Celia Carlisha Rory, seorang model sukses yang lelah dengan gemerlap dunia mode, memutuskan untuk mencari ketenangan di Bali. Di sana, ia bertemu dengan Adhitama Elvan Syahreza, seorang DJ dengan sikap dingin dan misterius yang baru saja pindah ke Bali. Pertemuan mereka di bandara menjadi awal dari serangkaian kebetulan yang terus mempertemukan mereka.
Celia yang ceria dan penuh rasa ingin tahu, berusaha mendekati Elvan yang cenderung pendiam dan tertutup. Di sisi lain, Elvan, yang tampaknya tidak terpengaruh oleh pesona Celia, justru merasa tertarik pada kesederhanaan dan kehangatan gadis itu.
Dengan latar keindahan alam Bali, cerita ini menggambarkan perjalanan dua hati yang berbeda menemukan titik temu di tengah ketenangan pulau dewata. Di balik perbedaan mereka, tumbuh benih-benih perasaan yang perlahan mengubah hidup keduanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon yanahn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Karang Boma Cliff
Setelah selesai sarapan, Elvan melirik jam tangannya, "Aku harus segera pergi ke studio," ucap Elvan sambil berdiri dan membereskan sisa sarapannya.
Celia mengangguk, dia menyusul Elvan dan mengambil alih piring kotor yang ada di tangan Elvan. "Kamu berangkat saja, biar aku yang beresin."
Elvan tersenyum dan menarik Celia ke dalam pelukannya, memeluknya erat. "Aku akan segera pulang, aku pasti akan merindukanmu."
Celia tersenyum, "Iya, aku juga, cepat berangkat, aku akan menunggumu."
Elvan mencium kening Celia, lalu beranjak pergi meninggalkan Celia. Celia memperhatikan Elvan yang semakin menjauh. Setelah mencuci piring, Celia menghabiskan waktu dengan membaca buku, dan menikmati hangatnya sinar matahari. Saat Celia sedang bersantai, tiba-tiba ponsel Celia berdering, Celia menatap layar ponselnya sebentar, lalu menjawab panggilannya.
"Halo, iya Ly, kenapa?" tanya Celia saat mendengar suara Lily di seberang sana.
"Kamu masih di vila?" tanya Lily.
"Iya, aku akan tinggal disini beberapa hari lagi, sekalian survei buat konten kita berikutnya," jawab Celia.
"Oke, yaudah enjoy ya. Aku bakal tinggal di rumah Nenek Kinan. Ternyata Nenek Kinan baik banget, pantesan kamu betah disini," ujar Lily sambil terkekeh.
Celia ikut terkekeh mendengar ucapan Lily. "Iya, Nenek Kinan memang orangnya seperti itu. Titip Nenek Kinan ya, kalau ada apa-apa kabari aku."
"Siaap boss," balas Lily sebelum menutup teleponnya.
Celia meletakkan ponselnya di atas meja, lalu beranjak pergi ke dapur untuk membuat secangkir teh. Baru saja Celia ingin mengambil teh, tiba-tiba ponselnya berdering lagi. Celia bergegas mengambil ponselnya. Celia tersenyum, saat nama Elvan muncul di layar ponselnya.
"Halo, kenapa Van? Udah sampai studio?" tanya Celia.
"Nggak apa-apa, cuma ada sedikit masalah. Ini baru sampai sepuluh menit yang lalu," jawab Elvan, suara Elvan terdengar sedikit kesal.
"Ada masalah apa? Kamu nggak apa-apa, kan?" Celia bertanya, nadanya sedikit khawatir.
"Masalahnya bukan di aku. Tapi ada masalah di studio, mixer DJ di studio mati total. Padahal aku harus kelarin track hari ini juga," keluh Elvan.
"Terus gimana? Apa ada yang bisa aku bantu?" tanya Celia. Meskipun Celia tahu dia tidak mengerti sama sekali tentang alat itu.
Elvan tertawa kecil. "Bantu doa aja ya sayang. Aku sambil nunggu teknisi datang. Tapi kayaknya aku butuh kamu buat..."
"Kamu mau aku ke studio?" tawar Celia. Sebelum Elvan menyelesaikan ucapannya.
"Nggak usah kesini. Gimana kalau nanti kita kencan aja?" ucap Elvan.
Celia tersenyum. "Boleh. Kamu mau kita kencan ke mana?"
"Entahlah, yang penting sama kamu, kamu atur aja tempatnya," jawab Elvan santai.
"Oke, kabari aku kalau kamu udah kelar ya," ucap Celia.
"Iya sayang," ucap Elvan sebelum menutup teleponnya.
Celia tersenyum sambil meletakkan ponselnya di meja. Celia beranjak dari sofa dan berjalan ke dapur. Dia mulai memikirkan rencana untuk kencan dengan Elvan. "Hmm, piknik di Karang Boma Cliff, Uluwatu, kayaknya seru," gumam Celia sambil membuka lemari dapur, mencari camilan yang bisa dibawa.
Celia mengambil keranjang piknik kecil yang ada di sudut dapur, lalu mulai mengisinya dengan beberapa makanan ringan dan minuman dingin. Tidak lupa, dia memasukkan dua kaleng kopi favorit Elvan. "Dia pasti suka," pikir Celia sambil tersenyum.
Waktu berlalu, dan menjelang sore, ponsel Celia kembali berdering. Elvan menghubunginya.
"Aku baru selesai, sayang. Jadi, kita ketemu di mana?" tanya Elvan.
"Aku ada ide. Gimana kalau kita piknik di Karang Boma Cliff, Uluwatu? Aku udah siapin camilan sama kopi favorit kamu," jawab Celia penuh semangat.
"Karang Boma Cliff? Sounds good! Aku jemput kamu, ya," ucap Elvan.
"Nggak usah, aku aja yang nyusul kamu ke studio. Lebih cepat, daripada bolak balik," Celia menolak dengan nada ringan.
Elvan tertawa kecil. "Oke, kalau gitu aku tunggu di sini."
Setelah menutup telepon, Celia segera bersiap. Dia mengganti bajunya dengan dress santai warna putih, lalu mengambil keranjang pikniknya dan berjalan keluar.
Begitu sampai di studio, Celia melihat Elvan sudah menunggunya di depan pintu. Pria itu mengenakan kemeja hitam lengan panjang yang digulung sampai siku, terlihat santai tapi tetap menawan.
"Kamu niat banget," ucap Elvan sambil menunjuk keranjang yang dibawa Celia.
Celia tertawa kecil. "Ya iyalah, kan mau bikin kencan kita spesial."
Keduanya lalu berjalan ke mobil Elvan yang terparkir tidak jauh dari studio. Begitu sampai, Elvan membuka pintu mobil untuk Celia, sementara Elvan duduk di kursi kemudi, dan melajukan mobilnya.
Elvan memarkirkan mobilnya di area dekat Karang Boma Cliff, Uluwatu. Begitu mesin mobil dimatikan, dia menoleh ke arah Celia yang sedang sibuk merapikan keranjang pikniknya.
“Kamu yakin mau piknik di sini? Anginnya lumayan kencang, lho,” tanya Elvan sambil tersenyum tipis.
Celia menatap Elvan. “Justru itu serunya! Lagian, lihat deh pemandangannya. Worth it banget.”
Elvan hanya tertawa kecil, dia mengambil selimut kecil yang ada di kursi belakang lalu keluar dari mobil untuk membantu Celia. Elvan dan Celia berjalan kaki beberapa meter menuju tebing, angin laut langsung menyambut mereka, membawa aroma asin yang khas. Dari atas tebing itu, mereka bisa melihat ombak besar yang menggulung di bawah. Langit sore mulai berwarna jingga keemasan, menciptakan suasana yang memukau.
“Sayang, tempat ini keren banget. Kamu tahu aja spot yang bagus buat kencan” ucap Elvan sambil membantu Celia menggelar tikar di area yang aman.
Celia tersenyum lebar. “Kan aku udah bilang, aku mau bikin kencan kita spesial.”
Mereka duduk berdampingan, menikmati camilan yang Celia bawa. Elvan membuka kaleng kopi favoritnya, menyesapnya pelan sambil menatap laut. “Aku suka suasana kayak gini. Tenang, jauh dari kebisingan.”
Celia mengangguk, matanya tertuju pada matahari yang mulai tenggelam di cakrawala. “Aku juga. Kadang aku berharap bisa sering-sering ke tempat kayak gini, lepas dari semua kesibukan dan kebisingan di kota.”
Angin bertiup lebih kencang, membuat Celia sedikit menggigil. Elvan, yang menyadari itu, langsung mengambil selimut kecil yang ia bawa dan menyelimutkannya ke bahu Celia.
“Pakai ini, nanti kamu masuk angin,” ucap Elvan dengan nada lembut.
Celia tersenyum kecil sambil merapatkan selimut nya. “Thanks honey."
Elvan mengangguk kecil, lalu kembali menatap laut. “Kadang aku berpikir, seandainya kita punya lebih banyak waktu kayak gini. Nggak ada deadline, nggak ada tekanan, cuma kita dan tempat seindah ini, pasti hidup kita lebih berwarna."
Celia menoleh, menatap Elvan dengan lembut. “Sayang, kita harus bersyukur. Kita memang nggak bisa kabur dari dunia kita. Tapi aku senang, meskipun sibuk, kamu masih nyempetin waktu buat aku. Dan itu udah lebih dari cukup buat aku.”
Elvan menatap lekat wajah Celia. “Apa pun yang terjadi, aku bakal selalu nyempetin waktu buat kamu. Karena kamu adalah bagian terpenting dari hidupku.”
Celia tersenyum, menggenggam tangan Elvan yang terulur ke arahnya. “Aku juga, Van. Kamu adalah rumahku.”
Kedua duduk di atas tikar, di atas bukit, menikmati momen tanpa tergesa-gesa. Saat malam mulai turun, bintang-bintang perlahan bermunculan di langit gelap. Karang Boma Cliff menjadi saksi kehangatan cinta mereka, cinta yang sederhana, tapi begitu mendalam.