Nayla, seorang gadis sederhana dengan mimpi besar, tak pernah menyangka hidupnya akan berubah drastis setelah menerima lamaran dari Arga, seorang pria tampan dan sukses namun dikelilingi rumor miring—katanya, ia impoten. Di tengah desakan keluarganya untuk menerima lamaran itu demi masa depan yang lebih baik, Nayla terjebak dalam pernikahan yang dipenuhi misteri dan tanda tanya.
Awalnya, Nayla merasa takut dan canggung. Bagaimana mungkin ia menjalani hidup dengan pria yang dikabarkan tak mampu menjadi suami seutuhnya? Namun, Arga ternyata berbeda dari bayangannya. Di balik sikap dinginnya, ia menyimpan luka masa lalu yang perlahan terbuka di hadapan Nayla.
Saat cinta mulai tumbuh di antara mereka, Nayla menyadari bahwa rumor hanyalah sebagian kecil dari kebenaran. Tetapi, ketika masa lalu Arga kembali menghantui mereka dalam wujud seseorang yang membawa rahasia besar, Nayla dihadapkan pada pilihan sulit, bertahan di pernikahan ini atau meninggalkan sang suami.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon rose.rossie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12
Suara sepatu Arga yang menghentak lantai kayu membuat Nayla tak mampu berpaling. Tatapannya tak pernah lepas dari amplop di tangannya, seolah dokumen itu akan membakar kulitnya jika ia terlalu lama memegangnya. Detik-detik terasa seperti abad, dan udara di ruangan itu semakin menyesakkan.
“Aku tanya, kenapa kau di sini?” Suaranya terdengar serak, nyaris pecah.
Arga tak menjawab. Dia berdiri di depan pria tua itu, melirik amplop yang terbuka di tangan Nayla, lalu menatap langsung ke matanya. Ada sesuatu di matanya yang Nayla belum pernah lihat sebelumnya—bukan kemarahan, tapi luka yang tersembunyi.
“Jadi, kau sudah lihat,” ucap Arga akhirnya, suaranya rendah dan berat. Dia mengambil amplop itu dari tangan Nayla dengan gerakan lembut, namun tegas.
“Arga…” Nayla menahan napas. “Apa semua ini? Siapa wanita itu? Dan... apa hubunganmu dengan uang sebanyak itu?”
Tatapan Arga melembut sesaat sebelum dia memalingkan wajahnya. Dia menarik napas dalam, seolah tengah mencari keberanian untuk berbicara. “Ini bukan tempat yang tepat untuk membahasnya.”
“Aku berhak tahu, Arga!” Nayla mendesak, suaranya pecah karena emosi. “Aku sudah cukup bingung selama ini! Jika kau ingin aku tetap di sisimu, kau harus menjelaskan semuanya!”
Pria tua itu tiba-tiba berdiri dari kursinya. “Tuan Arga, jika Anda ingin melanjutkan, mungkin lebih baik di tempat lain. Ini tempat saya bekerja, bukan tempat untuk urusan pribadi.”
Arga mengangguk kecil, lalu menatap Nayla lagi. “Ayo pulang.”
Di dalam mobil, perjalanan pulang terasa seperti perang sunyi. Nayla memeluk tubuhnya sendiri, berusaha menenangkan gemuruh di dadanya. Arga menyetir dengan fokus yang luar biasa, seolah-olah semua pertanyaan Nayla tidak ada.
“Siapa Dinda Raharja?” Akhirnya, Nayla memecah kesunyian.
Sebuah jeda panjang terjadi sebelum Arga menjawab. “Dia tunanganku. Atau setidaknya, dia pernah jadi tunanganku.”
Nayla menelan ludah. Pertanyaan selanjutnya seolah terjebak di tenggorokannya, tapi ia tahu ia harus menanyakannya. “Apa yang terjadi padanya?”
Arga menatap jalan di depannya. “Dia meninggalkanku. Tepat di saat aku berpikir semuanya sempurna.”
Ada nada pahit dalam suaranya. Seolah-olah cerita itu telah ia ulang ribuan kali dalam benaknya. “Dia pergi untuk seseorang yang lebih mapan. Lebih menarik. Lebih segalanya.”
Nayla memandang ke arahnya, mencoba memahami. “Jadi itu alasanmu... jadi begini?”
“Mungkin.” Arga tersenyum miring, tapi tanpa keceriaan sedikit pun. “Atau mungkin itu hanya sebagian kecil dari alasan.”
Sampai di rumah, Nayla mengikuti Arga masuk tanpa kata. Dia duduk di ruang tamu, menunggu apa yang akan dikatakan suaminya. Arga berdiri di depannya, ekspresinya datar, tetapi ada keraguan yang jelas terlihat.
“Aku tahu aku bukan suami yang sempurna,” Arga memulai, suaranya lebih pelan. “Aku tahu aku dingin. Tapi itu bukan karena aku tidak peduli. Itu karena aku takut.”
“Takut apa?” Nayla berbisik.
“Takut jatuh terlalu dalam lagi,” jawabnya, menunduk sejenak sebelum menatap Nayla. “Kehilangan Dinda menghancurkanku. Aku membangun semua ini—diri yang kau lihat sekarang—agar aku tidak pernah merasa seperti itu lagi.”
Nayla merasakan sesuatu di dadanya mencair. Ia melihat Arga bukan lagi sebagai pria yang misterius dan penuh rahasia, melainkan seseorang yang rapuh dan penuh luka. Ia ingin berkata sesuatu, tetapi sebelum ia sempat membuka mulut, Arga melanjutkan.
“Dan aku tahu kau melihat koper itu.” Matanya sekarang menajam. “Aku tahu kau membaca pesan itu.”
“Arga, aku hanya ingin tahu apa yang terjadi—”
“Aku sedang melindungimu, Nayla,” potongnya. Suaranya tegas, tetapi ada getaran yang halus di sana. “Ada hal-hal yang lebih baik tidak kau ketahui.”
“Tapi aku sudah melihatnya! Bagaimana aku bisa berpura-pura tidak tahu?” Nayla bangkit dari tempat duduknya, air mata mulai memenuhi matanya. “Aku ingin tahu semuanya, Arga. Aku ingin tahu siapa kau sebenarnya.”
Arga menatapnya lama, lalu mengambil langkah mendekatinya. Untuk pertama kalinya, dia menyentuh wajah Nayla, jarinya menyentuh lembut pipinya.
“Kau harus percaya padaku,” bisiknya. “Itu saja.”
Sebelum Nayla bisa menjawab, ketukan keras terdengar di pintu depan. Suara itu memecah keheningan mereka seperti palu yang menghantam kaca. Arga langsung menoleh, wajahnya berubah serius.
“Jangan bergerak,” katanya tegas.
Nayla menggenggam lengan Arga, berusaha menahannya. “Siapa di luar? Arga, aku takut.”
“Percaya padaku,” ulangnya sebelum berjalan menuju pintu.
Ketika Arga membuka pintu, Nayla mengintip dari balik dinding. Dua pria berpakaian hitam berdiri di ambang pintu dan salah satunya menyerahkan sebuah amplop lain kepada Arga. "Tuan Arga, ini panggilan terakhir dari mereka," katanya dingin.
Arga menerima amplop itu tanpa suara, wajahnya kembali seperti topeng, tanpa ekspresi yang bisa ditebak. Nayla merasakan lututnya melemas, tetapi ia tetap diam di tempatnya, berusaha mencerna apa yang terjadi di depannya. Siapa mereka? Apa lagi yang sedang disembunyikan suaminya?
"Berapa banyak waktu yang aku miliki?" Arga bertanya pada pria itu dengan nada dingin, seolah sedang membicarakan jadwal biasa, bukan sesuatu yang mendesak.
“Pukul sepuluh malam, Tuan. Jika Anda tidak datang, kami tidak akan bertanggung jawab atas konsekuensinya,” jawab pria itu dengan nada datar.
Arga mengangguk tanpa berkomentar. Setelah itu, ia menutup pintu dan berbalik. Tatapannya segera bertemu dengan Nayla yang masih berdiri di balik dinding. Dia jelas melihatnya.
“Aku pikir aku menyuruhmu untuk tidak bergerak,” katanya pelan, tetapi intonasinya membuat Nayla merasakan bulu kuduknya berdiri.
“Kau pikir aku bisa duduk diam dengan semua ini?” Nayla mendekatinya, nadanya naik karena emosi yang tak lagi bisa ia tahan. “Siapa orang-orang itu, Arga? Dan apa ini semua? Amplop lagi? Apa kau berutang sesuatu pada mereka?”
“Aku tidak berutang apa-apa,” jawab Arga dengan tegas, menyelipkan amplop itu ke dalam saku jasnya. “Mereka hanya ingin memastikan sesuatu selesai dengan benar.”
“Selesai apa?” Nayla semakin mendesak, langkahnya mendekat hingga kini hanya berjarak satu meter darinya.
Arga menatapnya dalam-dalam, seperti sedang menimbang apakah ia harus jujur atau tidak. “Ini bukan sesuatu yang perlu kau khawatirkan.”
“Tidak, Arga. Ini sudah terlalu jauh!” Nayla menunjuk ke arah pintu. “Apa kau sadar betapa menyeramkannya semua ini? Amplop, koper, foto wanita itu, dan sekarang dua pria misterius muncul di depan pintu rumah kita dengan ancaman tersirat? Aku tidak bisa pura-pura buta lagi!”
Arga menghela napas panjang, lalu mendekat dan menggenggam bahu Nayla. “Dengar, Nayla. Aku akan menyelesaikan ini malam ini. Setelah itu, aku akan memberitahumu semuanya.”
Nayla menatapnya dengan mata yang basah. “Aku tidak tahu apakah aku bisa menunggu lagi, Arga.”
“Percayalah padaku kali ini saja,” bisiknya, dengan nada yang terdengar lebih seperti permohonan daripada perintah.
---
Setelah makan malam yang sunyi, Arga bersiap-siap untuk pergi. Nayla memperhatikannya dari jauh, pikirannya penuh dengan spekulasi dan ketakutan. Suaminya tidak mengatakan apa pun selain kalimat yang sama: “Aku akan kembali sebelum tengah malam.”
Namun, kali ini Nayla tidak berniat membiarkannya pergi begitu saja. Ketika Arga melangkah keluar dari pintu, Nayla menunggu beberapa menit sebelum menyambar jaket dan tasnya. Ia tahu apa yang ia lakukan berbahaya, tetapi rasa ingin tahunya telah melampaui segalanya.
Ia mengintip keluar dan melihat Arga masuk ke mobilnya. Dengan hati-hati, Nayla mengikuti di belakang menggunakan taksi online, memastikan untuk tidak kehilangan jejak. Mobil Arga melaju melalui jalanan yang semakin sepi hingga akhirnya berhenti di sebuah gedung yang tampak tua dan terpencil.
Nayla meminta sopir berhenti agak jauh, lalu turun dengan hati-hati. Ia melihat Arga masuk ke dalam gedung itu bersama dua pria berpakaian hitam yang sebelumnya datang ke rumah mereka.
Dengan napas tertahan, Nayla mengikuti langkah mereka dari kejauhan, tubuhnya gemetar karena gugup. Ia tidak tahu apa yang akan ia temukan di dalam gedung itu.
Ketika ia mencapai pintu utama, pintu itu terbuka sedikit, membiarkannya mengintip ke dalam. Di sana, ia melihat Arga berdiri di tengah ruangan yang penuh dengan orang-orang berpakaian rapi. Ada meja panjang di tengah ruangan, dan di atasnya, Nayla melihat koper besar yang tadi ia temukan di bawah tempat tidur mereka.
Namun yang membuatnya benar-benar terpaku adalah sosok wanita yang berdiri di sisi meja, wajahnya cantik dan elegan, namun dengan aura yang tajam. Wanita itu berbicara dengan Arga, dan dari nada suaranya, Nayla tahu bahwa mereka memiliki hubungan yang lebih dari sekadar kenalan biasa.
“Arga,” wanita itu berkata dengan suara lembut namun tegas. “Kau datang terlambat. Apa istrimu sudah tahu?”
Nayla menutup mulutnya dengan tangan, berusaha menahan napas agar tidak terdengar. Tetapi wanita itu tiba-tiba menoleh langsung ke arah pintu tempat Nayla bersembunyi. Tatapannya menusuk, seperti singa yang menemukan mangsanya.