau pecah saja,” sahut Viona, Bunda Aletta.
“Tetangga depan.” Aletta menjeda ucapannya sebentar. “Anak laki-laki itu, namanya—”
“Fariel,” potong Viona cepat. Bunda Aletta tersenyum penuh arti.
Viona melanjutkan kegiatan memasaknya. Membalik sebagian pisang yang berwarna kecokelatan sambil melirik anaknya yang berdiri di sampingnya. Lagi-lagi Viona tersenyum, sehingga menambah kerutan dahi di wajah Aletta.
Aletta berjalan menuju meja makan yang berada tepat di belakang Viona, menarik kursi lalu duduk. “Ih, Bunda! Kenapa senyum-senyum?”
“Kayak Bunda nggak tau aja isi pikiranmu sekarang,” jawab Viona sembari meniriskan pisang goreng yang sudah matang.
”Maksudnya? Bunda jangan bikin Kakak penasaran ya.” Aletta mengambil garpu dan mencomot pisang goreng yang sudah matang.
Viona mematikan kompor. “Kakak ini sok nggak tau apa yang bunda maksud.”
“Dia itu laki-laki yang Kakak suka, kan? Jangan tanya mengapa Bunda bisa tahu, fotonya aja berjejer di atas laci. Mana mungkin Bunda nggak tahu,” lanjut Viona.
Tiba-tiba Aletta berlari kecil menghampiri Bundanya. “Shut … ” telunjuk Aletta ditempelkan di depan bibir.
“Jangan keras-keras, Bunda. Kakak malu tau.” Aletta menggoyang-goyangkan lengan Viona, sedangkan Viona menggelengkan kepalanya sambil tersenyum menanggapi anaknya itu.
Aletta bersyukur mempunyai keluarga yang sangat menyayanginya. Tidak mempermasalahkan uang, Aletta justru lebih bahagia dengan kehidupannya sekarang. Rumah yang nyaman untuk tempat tinggalnya dengan keluarga, itu sudah lebih dari cukup. Enno, adik Aletta, menghormati Aletta sebagai kakaknya, umur mereka yang terpaut 2 tahun membuat Enno merasa tidak perlu canggung mengobrol, karena selera mereka pasti hampir sama. Menurut Enno, Aletta merupakan kakak terlebay, terjahil, dan menjengkelkan yang pernah Enno miliki. Namun, Enno senang karena di samping sifat Aletta yang buruk, Aletta sangat menyayangi adik kecilnya. Sehari tanpa perkelahian antara mereka terasa kurang lengkap, ada saja yang dipermasalahkan. Rumah juga sepi jika salah satu diantara mereka tidak ada di rumah, saat bertemu berantam, ketika berjauhan rindu. Ya, begitulah mereka. Kakak beradik yang tidak pernah rukun.
“Kakak, laptopnya masih dipakai?” Enno menghampiri sang kakak.
Aletta menoleh. “Jangan sentuh itu, Cil! Kembalikan!” perintah Aletta yang mengambil laptopnya dari tangan Enno. Bocil adalah panggilan khusus dari Aletta untuk Enno. Aletta memberi panggilan itu tentu ada maksud tersembunyi. Tinggi Enno yang hanya sebatas pundak Aletta yang mengakibatkan Aletta merubah nama panggilan untuk adiknya. Yah, walaupun dia juga termasuk pendek, tetapi setidaknya Eno lebih pendek daripada Aletta.
Enno mengerucutkan bibir. “Pelit. Enno nanti minta ayah untuk beliin sendiri deh,” ucap Enno yang tak mau kalah. “Oh iya, Kak, mana cokelatnya? Kalau sudah janji harus ditepati loh.”
Aletta menatap malas dengan mata yang menyipit. “Iya, iya, Cil. Besok Kakak belikan." Lagipula cokelat yang hancur itu sudah Aletta buang ke tempat sampah. Kalau dihitung-hitung rugi juga sih, mana uang saku Aletta habis buat beli cokelat Enno yang ujung-ujungnya berakhir di tempat sampah. “Hari ini Kakak lupa membelinya,” sambung Aletta berbohong.
“Bilang aja nggak punya uang.” Tepat sekali sindiran Enno. Dapat membaca pikiran Aletta dengan cepat.
“Apa yang kamu bilang tadi? Coba bandingkan uang sakumu denganku, lebih banyak mana?” Aletta melipat tangannya di depan dada, memasang wajah sombong.
Enno berdecak. “Uang saku banyak nggak berguna, lebih baik punya pacar banyak. Nah, Kakak, pacaran aja nggak pernah. Buru-buru pacaran, deket sama laki-laki ogah-ogahan. Kakak kelainan ya?”
BUK!
Enno meringis mengusap wajahnya yang menjadi tempat mendarat bando lemparan Aletta. Dia kemudian merapikan jambul kebanggaannya.
“Untung mukaku masih ganteng. Kalau tidak, bisa-bisa nggak punya fans lagi,” ucap Enno yang mengelus dada lega.
Aletta memutar bola matanya malas. "Alay."
Aletta melenggang pergi menuju teras. Telinganya terasa panas mendengar celotehan tidak bermutu dari Enno. Aletta ingin melihat Alfariel lagi, perempuan itu mempercepat langkahnya, berharap lelaki istimewanya belum menghilang dari balkon. Namun, harapannya musnah ketika Aletta melihat balkon rumah besar itu sudah kosong tidak berpenghuni. Menyisakan mug kecil yang terletak di atas meja.
‘Kenapa dia datang lalu pergi begitu saja? Mengapa waktu bisa sesingkat ini? Tak ada kah kesempatan untuk berlama lama disampingnya?’ Aletta menunduk lemas. Netra cokelatnya tetap tertuju ke arah tempat dimana Aletta terakhir menatap Alfariel dari kejauhan. Masih terbayang jelas, memori Aletta berputar mengulang. Bagaimana cara lelaki tampan itu meniup perlahan wadah berisi cokelat panas di depan wajahnya, kemudian menyesapnya dengan hati-hati. Aletta tersenyum malu. Bisa-bisanya Aletta menjadi pengagum rahasianya Alfariel selama ini.
***
Bersambung …..