Tiga gadis desa yang memiliki pemikiran sama, tidak mau menikah muda layaknya gadis desa pada umumnya. Mereka sepakat membuat rencana hidup untuk mengubah citra gadis desa yang hanya bisa masak, macak dan manak di usia muda, menjadi perempuan pintar, santun, dan mandiri.
Nayratih, dan Pratiwi terlahir dari keluarga berada, yang tak ingin anak mereka menikah muda. Kedua orang tua mereka sudah berencana menyekolahkan ke luar kota. Terlebih Nayratih dan Pratiwi dianugerahi otak encer, sehingga peluang untuk mewujudkan citra perempuan desa yang baru terbuka lebar.
Tapi tidak dengan, Mina, gadis manis ini tidak mendapat dukungan keluarga untuk sekolah lebih tinggi, cukup SMA saja, dan orang tuanya sudah menyiapkan calon suami untuk Mina.
Bagaimana perjuangan ketiga gadis itu mewujudkan rencana hidup yang mereka impikan? ikuti kisah mereka dalam novel ini.
Siapkan tisu maupun camilan.
Selamat membaca
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lel, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PENING KEPALA
Derap langkah Mina terdengar kuat, wajah sumringah menatap masa depan cerah, dengan menambah skill sebagai calon pebisnis kue.
Setengah jam sebelum les dimulai, Mina sudah sampai di sebuah ruko tempat belajar barunya. Meski harga les dianggap mahal oleh Mina, ternyata peminatnya banyak. Memang sebagian besar ibu-ibu, tapi Mina tak mau kalah semangat. Ia akan belajar sungguh-sungguh, demi merubah nasib keluarga yang lebih baik suatu saat nanti.
Berkenalan dengan sesama peserta, berbagi informasi serta belajar teori sampai praktik sederhana di hari pertama sangat menyenangkan, Mina jadi tahu bahwa orang yang menuntut ilmu dengan keinginan sendiri tanpa paksaan itu ringan sekali menjalaninya. Menyerap berbagai informasi juga cepat, ah Mina semakin semangat untuk menjadi sukses dan segera melanjutkan ke jenjang sarjana.
Sambutan Mbak Kia ketika ia pulang, membuat Mina semakin beruntung dipertemukan dengan orang baik. Meski ia harus diusir dulu oleh orang tuanya. Percayalah, selalu ada hikmah di balik peristiwa.
Selain Mbak Kia, ada Tiwi yang terus saja cek keadaan Mina. Sahabatnya itu memang masih curiga dengan kebaikan Bu Tyas, namun Mina selalu meyakinkan Tiwi bahwa beliau tidak sejahat itu.
Mbak
Sebuah pesan masuk di ponsel Mina di tengah-tengah les kue. Pop up pesan tersebut menarik perhatian Mina. Ia pun menggulir layar ponsel.
Mina sadar bahwa yang mengirim pesan itu adalah Risma. Memang ia tak mau menghubungi Risma, ataupun keluarganya. Ia ingin fokus pada pekerjaan saja, tanpa melibatkan keluarganya. Bukan karena memutus hubungan keluarga, hanya saja Mina tak mau ada masalah lagi dengan sang ayah, kemungkinan ia bisa dijodohkan lagi. Hufh.
Risma?
Benar, Mbak. Bagaimana kabar Mbak? Ibu selalu mencari Mbak. Aku dapat nomor Mbak dari ibu Mbak Tiwi.
Mina paham, siapa lagi yang memberi nomornya selain Bu Dyah dan Tiwi. Mina hanya membaca, sengaja tak membalas sekarang. Ia masih ada kelas les, tak mungkin menyia-nyiakan tamban pengetahuan gratis, toh Mina yakin Risma hanya ingin tanya kabar.
Usai les berakhir, Mina segera membalas pesan Risma. Benar memang, hanya bertanya kabar. Mina bersyukur keluarga di sana baik-baik saja.
Kamu bagaimana, Dek?
Aku sudah pulang ke rumah ayah dan ibu, Mbak!
Mina kaget. Hampir saja ia mendial nomor Risma, namun ia tahan. Ia belum siap menerima drama keluarganya di saat hidupnya mulai tertata.
Pulang? Maksudnya?
Aku sudah ditalak Pak Sul, Mbak!
Mina lemas seketika. Hitungan bulan, adiknya sudah menjadi janda, Astaghfirullah.
Kok bisa?
Panjang ceritanya 😄
Mina menghela nafas panjang, inilah Risma. Sang adik yang pengorbanan terhadap keluarga tak perlu diragukan lagi.
Maaf ya, Dek. Gara-gara Mbak masa depan kamu hancur. Mbak janji akan mengangkat derajat keluarga kita.
Aku tunggu, Mbak.
Mbak minta tolong, jangan kasih nomor Mbak ke ayah dan ibu ya. Kamu boleh chat mbak, tapi tidak untuk ayah dan ibu. Biar mbak sukses dulu, Mbak khawatir ayah akan menjemput paksa Mbak dari sini.
Beres, Mbak! Mbak di sana kerja apa?
Mbak jadi pelayan toko, Alhamdulillah sangat nyaman tempat kerja dan teman Mbak di sini.
Alhamdulillah, sehat selalu Mbak
Kamu juga!
Saatnya pulang, kali ini perjalanan pulang sedikit berat. Komunikasi dengan Risma membuat Mina jadi kepikiran keadaan keluarga di sana. Mulut memang berkata jangan diganggu, tapi hati tak bisa berbohong. Mereka adalah darah daging Mina, sejahat-jahatnya sang ayah, tapi Mina sangat menyanyangi mereka.
"Baru sampai?" sapa Pak Bastian, suami Bu Tyas mengagetkan, Mina yang sedang melamun sembari memarkir motor di samping mobil beliau tentu saja tak menyangka akan disapa oleh suami bosnya. Apalagi mereka hanya sekali berjumpa.
"Oh Pak Bastian, iy...iya selamat malam!" ucap Mina tergagap. Ia menundukkan kepala tanda hormat, dan pamit izin.
Namun yang membuat Mina kaget setengah mati, ternyata Pak Bastian berusaha menyamai langkah Mina. Heran sekali. Apa kata orang bila melihat moment ini, suami bos berjalan beriringan dengan karyawan toko, tampak akrab.
"Kenapa?" tanya Pak Bastian heran, saat Mina berhenti mendadak.
"Hem, mari Bapak jalan dulu!" ucapnya sopan, mempersilahkan Pak Bastian jalan lebih dulu.
Mina kaget setengah mati, kala Pak Bastian menepuk pundak Mina sembari tersenyum. "Suatu saat nanti kita akan jalan bersama juga!"
Glek, Mina melotot seketika. Air liurnya ditelan dengan kasar. Mendadak ia jadi takut dengan Pak Bastian. Melangkah menuju dapur toko, Mina memukul kepalanya, agak pening karena Pak Bastian.
"Min?" tegur Novi, melihat temannya tampak pucat. "Kamu sakit?"
Mina menggeleng. "Capek aja!"
"Sabar, pengalaman baru. Harus tetap berjuang!" saran Novi sembari memberi semangat ala korea.
Mina mengangguk, "Makasih!"
Perlakuan Pak Bastian tadi terus diingat Mina, ia sampai tidak bisa tidur. Diliriknya Novi sudah pulas, Mbak Kia masih asyik melihat drakor. Maju mundur ia ingin bercerita pada Mbak Kia.
"Mbak!" panggil Mina kalem.
"Heh? Apa Min?" tanya Kia yang baru saja menyimpan ponselnya di meja. "Tumben belum tidur?"
Mina tampak gelisah, ia mendekati kasur Mbak Kia. Berkali-kali melirik Novi juga, jangan sampai Novi bangun, dan ikut nimbrung. Biar saja Mbak Kia tahu, karena dianggap kakak oleh Mina.
"Pak Bastian!" Mina tergugu, lidahnya keluh usai menyebut suami bosnya.
Mbak Kia mengerutkan dahi, menunggu kelanjutan Mina. "Pak Bastian kenapa?"
"Beliau centil kah?" tanya Mina sangat pelan. Mbak Kia terhenyak. Setahu Kia, beliau sangat dingin. Selama kerja di sini, tak pernah sekali pun disapa atau diajak bicara, ah di sapa dengan senyum ramah saja tak pernah. Kenapa Mina menyebut Pak Bastian begitu?
"Centil maksudnya?"
Mina mendekat, membisikkan moment yang terjadi usai pulang les. Mbak Kia melongo, bahkan tak percaya. Hanya saja ekspresi Mina yang takut, cemas membuat Kia percaya, bahwa Pak Bastian telah bertindak tak pantas terhadap karyawan sang istri.
"Min? Kamu belum diajak ngobrol Bu Tyas."
"Tentang?"
"Kelanjutan les kue ini."
Mina menggeleng, "Jangan bilang, Mbak Kia ikut curiga seperti tiwi?"
Kia terdiam sembari mengamati Mina intens, tak lama ia mengangguk. "Aduh aku lancang gak ya!" ucap Kia sembari memukul bibirnya berulang.
"Apa sih, Mbak?".
"Bila Pak Bastian mengajak kamu menikah bagaimana?"
"Mbak!"
"Sst, Novi tidur!"
"Mbak Kia loh, maksudnya apa coba!"
"Min, kamu harus yakin di dunia ini tidak ada yang gratis. Mungkin, seminggu les kamu selesai. Kamu akan tahu di balik kebaikan Bu Tyas itu apa."
"Mbak, kalau ada yang gak baik dari Bu Tyas. Harusnya Mbak bilang dong, aku kan jadi takut!"
"Beliau gak jahat, Min. Hanya saja ada keinginan beliau yang kelewat batas, dan itu belum terjadi atau bahkan sulit terjadi!"
"Apa?" tanya Mina penasaran.