Axeline tumbuh dengan perasaan yang tidak terelakkan pada kakak sepupunya sendiri, Keynan. Namun, kebersamaan mereka terputus saat Keynan pergi ke luar negeri untuk melanjutkan pendidikannya.
Lima tahun berlalu, tapi tidak membuat perasaan Axeline berubah. Tapi, saat Keynan kembali, ia bukan lagi sosok yang sama. Sikapnya dingin, seolah memberi jarak di antara mereka.
Namun, semua berubah saat sebuah insiden membuat mereka terjebak dalam hubungan yang tidak seharusnya terjadi.
Sikap Keynan membuat Axeline memilih untuk menjauh, dan menjaga jarak dengan Keynan. Terlebih saat tahu, Keynan mempunyai kekasih. Dia ingin melupakan segalanya, tanpa mencari tahu kebenarannya, tanpa menyadari fakta yang sesungguhnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mutzaquarius, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22
Keynan melangkah gontai ke dalam kamarnya dan menutup pintu dengan kasar. Dadanya terasa sesak, pikirannya kacau, dan emosi yang berkecamuk di dalam dirinya tidak lagi bisa dikendalikan. Dengan napas memburu, ia mengepalkan tangannya erat, lalu menghantam meja sekuat tenaga.
BRAK!
Namun, itu belum cukup. Ia meraih benda-benda di sekitarnya, buku, vas, foto di atas meja dan melemparkannya tanpa peduli. Suara pecahan kaca dan benda jatuh memenuhi ruangan, mencerminkan kekacauan yang juga terjadi dalam hatinya.
"ARGH!" Keynan berteriak keras, meluapkan segalanya. Tubuhnya akhirnya merosot ke lantai, bersandar pada tempat tidur dengan mata yang kini memerah, penuh dengan amarah dan kepedihan.
"Kau pengecut, Keynan. Kau bodoh ... kau penakut ..." bisiknya dengan suara yang bergetar.
Tanpa sadar, tangannya mencengkeram rambutnya sendiri, menariknya dengan frustrasi, seolah ingin menghukum dirinya atas semua yang terjadi. Air mata mulai mengalir, jatuh tanpa bisa ia tahan lagi.
Lalu, sejenak, ia terdiam. Tangannya merogoh saku celana dan mengeluarkan sesuatu yang selalu ia bawa. Dua kalung dengan Liontin setengah hati miliknya dan Axeline.
Jemarinya bergetar saat menggenggam benda kecil itu. Tatapannya meredup, penuh penyesalan.
"Maafkan aku, Lin. Maaf," suaranya lirih, hampir tidak terdengar.
Isakan nya tertahan, tubuhnya sedikit membungkuk saat rasa sakit menghantamnya tanpa ampun. Namun, sedetik kemudian, tatapannya berubah. Mata yang tadi dipenuhi kesedihan kini berubah tajam.
Keynan mengepalkan tangannya erat. Dengan kasar, ia mengusap air matanya dan berdiri tegap. Tidak. Ia tidak bisa terus seperti ini. Ada sesuatu yang harus ia lakukan.
Tanpa ragu, ia melangkah keluar dari kamarnya. Ia harus pergi ke suatu tempat untuk melampiaskan kemarahan.
Keynan masuk ke dalam mobil. Ia menghela napas panjang sebelum mengeluarkan ponselnya dari saku celana. Dengan rahang mengatup dan tangan mengepal, ia menekan nomor yang sudah dihafalnya di luar kepala.
Begitu panggilan tersambung, tanpa basa-basi, ia berbicara dengan nada dingin.
"Siapkan semuanya. Malam ini juga, aku akan mengakhirinya."
Tanpa menunggu jawaban, Keynan langsung mematikan telepon dan melempar ponselnya ke kursi penumpang. Tangannya kemudian meraih setir, menyalakan mesin, dan dalam sekejap, mobilnya melesat dengan kecepatan tinggi menembus jalanan malam.
Butuh waktu singkat baginya untuk sampai di pelabuhan. Angin laut berembus kencang, namun tidak cukup untuk meredakan amarah yang membakar dadanya.
Begitu mobil berhenti, Keynan turun dengan langkah tegas. Di hadapannya, Andrian sudah menunggu, berdiri di samping yacht pribadi milik Keynan dengan ekspresi tanpa emosi.
"Selamat malam, Tuan," sapa Andrian singkat.
"Di mana mereka?" suara Keynan terdengar dingin, penuh tekanan.
"Mereka ada di dalam," jawab Andrian sambil mengangguk ke arah kapal.
Tanpa menunggu lebih lama, Keynan menaiki yacht itu dengan langkah berat, diikuti oleh Andrian yang selalu setia di belakangnya. Yacht tersebut mulai bergerak, perlahan menjauh dari daratan, membawa mereka ke tengah laut yang gelap.
Di dalam ruangan sempit yang hanya diterangi lampu redup, dua orang duduk di lantai dengan kedua tangan terikat ke belakang. Kepala mereka tertutup kain hitam, sementara tubuh mereka tampak menggigil, entah karena dingin atau ketakutan.
Keynan melangkah mendekat, matanya menatap dingin ke arah mereka.
"Buka!" perintahnya tegas.
Tanpa ragu, Andrian menarik kain hitam itu dengan kasar, memperlihatkan wajah dua orang yang kini tampak ketakutan, Mita dan pria suruhannya. Mulut mereka masih tersumpal, membuat rintihan ketakutan mereka terdengar samar.
Keynan menatap mereka dengan sorot mata penuh kebencian. Tanpa perasaan, ia meraih lakban yang menutup mulut mereka dan menariknya dalam satu gerakan kasar.
"Akh!" pekik keduanya bersamaan.
Namun, Keynan hanya berdiri diam, menatap mereka dengan sorot mata yang membuat udara seolah membeku.
"T-Tuan, tolong maafkan aku!" pria itu tergagap, suaranya bergetar ketakutan. "Aku mengaku bersalah! Aku hanya disuruh oleh wanita ini!" Dengan panik, ia menoleh ke arah Mita, berharap bisa melemparkan semua kesalahan kepadanya.
Mita langsung menggeleng cepat dengan mata yang melebar. "I-Itu tidak benar!" sangkalnya dengan suara putus asa. "Aku mohon, percaya padaku, tuan."
"Jangan berbohong!" pria itu membentak, mencari celah untuk membela diri. "Kau yang menghubungiku! Kau yang menawar ..."
PLAK!
Keynan melayangkan tamparan keras ke wajah pria itu, membuatnya terdiam seketika. Mata Keynan menatap mereka dengan tajam yang menusuk sampai tulang.
"Percaya padamu?" Keynan mencibir, menatap Mita dengan tajam. "Kau pikir aku tidak tahu jika semua ini ulahmu, hm?"
Mita menahan napas dengan tubuh yang mulai gemetar.
"Kau menjebak Axeline. Kau mengatakan proyek kalian sukses besar dan mengajaknya untuk merayakannya, tapi itu semua hanya jebakan. Kau ingin balas dendam, bukan?"
Mita tidak bisa menjawab. Ia hanya bisa menunduk, dengan napas tersengal.
"Aku sudah memberimu kesempatan," suara Keynan semakin dalam, semakin mengancam. "Tapi kau justru memilih untuk kembali melakukan kesalahan yang fatal."
Keynan berdiri perlahan, tubuhnya menjulang di depan mereka seperti bayangan maut yang siap menelan korban. Ia mengangkat tangannya sedikit, memberikan isyarat singkat kepada para bodyguard.
"Apa yang ingin kalian lakukan? Tidak! Lepaskan aku!" pekik Mita saat dua bodyguard mendekat dan mencengkeram lengannya dengan kuat.
Mereka menyeretnya ke tepi yacht, teriakan histerisnya menggema di tengah lautan yang gelap. Mita terus meronta, namun usahanya sia-sia.
"Tolong! Aku mohon! Tuan Keynan!" jeritnya, dengan mata yang dipenuhi ketakutan.
Namun, Keynan hanya menatapnya tanpa emosi, seperti menonton sesuatu yang tidak lagi berarti.
Tanpa ragu, bodyguard itu melempar Mita ke laut.
BYUR!
Air menghempas keras saat tubuh Mita menghantam permukaan. Ia berusaha menggapai udara, mencoba berenang dengan kedua tangan yang masih terikat. Namun, semakin ia berusaha naik, semakin tubuhnya tenggelam. Dan … ia tidak muncul lagi.
Keynan tetap diam, menatap permukaan air yang mulai kembali tenang. Lalu, tatapannya beralih pada pria yang masih berlutut, wajahnya basah oleh keringat dingin.
"T-Tuan, jangan! Aku mohon!" pria itu beringsut mundur, matanya penuh ketakutan.
Keynan tidak menjawab. Dengan gerakan cepat, ia mengayunkan kakinya, menendang kepala pria itu dengan keras.
BRAK!
Pria itu jatuh ke lantai, meringkuk kesakitan. Namun, Keynan tidak berhenti. Ia mencengkeram kerah pria itu, menghantamkan kepalan tangannya berulang kali ke wajahnya.
Darah mulai mengalir, teriakan kesakitan memenuhi ruangan.
Ketika pria itu sudah terlalu lemah untuk berteriak, Keynan berdiri dan menatapnya dengan jijik. Dengan satu gerakan brutal, ia menginjak benda paling berharga milik pria itu.
Sebuah jeritan pilu terdengar, sebelum akhirnya tubuh pria itu melemah dan jatuh tidak sadarkan diri.
Keynan menghela napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. Setelah puas, ia menoleh ke arah para bodyguard.
"Lempar dia."
Tanpa banyak tanya, mereka menyeret tubuh pria itu, lalu melemparkannya ke lautan.
Keynan menatap pemandangan itu untuk sesaat. Matanya tetap dingin, tidak ada rasa penyesalan sedikitpun.
Malam ini, semuanya sudah berakhir dan ia berharap, tidak ada lagi orang yang harus ia bunuh setelah ini.