"Kamu harus menikah dengan Seno!"
Alea tetap diam dengan wajah datarnya, ia tidak merespon ucapan pria paruh baya di depannya.
"Kenapa kamu hanya diam Alea Adeeva?"
hardiknya keras.
Alea mendongak. "Lalu aku harus apa selain diam, apa aku punya hak untuk menolak?"
***
Terlahir akibat kesalahan, membuat Alea Adeeva tersisihkan di tengah-tengah keluarga ayah kandungnya, keberadaannya seperti makhluk tak kasat mata dan hanya tampak ketika ia dibutuhkan!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Favreaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 3
"Lalu Alea?"
Alea menghentikan langkahnya saat namanya disebut oleh Bianca. Hatinya terketuk ingin mendengar lebih jauh apa yang akan Bianca ucapkan.
"Adakah bagian untuknya?" Diam-diam sudut bibirnya membentuk seringai yang mengejek.
Arka tertegun. Benar, ia sama sekali tak pernah memikirkan tentang Alea. Saat Bianca tak sengaja menyinggung, ia tidak tahu hendak berkata apa.
"Tidak perlu, dia bukan bagian dari keluarga kita!" ujar Nyonya Camelia santai tanpa perasaan.
Alea sudah tak ingin mendengarnya lagi, ia melangkah cepat kembali menuju dapur.
"Ma! ... Tolong jangan terlalu keras pada Alea, dia juga anakku," ujar Arka dengan tatapan memelas.
"Anak haram yang tidak berguna saja kamu anggap, Ka. Anggap dia tidak ada, dia juga tidak berhak menuntut apapun dari kamu," ujar Nyonya Camelia tegas.
Arka tak lagi berkutik maupun bersuara. Ia menjadi anak patuh yang selalu mendengarkan apa kata sang ibu.
"Tidak ada yang benar-benar menerima kehadirannya di sini selain Mas Fatan. Aku tidak bisa menerima anak dari wanita miskin yang tidak jelas asal usulnya untuk menjadi cucuku!" lanjut Nyonya Camelia.
Di sisi pintu ruang makan, Alea berdiri dan mendengar semua pembicaraan mereka. Menghembuskan napas kasar berusaha menguatkan hati dan memberi semangat pada dirinya sendiri. "Hanya setahun lagi, bertahanlah Alea. Bertahan!"
Alea kembali dengan membawa sepiring capcay dan sambal goreng hati ayam ditangan kiri dan kanannya.
"Alea, duduklah dan makan bersama kami," ujar Arka lembut sembari tersenyum.
"Tidak!" sentak Nyonya Camelia dan Raya bersamaan dengan suara sedikit memekik.
Arka sampai terlonjak karena kaget.
"Jangan membuat mama murka, Ka!" ancam Nyonya Camelia sembari melotot tajam.
"Kamu juga harus ingat perjanjian kita 10 tahun lalu, Mas!" timpal Raya tegas.
Arka menghembuskan napas berat dan tak lagi mengatakan apa-apa. Dia hanya bisa menatap iba punggung Alea yang semakin menjauh.
"Non, ini ada sedikit puding. Makanlah, Non, selagi Nyonya tidak melihat!" Bi Ningsih menyodorkan sebuah piring kecil berisi puding jagung ke hadapan Alea.
Sella yang melihatnya bersedekap di dada dan menatap keduanya sinis. "Nyonya memang tidak tahu, tapi di sini ada mata-matanya," ungkap Sella sembari menunjuk dirinya sendiri.
Alea dan Bi Ningsih menoleh. "Kamu diam aja, Sel. Kasihan Non Alea belum makan sedari siang."
"Bi Ningsih mau aku juga ikut dimarahi, heh?" tanya Sella kesal. "Tuh lihat, CCTV memantau 24 jam," lanjut Sella sembari menggerakkan kepalanya ke arah CCTV yang terletak di sudut atas ruangan.
Bi Ningsih dan Alea bersama-sama menoleh ke arah yang ditunjuk Sella. "Maaf, Non," ungkap Bi Ningsih dengan raut menyesal.
Alea mengulum senyum menenangkan. "Nggak apa-apa, Bi. Alea bisa tahan."
Sudah tidak ada lagi pekerjaan rumah yang harus dikerjakan, Alea hanya tinggal menunggu mereka keluarga Wicaksana selesai makan malam agar dibersihkan ruangannya.
"Selagi senggang, jika ada tugas kuliah yang harus dikerjakan Non bisa mengerjakannya di sini saja, agar saat Nyonya Camelia ke belakang beliau tidak lagi marah karena Non tetap berada di sini," usul Bi Ningsih.
Alea mengangguk, ia lalu beranjak menuju kamarnya guna mengambil laptop miliknya. Setelah itu ia kembali lagi ke dapur dan mulai mengerjakan tugas kampus yang belum selesai.
Meski keluarga Wicaksana tidak pernah memperlakukannya dengan baik dengan selalu menganggapnya sebagai pembantu jika berada di rumah, tapi mereka masih mengizinkan dirinya untuk menempuh pendidikan hingga perguruan tinggi tanpa pernah mengusiknya.
Bi Ningsih yang melihat Alea fokus dengan laptopnya, membiarkan Alea dan mulai membereskan ruang makan berdua bersama Sella.
"Wajahmu jangan cemberut begitu, Sel. Nggak usah ngadu sama nyonya juga!" ujar Bi Ningsih ketus.
Sella melengos semakin mengerucutkan bibirnya cemberut. "Anak itu tidak pernah dianggap oleh keluarga ini, kenapa nggak pergi aja, dari pada tetap di sini tapi nanggung sakit hati setiap hari."
Bi Ningsih hanya tersenyum kecil. "Yang Non Alea pikirkan, yang penting dia bisa sekolah dengan baik dan segera lulus dari perguruan tinggi secepatnya. Jadi, suatu saat jika dia di usir atau keluar dari rumah ini, dia punya ilmu pengetahuan sebagai bekal agar sedikit lebih mudah mencari pekerjaan yang layak untuk bertahan hidup."
Gerakan tangan Sella membersihkan meja terhenti. Ia memandang Bi Ningsih dengan ekspresi tertegun, tiba-tiba ekspresi wajahnya berubah menyeringai. "Sekarang aku tahu alasan dia diam saja saat diperlukan dengan kejam di rumah ini, ternyata diam-diam dia sudah berniat keluar dari sini dan merencanakan masa depan yang lebih baik berbekal ijazah yang nanti akan dia dapatkan."
"Tindakan Non Alea sudah benar 'kan, Sel?" tanya Bi Ningsih sembari tersenyum bangga.
Sella memaksakan senyumnya dan menjawab singkat. "Iya, Bi."
Bi Ningsih menatap Sella sekilas lalu kembali melanjutkan kegiatannya seraya terus mengulum senyum.
"Akhirnya aku mendapat bahan informasi untuk dilaporkan kepada Non Bianca. Pasti Non Bianca akan memberiku lebih banyak uang lagi nanti, aku bisa belanja dan ke salon lagi," batin Sella senang sembari menutup mulutnya yang sedang terkekeh tanpa suara.
Hingga semua pekerjaan rumah beres, Sella yang biasanya rewel dan terus menggerutu jika Alea tidak membantu, maka kali ini Sella membiarkan Alea yang masih betah duduk di tempatnya, menatap intens laptop yang entah apa yang dikerjakannya.
"Non!" panggil Bi Ningsih menghampiri Alea.
Alea mendongak. "Kenapa, Bi? Mereka sudah selesai makan?"
"Sudah, Non. Semua sudah beres, Non Alea kembali aja ke kamar!"
Alea menatap heran, kepalanya melongok ke samping melihat Sella yang sedang memainkan ponselnya.
"Bener, Bi?" tanya Alea sedikit ragu.
Aneh rasanya jika Sella diam saja melihat dirinya tidak turut serta membantu menyelesaikan pekerjaan rumah. Sella selalu menganggap mereka berkedudukan sama, tak jarang malah Sella bersikap layaknya majikan karena merasa seluruh keluarga lebih memihaknya.
Bi Ningsih yang mengerti keraguan Alea lantas terkekeh. "Bibi nggak bohong, Non."
Tak menghiraukan keberadaan Bi Ningsih dan Alea, Sella melewati keduanya begitu saja menuju kamarnya yang ada di belakang.
"Tuh Sella sudah kembali ke kamarnya!" tunjuk Bi Ningsih menggunakan dagu pada punggung Sella yang sudah menghilang.
Alea mengulum senyum. "Iya, Bi. Kalau begitu Alea ke kamar dulu, ya?"
Alea beranjak dari kursi dan berjalan menuju kamarnya sesaat setelah Bi Ningsih menganggukkan kepalanya mengiyakan.
Alea membuka tasnya, meraih sebungkus roti dan air mineral yang tadi di belinya lalu memakannya secara perlahan untuk mengganjal perut.
Alea yang sedang mengunyah roti dengan mata menerawang seakan tengah memikirkan sesuatu, tersentak saat terdengar nada khusus pertanda pesan masuk dari gawainya.
"ALEAAA!!!"
Si pengirim pesan hanya menuliskan namanya menggunakan huruf kapital sebagai kata pertama yang ia baca.
"Apa?" jawabnya membalas pesan tersebut.
Alea memandangi ponselnya menunggu balasan dari si pengirim.
"Kita mendapat job lagi, desain untuk logo pakaian milik brand lokal yang baru akan launching bulan depan!" ucap si pengirim dengan emoji menangis di akhir kalimat.
Alea menutup mulutnya dengan mata terbelalak membaca pesan selanjutnya dari si pengirim, matanya berbinar karena kebahagiaan menyelimuti hatinya.
"Kita akan membahas detailnya besok saat jam kampus selesai!" lanjut si pengirim yang kembali mengirimkan pesan.
"Ok."