Amira kira setelah menikah hidupnya akan bahagia tapi ternyata semua itu tak sesuai harapan. Ibu mertuanya tidak menyukai Amira, bukan hanya itu setiap hari Amira hanya dijadikan pembantu oleh mertua serta adik iparnya. Bahkan saat hamil Amira di tuduh selingkuh oleh mertuanya sendiri tidak hanya itu setelah melahirkan anak Amira pun dijual oleh ibu mertuanya kepada seorang pria kaya raya yang tidak memiliki istri. Perjuangan Amira begitu besar demi merebut kembali anaknya. Akankah Amira berhasil mengambil kembali anaknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Non Mey, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Berjualan Dan Sebuah Hadiah
Pagi itu, Angga mendorong gerobak motornya dengan semangat, meski ia tahu hidupnya sedang tidak mudah. Baru sehari mencoba peruntungan berjualan kue pukis keliling, ia berharap bisa mendapatkan penghasilan yang cukup untuk bertahan hidup bersama keluarganya. Namun, hidup kembali mempermainkannya ketika ia bertemu dengan Nia di sebuah pasar kecil.
Nia sedang berdiri bersama seorang pria yang terlihat mapan. Tangan Nia penuh dengan kantong belanjaan, dan ia tampak ceria hingga pandangannya menangkap sosok Angga di kejauhan. Wajahnya berubah menjadi seringai penuh ejekan.
“Angga? Kamu sekarang jualan pukis? Oh ya ampun , lihat ini! Mantan suamiku sekarang malah jadi pedagang keliling!” Nia tertawa keras, mengundang perhatian beberapa orang di sekitar mereka.
Angga tidak menjawab. Ia hanya menunduk, mencoba menjaga harga dirinya meskipun hinaan Nia menyakitinya.
“Seharusnya aku tahu dari awal kalau kamu nggak punya masa depan, Angga. Aku bodoh dulu merebut kamu dari Amira. Ternyata Amira itu malah korban!” lanjut Nia sambil melirik pacarnya yang hanya berdiri diam tanpa ikut campur.
Tiba-tiba, nada suara Nia berubah menjadi lebih tajam. “Oh ya, ngomong-ngomong soal masa lalu, aku masih ingat ibumu, Ratna, pernah mencuri uangku waktu aku masih jadi istrimu. Uang itu nggak pernah dikembalikan, dan sekarang aku mau ganti rugi!”
Angga menatap Nia dengan heran. “Apa maksud kamu, Nia? Uang apa?”
“Jangan pura-pura nggak tahu! Ibumu mencuri uangku waktu itu! Sekarang aku mau kami ganti rugi. Karena kamu anaknya, kamu yang harus tanggung jawab!” Nia berkata dengan nada keras, menarik perhatian orang-orang di sekitar mereka.
Angga menghela napas panjang. Ia tahu Nia hanya ingin mencari masalah, tetapi ia juga belum tahu bahwa ibunya benar atau tidak melakukan itu.
“Hari ini aku nggak punya banyak uang karena kue ku belum sepenuhnya laku. Tapi kalau memang benar ibuku salah, aku akan coba cari cara untuk menggantinya,” jawab Angga dengan suara tenang.
Namun, Nia tidak peduli. Dengan kasar, ia merampas tas kecil yang tergantung di gerobak Angga, mengambil hasil penjualan pukis hari itu.
“Ini aku ambil buat bayar sebagian utangnya! Lain kali, aku akan cari sisanya!” kata Nia sambil tersenyum puas.
Angga hanya bisa diam, menahan amarahnya. Ia tidak ingin mempermalukan dirinya lebih jauh di depan umum. Setelah Nia pergi, ia duduk di pinggir jalan, mencoba menenangkan dirinya.
“Kenapa hidupku jadi begini...” gumamnya dengan suara bergetar.
Orang-orang yang melihat kejadian itu merasa iba pada Angga, tetapi tidak ada yang berani mendekat atau menanyakan apa yang telah terjadi.
Ketika Angga pulang ke kontrakan, ia melihat Loli sedang membantu ibunya, Ratna, menyiapkan makan malam. Ratna langsung menyadari wajah murung putranya dan bertanya, “Kenapa kamu kayak orang kalah perang, Angga? Jualan nggak laku, ya?”
Angga tidak menjawab. Ia hanya menaruh gerobaknya di pojok dan duduk di kursi kayu kecil.
Loli yang penasaran mendekat. “Mas, ada apa? Kok kayaknya capek banget?”
Akhirnya, Angga menceritakan pertemuannya dengan Nia, termasuk bagaimana Nia mengambil hasil jualannya hari itu. Ratna yang mendengar cerita itu langsung marah besar.
“Kurang ajar itu perempuan! Dia nggak tahu diri! Uang apa yang dia bilang aku curi? Dia cuma ngarang alasan buat ngambil uang kamu, Angga!” Ratna berkata dengan suara tinggi.
Namun, Loli yang lebih tenang berkata, “Bu, walaupun Nia jahat, itu bukan sepenuhnya salah dia. Andai aja Ibu nggak menjebak Mas Angga waktu itu, pasti ini semua nggak akan pernah terjadi.
Ratna terdiam, meski ia masih merasa dirinya tidak sepenuhnya salah.
Malam itu, Angga duduk di luar kontrakan, menatap langit yang gelap tanpa bintang. Ia memikirkan bagaimana hidupnya hancur perlahan sejak ia meninggalkan Amira. Dalam hati, ia merasa bahwa semua ini adalah balasan atas perbuatannya.
“Aku memang nggak pantas hidup bahagia,” gumamnya sambil menatap langit.
Namun, di sisi lain dalam hatinya, ada secercah harapan dalam dirinya. Ia ingin mencoba memperbaiki semuanya, meski ia tahu itu hampir mustahil. Hanya saja, keinginan untuk menjadi ayah yang lebih baik untuk Arka terus menguat di hatinya.
Pada siang yang cerah itu, Amira sedang duduk di ruang tamu kontrakan sambil bermain dengan Arka. Suasana sederhana tapi penuh kebahagiaan itu tiba-tiba berubah saat Bram datang dengan senyum khasnya, membawa kabar yang mengejutkan.
"Amira," ucap Bram setelah dipersilakan duduk oleh Bu Sari yang kebetulan sedang berkunjung. "Aku ingin membicarakan sesuatu yang penting."
Amira mengerutkan kening, merasa ada sesuatu yang serius. "Ada apa, Mas?" tanyanya lembut.
Bram tersenyum sebelum mengeluarkan sebuah map dari tas kerjanya. "Aku sudah membeli sebuah rumah untukmu dan Arka. Rumah ini atas nama Arka. Aku ingin kalian pindah ke sana, agar hidup kalian lebih nyaman. Tidak perlu lagi tinggal di kontrakan sempit seperti ini."
Mata Amira membesar. "Bram, apa maksudmu? Aku nggak bisa menerima ini. Kamu udah terlalu banyak membantuku. Rumah? Itu terlalu besar aku bahkan nggak pernah membayangkan menerima pemberian sebesar ini."
Bram tetap tenang, menatap Amira dengan tulus. "Aku melakukan ini bukan hanya untukmu, tapi juga untuk Arka. Aku sudah menganggapnya seperti anakku sendiri. Aku ingin dia tumbuh di lingkungan yang baik, di rumah yang layak. Ini bukan masalah besar untukku, dan aku melakukannya dengan sepenuh hati."
Amira terdiam. Di satu sisi, ia merasa bersyukur atas kebaikan Bram. Namun, di sisi lain, hatinya berdebar tidak nyaman menerima begitu banyak bantuan.
Melihat kebimbangan Amira, Bu Sari yang sedari tadi diam akhirnya angkat bicara. "Amira, jangan terlalu keras pada dirimu sendiri. Kadang-kadang kita harus belajar menerima kebaikan orang lain. Bram melakukan ini untuk Arka. Anggap saja ini rejeki anakmu. Kamu berhak menerima kehidupan yang lebih baik."
Reza, yang juga hadir di sana, menambahkan dengan nada bercanda, "Iya, Kak Amira. Lagian nanti, kalau Kak Amira menikah dengan Bram dan tinggal bersama di rumah itu, kalian akan jadi pasangan yang cocok banget. Iya nggak, Bu?"
Semua orang tertawa kecil kecuali Amira, yang wajahnya memerah mendengar candaan Reza. Bram hanya tersenyum, meskipun dalam hati ia sebenarnya berharap hal itu menjadi kenyataan.
Setelah merenung sejenak, Amira akhirnya berkata, "Baiklah, Bram. Aku akan menerima ini, tapi hanya karena aku percaya kamu benar-benar melakukannya untuk Arka. Aku nggak ingin menyusahkanmu lebih dari ini."
Bram tersenyum lebar. "Iya, Amira. Kamu nggak perlu merasa terbebani. Aku hanya ingin Arka nyaman."
Beberapa hari kemudian, Bram membawa Amira, Arka, Bu Sari, dan Reza ke rumah yang telah dibelinya. Rumah itu sederhana tapi nyaman, dengan taman kecil di depan dan ruang yang cukup luas untuk Arka bermain.
Amira tidak bisa menyembunyikan rasa harunya. "Rumah ini... indah sekali. Makasih ya, Bram. Aku benar-benar nggak tahu harus berkata apa."
"Yang penting, kalian betah di sini," jawab Bram sambil tersenyum. "Kalau butuh apa-apa, tinggal bilang aja."
Bu Sari mengangguk setuju. "Ini adalah awal yang baru untukmu, Amira. Fokus saja membesarkan Arka dengan baik. Dan siapa tahu, Bram mungkin akan terus jadi bagian penting dalam hidup kalian."
Amira hanya tersenyum kecil, meski hatinya mulai merasa hangat dengan perhatian yang diberikan Bram.
"Cie cie yang lagi senyum," canda Reza pada Amira.
Amira semakin salah tingkah dibuat Reza, namun Bram semakin menyukai Amira ketika terlihat seperti itu, itu sangat manis pikir Bram.
Namun, kebahagiaan ini tidak luput dari telinga Ratna atas pemberitahuan Loli. Saat mendengar bahwa Amira dan Arka pindah ke rumah baru yang disediakan oleh Bram, Ratna semakin merasa benci dan iri.
"Perempuan itu benar-benar beruntung!" gerutunya kepada Angga dan Loli. "Lihat saja, hidupnya sekarang serba enak karena dapat pria kaya. Kenapa hidup kita malah jadi seperti ini?"
Loli, yang sudah muak dengan sikap ibunya, menjawab dengan tajam, "Bu, kalau ibu nggak memperlakukan Kak Amira seperti dulu, mungkin hidup kita nggak akan seburuk ini. Ini semua karena ibu sendiri!"
Ratna hanya mendengus kesal, sementara Angga memilih diam. Dalam hati, Angga merasa bersalah karena membiarkan ibunya terus menyimpan dendam terhadap Amira.