**"Siapa sangka perempuan yang begitu anggun, patuh, dan manis di depan Arga, sang suami, ternyata menyimpan sisi gelap yang tak pernah ia duga. Di balik senyumnya yang lembut, istrinya adalah sosok yang liar, licik, dan manipulatif. Arga, yang begitu percaya dan mencintainya, perlahan mulai membuka tabir rahasia sang istri.
Akankah Arga bertahan ketika semua topeng itu jatuh? Ataukah ia akan menghancurkan rumah tangganya sendiri demi mencari kebenaran?"**
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ayuwine, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
terungkap
Hari-Hari Berikutnya
Arga semakin sibuk dengan pekerjaannya di kantor. Dia berangkat lebih pagi dari biasanya dan pulang larut malam, bahkan sering kali melewati tengah malam. Semua itu dia lakukan untuk satu alasan: menghindari Alya.
Setiap kali dia mengingat senyuman dan tawa palsu istrinya, rasa muaknya semakin memuncak. Dia tidak ingin melihat wajah itu terlalu lama di rumah, rumah yang kini terasa dingin dan hampa, seolah kehilangan makna kebahagiaan.
Di kantor, Arga menjadi lebih fokus pada pekerjaannya, bahkan hingga ke titik yang mengkhawatirkan para karyawannya. Dia menetapkan standar kerja yang lebih tinggi, menjadwalkan rapat tanpa henti, dan sering kali terlihat tenggelam dalam pikirannya.
"Pak Arga, ini laporan mingguan yang Bapak minta," ucap sekretarisnya, menyerahkan setumpuk dokumen.
Arga hanya mengangguk tanpa mengangkat pandangannya dari layar laptop. "Letakkan saja di meja. Kalau ada kesalahan, segera perbaiki."
Sekretaris itu menelan ludah, sedikit terintimidasi oleh nada tegas bosnya yang kini lebih dingin dari biasanya.
Di balik kesibukannya, Arga terus merencanakan langkah balas dendamnya. Dia tahu Alya mungkin merasa aman, berpikir bahwa kesibukan Arga adalah tanda bahwa dia tidak peduli. Tapi sebenarnya, setiap keputusan Arga adalah bagian dari rencana besar yang perlahan mulai terbentuk.
Saat malam tiba, Arga akhirnya pulang, sengaja memilih waktu saat Alya sudah tertidur. Dia membuka pintu rumah dengan perlahan, berjalan ke ruang tamu tanpa suara, dan duduk di sofa. Pandangannya kosong, tapi pikirannya terus bekerja.
“Sudah pulang, Mas?” suara Alya mengejutkan Arga. Rupanya, wanita itu belum tidur.
Arga menoleh perlahan, memasang ekspresi lelah yang sengaja dibuat-buat. "Iya, kerjaan tadi banyak banget."
Alya berjalan mendekat, duduk di sampingnya dengan senyum tipis. "Mas jangan terlalu capek, nanti sakit. Kalau ada yang bisa aku bantu, bilang aja."
Arga hanya menatapnya tanpa berkata apa-apa. Dalam hatinya, dia tertawa pahit. Membantu? Kau bahkan tidak tahu bagaimana caranya menjaga kepercayaan.
Namun, dia menahan diri untuk tidak meledak saat itu. "Iya, makasih," jawabnya pendek sebelum berdiri dan berjalan ke kamar.
Alya hanya menghela napas, merasa ada sesuatu yang berubah dalam diri Arga. Tapi dia terlalu sibuk dengan urusannya sendiri untuk menyadari bahwa badai besar sedang menantinya.
Di kamar, Arga duduk di tepi ranjang, membuka ponselnya, dan memeriksa beberapa pesan dari orang-orang yang dia tugaskan untuk menyelidiki Alya. Setiap informasi yang dia dapatkan semakin menguatkan kecurigaannya.
Dia mengepalkan tangan, menatap layar dengan mata penuh amarah. "Aku akan memastikan kau merasakan apa yang aku rasakan, Alya. Aku akan membuatmu menyesal."
Di luar kamar, Mentari yang sedang membersihkan meja makan mencuri pandang ke arah pintu kamar Pak Arga. Dia bisa merasakan ada sesuatu yang sedang direncanakan pria itu, sesuatu yang besar dan mungkin mengubah segalanya.
Hari itu, Mentari sedang membersihkan ruang tamu ketika suara langkah kaki asing menarik perhatiannya. Saat dia menoleh, jantungnya hampir berhenti. Alya masuk ke rumah dengan seorang pria yang tidak dikenal, terlihat begitu akrab dan mesra.
Pria itu tampak santai, mengenakan kemeja putih dengan tangan yang melingkar di pinggang Alya. Sementara itu, Alya tersenyum lebar, sesuatu yang sudah lama tidak Mentari lihat ketika bersama Pak Arga.
Mentari buru-buru kembali ke dapur, takut ketahuan. Namun, rasa ingin tahunya lebih besar dari ketakutannya. Dia mengintip dari celah pintu, melihat Alya dan pria itu duduk di sofa, berbicara dengan tawa yang menggema di seluruh ruangan.
"Reza, aku rindu sekali," ujar Alya dengan suara manja, membuat Mentari terkejut.
Pria itu tersenyum lebar, menggenggam tangan Alya. "Aku juga, Sayang. Bagaimana? Sudah ada perkembangan? Dia tidak curiga?"
Alya menghela napas. "Dia terlalu sibuk dengan pekerjaannya. Dia pikir aku hanya istri yang duduk diam di rumah. Itu memudahkan kita, kan?"
Mentari merasa dadanya sesak mendengar semua itu. Jadi pria itu bernama Reza. Dia tidak percaya Alya begitu berani membawa pria lain ke rumah ini, bahkan di saat dirinya masih ada di sana.
Setelah beberapa saat, Reza pamit pulang. Mentari segera berpura-pura sibuk di dapur, berharap Alya tidak menyadari bahwa dia telah mendengar semuanya. Namun, langkah kaki Alya yang tegas menuju dapur membuat Mentari waspada.
"Mentari!" panggil Alya dengan nada tajam.
Mentari menoleh, berusaha terlihat tenang. "Iya, Mbak?"
Alya menatapnya dengan mata yang menyala penuh kemarahan. "Aku tahu kau tadi mengamati kami! Jangan berpura-pura bodoh!"
Mentari terdiam, tidak tahu harus berkata apa. Namun, sebelum dia sempat menjawab, Alya melanjutkan dengan suara yang lebih rendah namun penuh ancaman.
"Dengar baik-baik, Mentari. Jika kau berani mengadu pada Arga, aku bersumpah akan menghancurkan keluargamu. Aku tidak peduli meskipun kau adalah sepupuku. Jangan pernah ikut campur urusan pribadiku, mengerti?"
Mentari terdiam, merasa terguncang oleh ancaman itu. Tapi jauh di dalam hatinya, dia tahu dia tidak bisa membiarkan ini terus berlanjut. Pak Arga tidak pantas diperlakukan seperti ini.
Ketika Alya akhirnya pergi, Mentari duduk di kursi dapur, merenung dalam diam. Dia tahu keputusan apa pun yang dia buat akan berdampak besar pada keluarganya. Tapi, dia juga tahu, diam saja berarti membiarkan pengkhianatan ini berlanjut.
Dengan napas berat, Mentari akhirnya berkata pada dirinya sendiri, "Aku tidak akan tinggal diam. Apapun yang terjadi, aku harus melindungi Pak Arga. Dia tidak pantas terus disakiti seperti ini."
Dengan keberanian yang semakin menguat, Mentari memutuskan untuk memberitahu Arga. Dia tahu risiko yang akan dihadapinya, tapi hatinya tidak bisa membiarkan pria itu terus menderita dalam kebohongan.
Mentari membawa secangkir jahe hangat ke ruang tamu, tempat Arga tengah bersandar dengan wajah lelah di sofa. Malam itu, Arga pulang lebih larut dari biasanya. Matanya terlihat kosong, seperti seseorang yang telah kehilangan semangat hidup.
Dengan langkah pelan dan hati yang penuh keraguan, Mentari mendekat. "Pak, ini jahe hangat. Mungkin bisa bantu Bapak merasa sedikit lebih baik," ucapnya dengan suara lirih sambil menyodorkan cangkir tersebut.
Arga membuka matanya perlahan, mengangguk sebagai tanda terima kasih. Namun, sebelum Mentari sempat melangkah mundur, dia mengumpulkan keberaniannya untuk berbicara.
"Pak Arga," panggilnya dengan nada gemetar.
Arga mengalihkan pandangannya ke arah Mentari, mengisyaratkan agar dia melanjutkan.
"Sebenarnya... ada sesuatu yang harus saya sampaikan," ujar Mentari dengan suara nyaris berbisik. Tangannya yang dingin menggenggam erat serbet kecil di pangkuannya.
Arga mengangkat alis, menatap Mentari dengan tatapan lelah. "Apa itu, Mentari? Katakan saja."
Mentari menarik napas dalam-dalam, lalu mengungkapkan semuanya. "pagi tadi... saya melihat Mbak Alya membawa seorang pria ke dalam rumah ini. Mereka terlihat sangat akrab, bahkan dia memanggil pria itu dengan nama Reza."
Mendengar nama itu, Arga menegang. Dia meletakkan cangkir jahe di atas meja dengan tangan yang sedikit gemetar. "Apa kau yakin?" tanyanya dengan suara yang lebih tajam.
"Saya tidak mungkin salah, Pak. Saya melihat mereka sendiri dengan mata kepala saya," jawab Mentari dengan suara pelan. "Tapi, saya mohon... jangan libatkan saya. Mbak Alya sudah mengancam akan menghancurkan keluarga saya jika saya berani memberitahu Bapak."
Arga terdiam sejenak, menatap lurus ke depan. Kemarahan tampak jelas di wajahnya, namun ada sesuatu yang lebih dalam keletihan, keputusasaan, dan hati yang sudah terlalu sering terluka.
"Mentari," katanya akhirnya dengan suara rendah namun tegas. "Kau tidak perlu takut. Keluargamu akan aman. Aku pastikan itu."
"Tapi, Pak..." Mentari ingin membantah, namun Arga mengangkat tangannya, menghentikannya.
"Alya sudah cukup lama membuatku muak," lanjut Arga. "Apa yang kau katakan hanya memperjelas apa yang selama ini aku curigai. Aku sudah tidak punya tenaga untuk mempertahankan apa yang seharusnya tidak layak dipertahankan."
Mentari menunduk, merasa bersalah telah membawa kabar buruk ini. Namun, di sisi lain, dia juga merasa lega karena akhirnya Arga tahu kebenarannya.
Arga menghela napas panjang, lalu berdiri dari sofa. "Terima kasih sudah memberitahuku, Mentari. Mulai sekarang, kau tidak perlu khawatir lagi. Semua ancamannya tidak akan menyentuh keluargamu. Aku yang akan menyelesaikan ini."
Mentari hanya bisa mengangguk, berharap bahwa keputusannya untuk berbicara adalah langkah yang benar. Sementara itu, Arga berjalan ke arah kamarnya dengan langkah berat, pikirannya dipenuhi oleh rencana untuk mengakhiri semuanya dengan Alya.
semangat Thor