Sinopsis
Caca, adik ipar Dina, merasa sangat benci terhadap kakak iparnya dan berusaha menghancurkan rumah tangga Dina dengan memperkenalkan temannya, Laras.
Hanya karena Caca tidak bisa meminta uang lagi kepada kakaknya sendiri bernama Bayu.
Caca berharap hubungan Bayu dan Laras bisa menggoyahkan pernikahan Dina. Namun, Dina mengetahui niat jahat Caca dan memutuskan untuk balas dendam. Dengan kecerdikan dan keberanian, Dina mengungkap rahasia gelap Caca, menunjukkan bahwa kebencian dan pengkhianatan hanya membawa kehancuran. Dia juga tak segan memberikan madu untuk Caca agar bisa merasakan apa yang dirasakan Dina.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Minami Itsuki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 28 PERNIKAHAN DANU DAN BELINDA
Sebulan setelah keputusan yang aku buat untuk tetap bertahan dalam pernikahan ini, aku mendapati kenyataan yang lebih pahit lagi. Mas Danu, yang seharusnya menjadi suamiku yang setia, akhirnya menikahi Belinda secara resmi, baik di mata agama maupun negara.
Pesta pernikahan yang mereka gelar begitu megah, penuh kemewahan yang tak terbayangkan sebelumnya, dan itu terjadi di sebuah hotel bintang lima. Semua orang tampak bahagia, termasuk mereka.
Namun, yang lebih membuatku terkejut adalah ketika Mas Danu meminta tanda tanganku untuk persetujuan pernikahan mereka.
Aku merasa seperti hidupku benar-benar berada di ujung jurang. Pada awalnya, aku pikir pernikahan ini hanya sebatas pernikahan siri yang mungkin bisa aku abaikan, tetapi ternyata Mas Danu menginginkan sesuatu yang lebih.
Dengan wajah yang penuh keyakinan, dia meminta aku untuk menandatangani dokumen sebagai persetujuan bahwa aku menyetujui pernikahannya dengan Belinda, agar semuanya sah di mata hukum dan agama.
Saat aku memegang pena di tangan, aku merasa seperti ada beban yang sangat berat menghimpit dadaku. Hatiku terasa sesak, tapi aku tahu aku tidak punya banyak pilihan.
Dengan tanda tangan itu, aku memberikan izin agar Mas Danu menikahi Belinda secara sah. Sungguh, ini adalah momen yang aku tak pernah bayangkan akan terjadi dalam hidupku. Aku tak ingin menerima kenyataan ini, namun aku tahu bahwa aku harus memilih untuk tetap bertahan.
“Caca, ini hanya formalitas. Kamu tak perlu khawatir,” kata Mas Danu dengan nada tenang, mencoba meyakinkanku. “Ini demi kepentingan kita semua, untuk stabilitas rumah tangga kita ke depannya. Aku ingin semuanya berjalan lancar.”
Aku terdiam, menatap dokumen itu sejenak, merasa dunia ini seolah berhenti berputar. Mengapa aku harus menandatangani ini?
Mengapa harus ada persetujuan dari pihakku? Hatiku ingin berontak, tetapi akal sehatku mengatakan bahwa aku harus menahan semuanya demi sesuatu yang lebih besar: keamanan hidupku, kenyamanan yang telah aku nikmati, dan kenyataan bahwa aku tak ingin kehilangan semua itu.
"Kenapa kamu tak bisa cukup dengan apa yang sudah ada?" bisikku dalam hati, marah pada diriku sendiri karena menerima kenyataan pahit ini. Namun, saat aku mengingat betapa sulitnya hidup tanpa semuanya yang sudah aku miliki, aku tak bisa menahan diri lagi.
Aku menandatangani dokumen itu, meskipun perasaan di dalam hatiku sangat terluka. "Aku setuju," kataku dengan suara rendah, hampir tidak terdengar. "Kamu bisa menikahinya. Tapi ingat, aku tetap di sini. Aku masih istrimu yang sah."
Mas Danu tampak lega setelah itu, seolah beban berat terlepas dari pundaknya. "Terima kasih, Caca," ucapnya dengan tulus, meski aku tahu itu hanya kata-kata kosong. "Aku berjanji, semuanya akan baik-baik saja. Kita akan tetap bersama, meskipun ini mungkin tidak mudah."
Aku hanya mengangguk pelan, tak mampu berkata apa-apa lagi. Dalam hatiku, aku tahu ini adalah titik terendah dalam hidupku. Aku menyerahkan diri pada kenyataan pahit bahwa pernikahanku sudah tidak sama lagi.
Meskipun aku tetap bersama Mas Danu, aku merasa seperti orang yang terperangkap dalam kehidupan yang aku ciptakan sendiri. Namun, ini adalah pilihan yang aku buat, dan aku harus menerima konsekuensinya.
Selama pesta pernikahan yang sangat mewah itu berlangsung, aku merasa seperti menjadi penonton dalam hidupku sendiri—terjebak dalam momen yang penuh dengan kebahagiaan orang lain, sementara hatiku terasa hancur.
Aku duduk di antara tamu undangan, mencoba menahan diri, menahan air mata yang rasanya hampir tak bisa kubendung. Melihat Mas Danu berdiri di pelaminan dengan Belinda, tampak bahagia dan penuh senyum, aku merasa seolah tubuhku terbalut dalam rasa sakit yang begitu dalam.
Dia bukan lagi hanya suamiku; sekarang dia adalah milik orang lain. Di mata orang banyak, dia tampak bahagia, namun aku hanya bisa melihatnya dengan hati yang remuk.
Keluarga besar terlihat begitu bahagia dengan pernikahan mereka. Semua orang tersenyum, memberi selamat, dan menyampaikan doa untuk kebahagiaan mereka.
Sementara aku, aku hanya duduk terdiam, berusaha menahan perasaan yang tak bisa lagi kutahan. Suamiku, yang dulu aku perjuangkan, yang dulu menjadi bagian dari hidupku, kini ada di sana, di sisi Belinda, bukan di sisiku. Rasa cemas, marah, dan bingung bercampur aduk. Aku merasa seperti tak memiliki tempat di dunia ini.
Tapi yang membuat hati ini semakin pedih adalah tatapan yang aku terima dari Mbak Dina. Aku tahu dia ada di sana, berdiri di antara kerumunan, dengan tatapan yang penuh dengan rasa puas dan kemenangan. Senyumnya begitu tipis, tapi aku bisa merasakannya—senyum yang penuh dengan balas dendam yang telah tercapai. Dia melihat ke arahku dengan tatapan yang seolah mengatakan, "Aku sudah menang. Aku sudah berhasil menghancurkanmu."
Tatapan itu membuat hatiku semakin pedih, karena aku tahu dia adalah orang yang selama ini berperan besar dalam merusak rumah tanggaku.
Aku ingin melawan, ingin berteriak, tapi apa yang bisa kulakukan? Semua terasa sia-sia. Dia sudah berhasil dengan rencananya.
Mas Danu menikah dengan Belinda, dan aku hanya bisa menatapnya, merasa seperti orang asing dalam hidup suamiku. Semua yang aku upayakan untuk mempertahankan pernikahan ini, semua pengorbananku, seolah tak berarti apa-apa di mata dunia.
Di tengah keramaian itu, aku merasa semakin kecil, terperangkap dalam perasaan sakit yang tak kunjung reda. Senyum Mbak Dina semakin tajam, seolah dia puas melihatku terjatuh, terhina, dan terdiam dalam penderitaan ini.
Aku tak bisa lagi menahan perasaan ini. Hanya waktu yang bisa menjawab apakah aku akan bisa bertahan dalam rumah tangga yang sudah hancur ini, ataukah aku akan memilih untuk pergi, meninggalkan semua kebohongan yang ada.
Di tengah keramaian pesta, aku duduk di sudut ruangan, mencoba menyembunyikan perasaanku yang semakin sesak. Tiba-tiba, aku merasakan seseorang mendekat.
Ketika aku menoleh, ternyata itu adalah Mbak Dina. Wajahnya tampak penuh kepuasan, seolah dia sudah meraih tujuannya. Senyumnya yang tipis dan tajam membuat jantungku berdegup kencang, seolah dia sudah siap untuk memberikan serangan terakhir.
Mbak Dina berhenti di depanku, matanya menatapku dengan tatapan yang sulit diartikan. “Jadi, kamu akhirnya sampai di sini juga, Caca,” katanya dengan nada yang penuh kepuasan. “Melihat suamimu menikah dengan perempuan lain, di depan matamu, dan tak bisa melakukan apa-apa. Pasti sangat menyakitkan, ya?”
Aku menatapnya dengan perasaan marah yang mulai meluap, tetapi aku mencoba menahan diri. "Apa yang kamu inginkan, Mbak Dina? Kenapa kamu harus datang ke sini hanya untuk membuat aku semakin terluka?" jawabku dengan suara yang bergetar, meskipun aku berusaha menjaga ketenanganku.
Mbak Dina tertawa ringan, seperti itu adalah hiburan baginya. “ Caca... kamu terlalu naif kalau merasa semua ini hanya kebetulan,” katanya dengan senyum sinis. “Aku tahu betapa sakitnya melihat suamimu di pelaminan dengan perempuan lain. Tapi bukankah ini yang kamu pilih? Kamu yang membiarkan dirimu dipermainkan oleh Mas Danu dan keluarga ini. Kamu yang terus mempertahankan pernikahan ini meskipun dia sudah jelas-jelas mengkhianatimu.”
Aku ingin menahan amarah, tapi perkataan Mbak Dina benar-benar menghancurkan ketenanganku. “Apa yang kamu inginkan dariku, Mbak Dina?” tanyaku, kali ini suara lebih tegas meski ada isak kecil di ujung kalimatku. "Apa yang bisa kamu banggakan dari semua ini? Apakah ini membuatmu puas? Membuatmu merasa menang?”
Dia mendekatkan wajahnya, tatapannya semakin tajam. “Aku tidak butuh kamu untuk merasa puas, Caca. Tapi ini adalah pembalasan yang layak untuk seseorang seperti kamu. Kamu pikir semuanya akan tetap baik-baik saja, kamu pikir kamu bisa terus mengendalikan Mas Danu, tapi lihatlah sekarang. Dia sudah memilih Belinda, dan kamu... hanya bisa melihat dari jauh.”
Aku menggigit bibir, berusaha menahan air mata yang hampir tumpah. "Ini bukan tentang siapa yang memilih siapa, Mbak Dina. Ini tentang kebohongan dan pengkhianatan. Kamu mungkin bisa merasa menang sekarang, tapi kamu tahu betul, kamu hanya merusak semuanya."
Mbak Dina mengangkat bahu dengan santai, seolah semua itu tak berarti apa-apa baginya. “Terserah kamu mau bilang apa, Caca. Tapi aku puas. Aku puas karena aku berhasil membuatmu menderita. Aku berhasil menghancurkan pernikahanmu, dan itu jauh lebih berharga daripada apa pun yang kamu punya.”
Aku terdiam, hatiku serasa terhimpit oleh kata-katanya. "Kenapa kamu begitu jahat?" aku berbisik, merasa lelah dengan segala permainan yang sudah terjadi.
bantu ngga.
mudah2an mereka bertiga dpt balesanya
blm sadar jga y,ngga minta maaf Ama Dina.
tuh mantan suami Dina kpn dapet karmanya.
kadang kasian Ama Caca, tp kenapa dia ngga mikir y gimana perasaan Dina. yg skg dia alami.
apa Caca ngga sadar ini ulahnya.
makin merasa terzolimi padahal dia sendiri pelakunya