Agnes tak pernah menyangka, sebuah foto yang disalahartikan memaksanya menikah dengan Fajar—dosen pembimbing terkenal galak dan tak kenal kompromi. Pernikahan dadakan itu menjadi mimpi buruk bagi Agnes yang masih muda dan tak siap menghadapi label "ibu rumah tangga."
Berbekal rasa takut dan ketidaksukaan, Agnes sengaja mencari masalah demi mendengar kata "talak" dari suaminya. Namun, rencananya tak berjalan mulus. Fajar, yang ia kira akan keras, justru perlahan menunjukkan sisi lembut dan penuh perhatian.
Bagaimana kelanjutan hubungan mereka? Apakah cinta bisa tumbuh di tengah pernikahan yang diawali paksaan? Temukan jawabannya di cerita ini!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Puji170, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 3
Fajar dan Agnes sama sekali tidak menduga jika pura-pura menjadi pasangan kekasih membawa mereka menghadapi masalah besar. Ya, masalah itu adalah Nenek Grace sosok terpenting dalam hidup Fajar.
"Jadi ini calon menantuku?" tanya Nenek Grace sembari mengamati Agnes dari ujung rambut hingga kaki.
Saat ini mereka sedang berada di rumah Fajar. Lelaki berusia 30 tahun itu bisa dibilang cukup mapan, rumah, mobil, bahkan gaji perbulan dengan nilai tiga digit sudah ada di kantong. Hanya saja satu yang belum dimiliki Fajar yaitu istri, hal itu cukup membuat sang nenek yang sudah berusia hampir kepala tujuh selalu mencemaskan dirinya.
"Nenek, jangan melihat Agnes seperti itu. Agnes akan takut," sahut Fajar dengan lembut.
Tentu saja sikap Fajar berbeda jauh saat ini. Lelaki itu terlihat begitu penuh kasih sayang. Ya, karena Fajar telah menjadi yatim piatu sejak usianya masih sepuluh tahun, dan ia hidup berdua hanya dengan sang nenek.
"Ck, kenapa harus takut? Kalau iya Nenek bersyukur sekali. Akhirnya kamu bisa menemukan calon istri cantik sekali seperti dia." Nenek Grace menarik tangan Agnes untuk duduk di sampingnya. "Jadi kapan kalian akan menikah?"
Pertanyaan itu membuat Agnes dan Fajar tersendak air liur. Agnes sudah tidak ingin bermain-main lagi, kejadian ini menyangkut masa depannya.
"Nenek a-aku—"
"Nenek harus sabar. Agnes masih harus menyelesaikan kuliahnya. Kebetulan sekarang dia sudah semester akhir," sahut Fajar menjelaskan situasi.
Sayangnya pernyataan Fajar barusan sangat tidak diterima Agnes. Bagaimana bisa Fajar menjajikan hal mustahil seperti itu, jangankan menikah, dirinya dan Fajar saja sama sekali tidak memiliki hubungan apapun kecuali dosen pembimbing.
"Nenek, aku dan Pak Fajar itu—"
Lagi dan lagi Fajar menyela ucapan Agnes, "Sayang, semua bisa dibicarakan nanti. Jangan bikin Nenek cemas."
"Pak, apaan sih?" Agnes menatap Fajar yang kini berdiri di depannya. Banyak pertanyaan tercetak jelas di wajahnya akan tetapi Fajar hanya tersenyum manis dan hal itu tak luput dari pandangan sang nenek.
"Kalian berdua itu menggemaskan. Iya, setiap hubungan harus saling berkomunikasi dengan baik. Nenek bisa melihat kamu sedang gerogi. Tenang Sayang, Nenek bukan orang jahat. Jika menikah menunggu kamu lulus Nenek tidak akan keberatan," papar Nenek Grace penuh harap.
"Yang penting setelah itu segera berikan aku seorang cicit," imbuh Nenek Grace.
Agnes hanya bisa mengeluarkan tawa tertahan. Otaknya sama sekali tidak bisa mencerna situasi, selain itu ia juga tidak bisa berkata jujur entah apa yang menahannya satu hal yang Agnes tahu senyum nenek Grace terlihat begitu bahagia dan penuh harap padanya.
Tak terasa hampir jam sembilan malam Agnes berbincang dengan nenek Grace akhirnya memutuskan pulang.
"Lain kali kamu harus main lagi dan temani Nenek," pinta Nenek Grace masih memegang erat tangan Agnes seolah tak ikhlas jika calon mantunya itu pergi.
"Kalau senggang pasti Nenes main lagi Nek. Lagian kita bisa berbincang di telepon." Agnes meyakinkan sang nenek.
"Tapi Nenek ingin ngobrol seperti ini lagi sama kamu."
Agnes mengulas senyum, "Ya Nenek lain kali Nenes pasti main."
"Janji." Nenek Grace melihat Agnes menganggukkan kepala, ia pun langsung berkata kembali, "salam buat orang tuamu. Intinya kalau mereka siap Nenek langsung ke rumahmu."
Fajar melihat Agnes mematung dan nampak ingin membuka mulut ia pun langsung menyela, "Fajar antar Agnes pulang dulu, keburu malam."
Meskipun tak rela Nenek Grace melepas kepergian Agnes, "Ya sudah hati hati di jalan."
Fajar dan Agnes buru-buru masuk ke dalam mobil, kendaraan roda empat itu melaju di jalan beraspal hitam, sinar rembulan begitu terang di atas langit. Beberapa hari yang lalu Agnes terus memandang rembulan sembari memikirkan judul skripsi yang akan ia ambil. Namun, sekarang benaknya dipenuhi dengan kata menikah.
"Pak, kita seharusnya tidak membohongi Nenek seperti itu," suara Agnes memecah keheningan.
"Aku akan menjelaskan nanti. Maaf sudah melibatkanmu dalam masalah ini. Nenek pernah sekali terkena serangan jantung jadi aku tidak ingin dia cemas," jelas Fajar sembari berkonsentrasi dengan stir bundarnya.
"Tapi tetap saja Bapak sudah berbohong sama Nenek. Kalau nanti Nenek tau terus kena serangan jantung dua kali gimana coba?"
Mobil berhenti saat lampung merah bersinar terang. Fajar menoleh ke arah Agnes yang kini duduk di sampingnya. Ucapan Agnes barusan benar-benar mengganggu pikirannya.
"Kalau gitu kamu mau kebohongan ini jadi benaran? Aku lihat Nenek begitu menyukaimu?" Cukup lama Fajar menjeda kalimatnya hingga beberapa menit kemudian ia berkata kembali, "Kita menikah?"
Untuk sejenak Agnes tertegun. Di menit berikutnya ia tertawa hambar, "Pak, kalau ngomong difilter dulu. Bercanda Bapak gak lucu."
Fajar menarik sudut bibirnya, lampu jalanan kembali berwarna hijau. Ia segera menginjak gas mobil tanpa ingin menjawab ucapan Agnes. Tentu saja hal itu membuat Agnes geram.
"Intinya aku tidak ingin berbohong lagi. Mau sama Nenek atau sama kekasih Bapak itu," ungkap Agnes. Sejak berpura-pura menjadi pasangan kekasih bahasa bicara keduanya sudah tidak terlalu formal lagi.
"Kamu tenang saja. Aku akan mengatasinya."
Dahi Agnes mengkerut, dosen pembimbingnya itu kembali lagi di mood dingin dan cuek. Sebelum kelupaan ia pun menagih janji, "Jangan lupa bantu aku menyelesaikan judul skripsi."
Sayangnya sudah beberapa menit Agnes tak kunjung mendapatkan jawaban dari Fajar. Ia pun menjadi kesal. Dalam benaknya berpikir, apa sejak tadi dipermainkan lelaki itu?
"Rumah sebelah mana?"
"Gak tau!"
Mendengar jawaban cuek. Fajar terus menginjak gas mobilnya dan berputar-putar di daerah tersebut tanpa ingin bertanya lagi pada Agnes. Sementara Agnes yang sejak tadi terbawa emosi juga tidak memperdulikan situasi.
Agnes ingin membuat bahan bakar mobil dosennya itu kehabisan sebagai bentuk balas dendam. Sayangnya kendaraan beroda empat itu tak kunjung berhenti ataupun mogok. Akhirnya Agnes melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya, jam menunjukkan angka dua belas.
"Mampus sudah tengah malam." Agnes melirik ke arah Fajar yang masih fokus pada jalanan.
"Bapak sengaja ya muter-muter daerah sini biar bisa berduaan denganku?" celetuk Agnes berusaha mencari kambing hitam atas perbuatannya.
"Jangan salahkan saya. Ini kemauanmu!"
Ingin rasanya Agnes menjerit sekencang mungkin. Sejak tadi tingkah Fajar benar-benar menguji imannya yang setipis tisu. Salah dia juga yang salah mencari musuh, tak ingin banyak berdebat lagi karena waktu semakin malam akhirnya Agnes menyerah.
"Di depan ada gang masuk saja ke dalam."
Tanpa menjawab Fajar langsung membelokkan stir mobilnya masuk ke dalam gang. Sebagai lelaki dirinya benar-benar bingung dengan tingkah laku kaum hawa seperti Agnes. Jika bilang sejak tadi bukankah akan cepat sampai rumah?
"Berhenti. Aku turun di sini saja. Takut ada keamanan yang berjaga," ucap Agnes kembali.
"Sampai depan rumah."
"Bapak mau kita digerbek terus dipaksa nikah?" ujar Agnes.
Pernyataan macam apa barusan? Bukankah jika ia menurunkan Agnes di tempat gelap seperti ini justru akan memancing masalah baru dan memungkinkan jika digerbek warga? Namun, Fajar tak ingin banyak berdebat dengan Agnes akhirnya ia menuruti keinginannya.
"Terimakasih," ucap Agnes dengan nada kesal.
Saking kesalnya Agnes yang ingin melepaskan seat belt pun menjadi kesusahan. Fajar yang melihat kejadian itu akhirnya membantu dengan posisi seperti memeluk Agnes. Sepintas saat kejadian itu seperti ada kilatan cahaya yang dirasakan Fajar.
"Cahaya apa itu?"