"Dengerin saya baik-baik, Ellaine! Kamu harus jauhin Antari. Dia bakal kuliah di luar negeri dan dia bakal ngikutin rencana yang saya buat. Kamu nggak boleh ngerusak itu. Ngerti?"
Gue berusaha ngontrol napas gue. "Nyonya, apa yang Ella rasain buat dia itu nyata. Ella—"
"Cukup!" Dia angkat tangannya buat nyuruh gue diam. "Kalau kamu beneran sayang sama dia, kamu pasti pengen yang terbaik buat dia, kan?"
Gue ngangguk pelan.
"Bagus. Karena kamu bukan yang terbaik buat dia, Ellaine, kamu tahu itu. Anak dari mantan pelacur, pecandu narkoba nggak pantas buat cowok kayak Antari."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DityaR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kakak & Adik
Dia sudah pakai piyama, rambutnya berantakan, kelihatan gemesin banget. Gue senyum ke dia.
"Nggak ada apa-apa, gue cuma capek."
Mata Asta sempat ngelirik ke arah pintu kamar Antari sebelum balik natap gue. "Lo yakin semuanya baik-baik aja?"
"Iya, santai aja."
Dia tiba-tiba megang tangan gue. "Lo mau... ke kamar gue?"
Mukanya langsung merah. Gue sama Asta memang makin dekat dalam beberapa bulan terakhir. Awalnya gue lihat dia seperti adek sendiri, tapi lama-lama gue mulai sadar sama tatapan, gerak-gerik, dan kata-katanya.
sepertinya dia mulai baper, atau mungkin gue aja yang terlalu kepedean?
"Lain kali aja, ya?" timpal gue senyum.
Kadang kita suka begadang nonton film bareng pas gue sudah kelar kerja, walaupun biasanya gue ketiduran duluan.
"Yakin?" Dia makin kenceng genggam tangan gue.
Gue angguk, terus melepaskan tangan gue dari dia.
"Selamat tidur, Asta."
"Selamat tidur, Ellaine."
Gue balik ke kamar, tapi bukannya langsung tidur, yang ada bayangan tubuh telanjang dada Antari malah keputar terus di kepala gue.
...ᯓᡣ𐭩ᯓᡣ𐭩ᯓᡣ𐭩ᯓᡣ𐭩...
Sudah beberapa hari gue nggak lihat Antari. Mungkin dia sibuk kerja atau entahlah, dan gue bersyukur karena bisa bernapas lega sebentar.
Bukan berarti gue takut sama dia, tapi gue juga nggak nyaman kalau harus sering ketemu. sudah lama banget kita nggak ngobrol atau habisin waktu bareng, jadi jelas bakal butuh waktu buat gue terbiasa lagi sama kehadiran dia.
Tapi ya, ketenangan gue nggak bertahan lama.
Sabtu pagi, seperti biasa, gue bangun, bantuin nyokap ke kamar mandi, terus nyiapin dia buat hari itu. Abis itu, gue kepang rambut biar gampang kalau kerja tanpa harus ribet ngurusin helaian yang jatuh ke muka.
Gue pergi ke dapur buat siapin sarapan. Sambil ngulet dan nguap, gue jalan masuk, tapi begitu lihat ada sosok yang duduk di meja makan, gue langsung lompat kaget.
"Anjir!"
Antari duduk di sana, pakai setelan hitam rapi dengan dasi biru tua. Cahaya matahari dari jendela bikin beberapa helai rambut pirangnya makin kelihatan. Ekspresinya datar, matanya dingin. Gue langsung ngerasa nggak nyaman. Ini pertama kalinya dia ada di dapur lagi sejak malam pesta itu.
"Selamat pagi, Tuan."
Dia nggak bales. "Gue sudah nunggu sarapan selama 20 menit."
"Sekarang masih jam 7 pagi, Tuan. Biasanya kita baru nyiapin sarapan jam 7:30, pas Anan sama Asta berangkat ke sekolah, atau kalau weekend, pas mereka bangun."
"Ya sudah, mulai sekarang, lo sesuaikan jadwal lo sama kebutuhan gue."
Gue langsung panas.
"Lo nggak harus ngomong ke gue kayak gitu!"
"Gue ngomong sesuka gue." Matanya nantangin gue buat ngelawan balik, buat nggak diam aja.
"Sopan, Ellaine." Suara nyokap tiba-tiba muncul di kepala gue.
Gue tarik napas dalam, nahan diri. Kalau nggak ingat nyokap, sudah gue semprot ini orang. Gue sampe gigit lidah sendiri biar nggak keceplosan ngomong kasar.
Antari tiba-tiba nunjuk sesuatu di meja yang baru gue sadari keberadaannya, seragam.
"Mulai sekarang, lo pakai ini."
Gue langsung meledak.
"Apaan?!"
"Lo denger gue." Dia dorong seragam itu ke arah gue. "Sepertinya lo perlu diingatin lagi soal posisi lo di rumah ini. Anan sama Asta udah kasih lo kebebasan terlalu banyak."
Gue ketawa sinis.
"Lo beneran bajingan, ya?"
Dia angkat alis, tapi nggak kelihatan kaget sama sekali.
"Apa tadi?"
Gue tatap dia langsung, lalu ngomong pelan tapi jelas. "Lo… beneran… bajingan… Antari."
Gue lihat rahangnya mengeras sebelum dia berdiri, tangannya bertumpu di meja.
"Minta maaf sekarang!"
Gue geleng kepala. "Nggak." Suara gue kedengeran lebih berani.
Gue mundur, niatnya mau langsung cabut dari dapur, tapi Antari gerak lebih cepet. Tangannya mencengkram lengan gue, narik gue sampai punggung gue nabrak tembok.
"Lo nggak bakal ke mana-mana."
Jarak kita sempit banget. Gue bisa cium aroma parfum dan shamponya, maskulin, tapi lembut.
"Lepasin." Gue tatap dasinya, nggak mau lihat matanya.
Dia mencengkeram dagu gue, maksa gue buat natap dia. Jarinya kuat, menancap di kulit gue.
"Sepertinya lo lupa sama posisi lo di rumah ini," suaranya dingin banget. "Lo nggak lebih dari pembantu di sini. Kurang ajar sama gue bisa bikin lo kehilangan kerjaan, ngerti?"
Gue coba lepasin dagu gue dari tangannya. "Lo bukan bos gue. Pak Batari bos gue."
Dia ketawa kecil, sinis. "Percaya deh, kalau gue mau lo keluar dari rumah ini, gue bisa ngelakuinnya. Sekarang, gue bos lo, Ellaine."
Itu pertama kalinya dia manggil nama gue sejak lama, tapi justru di situasi seperti ini, rasanya malah bikin tambah nyesek.
"Atap di atas kepala lo, masa depan lo, mimpi lo, semua ada di tangan gue. Jadi lo lebih baik jaga mulut lo dan patuh."
Dia melepaskan gue, duduk lagi, lalu buka koran seolah nggak ada yang terjadi. Tangan gue gemetar di sisi tubuh gue, tapi gue ambil seragam itu dengan kasar.
Gue benci dia.
Antari yang gue kenal dulu mungkin memang pendiam, tapi dia nggak pernah seperti ini.
Gue lihat diri gue di cermin kamar mandi, seragam ini bikin darah gue mendidih. Seperti kostum murahan.
Dari mana dia tahu ukuran gue?
Bajingan.
Pas gue balik ke dapur, Antari sudah nggak sendirian.
Asta ada di sana. Rasa malu langsung menyelubungi gue.
Gue tarik napas dalam-dalam, terus ngomong pelan. "Tuan... saya sudah pakai seragamnya. Bisa saya lanjut kerja?"
Antari masih baca korannya, bahkan nggak ngelirik gue. "Selama lo ingat posisi lo, lo bisa lanjut."
Gue terpaksa nahan emosi. "Saya tahu posisi saya, Tuan. Saya cuma seorang pembantu."
Dia akhirnya taruh korannya, ngambil cangkir tehnya, terus...
dia ngeluarin isinya ke lantai.
"Kalau gitu, bersihin."
"Antari!" Asta langsung protes, suaranya penuh amarah.
Tapi Antari cuma kasih tatapan tajam ke adiknya.
Gue ngerti ini semua tes. Dia mau gue gagal, biar bisa ngusir gue dari rumah ini. Gue nggak pernah nyangka dia bakal benci gue segitunya.
Gue ngerasa air mata mulai naik, tapi gue tahan. Gue nggak bakal kasih dia kepuasan buat lihat gue hancur.
Gue ambil pel.
"Nggak," suaranya memotong langkah gue. "pakai kain lap."
"Antari!" Nada Asta sekarang marah beneran.
Tapi gue sudah nggak bisa nahan. Satu tetes air mata jatuh.
Tapi gue tetep jalanin perintahnya.
"Seperti yang diperintahkan, Tuan."
Gue jongkok, mulai nge-lap teh di lantai. Dari sudut mata, gue bisa lihat sepatu Antari dekat banget sama gue. Gue nggak mau lihat ke atas. Gue nggak mau lihat mukanya.
"Asta, kalau lo coba nolongin dia, gue bakal bilang ke Papa semuanya." Suara Antari tajam. "Dia cuma pembantu. Nggak usah lebay."
Kata-katanya nusuk. Bakar gue dari dalam. Tapi gue tetep bersihin lantai, diam-diam menelan semua luka yang dia kasih.
Sebuah tangan tiba-tiba nyamber lengan gue, membantu gue berdiri. Mata coklat Asta langsung ketemu sama pandangan gue.
"Cukup."
Gue langsung melepas tangannya. Nggak mau dia kena masalah gara-gara gue, apalagi sama kakaknya.
"Minggir Asta, Bos nyuruh bersihin, jadi gue harus ngerjainnya."
Asta geleng-geleng kepala, terus nyamber lengan gue lagi.
"Udah, dia udah cukup puas."
Tiba-tiba, Antari nongol di sebelah kita. Gerakannya cepet banget, dan dia langsung nangkep pergelangan tangan Asta. "Jangan sentuh dia."
Gue sama Asta langsung sama-sama mengerutkan alis, bingung. Terus Asta buru-buru ngomong. "Siapa tahu kalau dia bawa kuman atau apalah. sudah, mending lo ke kamar aja, Asta!"
"Gue bakal pergi kalau lo juga ninggalin dia."
Antari ngeluarin napas berat, kelihatan capek banget. "Terserah, yang penting lo berdua pergi dari depan gue."
Gue nggak pakai mikir lama. Langsung cabut secepat mungkin dari situ. Sarapan bisa gue urus nanti. Yang jelas, Antari sudah pulang, tapi dia bukan lagi orang yang gue kenal dulu.
Sekarang dia cuma seperti cangkang kosong, dingin, dan penuh kebencian ke gue.
setelah antari beneran selesay sama maurice,tetap aja masih sulit buat bersatu dgn ellaine,blm lagi masalah restu dari orangtua antari
btw yg ngerasain perawannya ella natius kah 🤔🤔
senang nih antari bakal ada ellaine di kantornya 🥰 thanks elnaro
kayaknya bener,antari bukan batari,tapi emang karna jadi seorang batari lah antari jadi pengecut
akhirnya jadi tau asal luka di tangan antari dan memar di wajah asta
penasaran dgn part yg antari mukulin asta 🤔