Semua cintanya sudah habis untuk Leo. Pria tampan yang menjadi pujaan banyak wanita. Bagi Reca tidak ada lagi yang pantas dibanggakan dalam hidupnya kecuali Leo. Namun bagi Leo, Reca terlalu biasa dibanding dengan teman-teman yang ditemui di luar rumah.
"Kamu hoby kan ngumpulin cermin? Ngaca! Tata rambutmu, pakaianmu, sendalmu. Aku malu," ucap Leo yang berhasil membuat Reca menganga beberapa saat.
Leo yang dicintai dan dibanggakan ternyata malu memilikinya. Sejak saat itu, Reca berjanji akan bersikap seperti cermin.
"Akan aku balas semua ucapanmu, Mas." bisik Reca sambil mengepalkan tangannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sri Rusmiati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tahu Bulat
Mba Ara menunjukkan kamar yang sudah disiapkan oleh Pak Alam. Reca terbelalak saat pintu kamar itu terbuka. Kamar dengan ukuran besar itu penuh dengan perlengkapan bayi.
"Kata Papa kalian boleh mengangkutnya kapan aja," ucap Mba Ara dengan suara bergetar.
Masih teringat jelas bagaimana wajah bahagia Pak Alam saat menyiapkan ini semua. Mba Ara tidak menyangka jika apa yang dilakukan Pak Alam adalah hadiah terakhir untuk Reca. Hingga tiba-tiba pikirannya tertuju pada percakapan terakhir mereka di rumah sakit.
Papa mau punya cucu. Reca sudah Papa anggap anak Papa sendiri. Berarti anak Reca itu cucu Papa. Nanti Papa kasih nama Wiguna.
Mba Ara pikir dengan lahirnya anak Reca akan membuat Pak Alam kembali sembuh. Ia berharap ada semangat sembuh ketika melihat bayi kecil itu sudah lahir. Nyatanya Pak Alam lebih dulu pergi bahkan sebelum bertemu dengan bayi kecilnya.
"Nanti kalau anaknya laki-laki aku kasih nama Wiguna," ucap Reca lirih.
Padahal saat USG, dokter menyatakan anaknya berjenis kelamin perempuan. Kenapa Pak Alam tidak memberinya option lain. Bukankah Pak Alam sudah tahu hasil USG kandungannya? Ternyata nama Wiguna adalah nama yang disiapkan untuk anaknya dulu bersama mendiang istrinya. Sayangnya, lahirlah anak perempuan. Nama Wiguna akan mereka gunakan saat lahir anak kedua. Nyatanya mendiang istrinya meninggal saat bayi mereka masih berusia lima bulan dalam kandungan.
Nama Wiguna kandas ditelan masa. Tapi tidak dengan kenangannya. Pak Alam masih menyimpan rapi nama itu. Berharap ada orang terdekatnya yang menggunakan nama itu.
Sudah sebulan berlalu, kesedihan tidak pernah hilang dari hati Mba Ara. Bahkan semakin hari, rasa sakit itu semakin nyata. Namun Mba Ara tidak bisa terus terpuruk. Diam di rumah hanya mengingatkannya pada kenangan indah bersama ayahnya. Setiap sudut rumah itu tersimpan memory yang masih terpatri rapi.
"Selamat pagi, Leo. Hari ini aku minta kamu awasi bagian produksi. Jangan sampai kita kecolongan," ucap Mba Ara.
Leo mengernyitkan dahinya. Ia terkejut dengan kedatangan Mba Ara. Terlebih ucapan Mba Ara yang begitu tegas. Sungguh Leo merasa wanita di hadapannya bukanlah Mba Ara yang ia kenal sebelumnya.
"Ba-baik Mba," ucap Leo gugup.
Bukan hanya soal penampilan. Leo kagum dengan penampilan Mba Ara yang terlihat begitu elegan dan sangat cantik. Tiba-tiba kepalanya mengingat penampilan istrinya pagi tadi. Reca menggunakan daster kesayangannya. Warnanya sudah memudar karena sudah cukup lama Reca membelinya.
"Aku permisi dulu," ucap Mba Ara.
Leo melihat Mba Ara benar-benar bicara sebagai atasan dengan bawahan. Padahal biasanya Mba Ara terdengar manja, terasa sangat dekat dengannya. Waktu itu ia merasa risih dengan dengan sikap Mba Ara padanya. Sekarang tiba-tiba ia merasa rindu sosok Mba Ara yang yang dulu.
Setibanya di rumah, Leo disambut oleh Reca dengan baju tidur dan lilitan handuk di kepalanya. Reca baru selesai mandi saat Leo sudah pulang. Saat menatap wajah Reca, tiba-tiba saja bayangan wajah Mba Ara terlintas. Hingga ia tega hati untuk membandingkan wajah Reca dan Mba Ara.
"Mas, Mas," panggil Ara sambil mengibaskan telapak tangannya di hadapan Leo.
"Hah? Apa?" tanya Leo panik.
"Mas kenapa? Kayak lihat setan," ucao Reca.
Susah payah Leo menekan egonya. Kembali ia menatap Reca dengan seksama. Meyakinkan dirinya jika Reca adalah wanita satu-satunya yang ia nikahi secara sadar dan tulus. Satu-satunya yang menerimanya apa adanya.
"Mas," panggil Reca lagi.
Leo terperanjat dan segera memeluk istrinya. Berharap mencium minyak wangi kesukaannya. Sayangnya minyak angin yang dipakai ke pundak Reca membuat Leo menggelengkan kepalanya.
"Sayang, Mas buatkan air hangat. Kita mandi bareng ya," ajak Leo.
"Mas Aja. Aku kayaknya masuk angin. Jadi gak mandi dari pagi," ucap Reca.
Ingin sekali rasanya Leo mengungkapkan ganjalan di hatinya tentang penampilan Reca saat ini. Leo tak habis pikir kenapa Reca bisa secuek itu pada penampilannya. Reca dengan wajah polosnya selalu memandangi cermin. Entah apa yang dilakukannya namun cermin itu tidak mempengaruhi Reca sama sekali dalam berdandan.
Semalaman Leo menyingkirkan pikiran jelek tentang istrinya. Hingga Leo membuka galeri di ponselnya. Menatap wajah cantik dan tubuh seksi Reca saat mereka sedang melangsungkan pernikahan.
Sabar, Leo. Ingat kata ibu dan bapak.
"Mas, bangun. Ayo semangat!" ucap Reca sambil mengecup singkat pipi suaminya.
Leo menggeliat. Berusaha mengumpulkan semangatnya yang nyaris hilang berkeping. Astaga! Leo baru ingat kalau hari ini diundang ke acara pembukaan toko kue milik temannya.
"Sayang, ayo siap-siap!" ajak Leo.
Reca mendengus kesal karena Leo memberi tahu dadakan.
"Aku kan harus siapin baju dari semalam Mas," ucap Reca kesal.
"Pakaianmu kan banyak. Pilih satu aja apa susahnya sih," ucap Leo.
Reca berdecak kesal. Dengan hati dongkol dan penuh dengan gerutuan, Reca memilih satu baju yang masih cukup di badannya. Ia juga mengikat rambutnya dan menggunakan flatshoes.
"Ayo!" ajak Reca.
Sejenak Leo mengamati penampilan istrinya. Sederhana. Ah, ini bahkan terlalu sederhana. Leo merasa penampilan Reca tidak cocok. Ia juga sempat meyakinkan Reca untuk melihat penampilannya pada cermin-cermin kesayangannya itu. Namun saat Leo mencoba untul protes, Reca justru berbalik marah.
"Gak ada baju yang lain?" tanya Leo.
"Mas, baju yang masih cukup dan nyaman plus siap dipakai ya cuma ini. Mas kan gak ada waktu buat ngajakin aku shopping. Lagian ngajak ke undangan juga dadakan. Udah kayak tahu bulat aja," jawab Reca
"Ya sudah kalau gitu sepatunya ganti. Gak pas sama warna bajunya," ucap Leo.
"Mas apa aku harus pakai sepatu hak tinggi? Badan aku tuh berat, sakit kakinya kalau pakai heels. Lagian kaki aku juga menggendut. Ini jadi gak cukup," ucap Leo sambil membawa beberapa sepatu.
"Oke gak apa-apa. Kenapa diikat? Rambutnya boleh digerai gak? Aku suka rambut kamu digerai. Cantik," ucap Leo.
"Mas gak suka rambutku diikat gini? Mas coba deh rasain jadi ibu hamil. Gerah Mas, gerah. Keringetan ini," ucap Reca kesal.
Leo menghela napas dalam dan menghembuskannya kasar. Ini bukan waktunya berdebat dengan Reca. Waktu sudah berjalan dan terasa sangat cepat. Dengan sangat hati-hati, Leo membawa Reca menuju tempat undangan itu. Banyak mata tertuju pada kedatangan mereka berdua. Banyak sekali respon yang tidak bisa mereka sembunyikan.
"Mas, aku baru tahu loh yang punya toko ini temanmu. Kuenya enak," ucap Reca senang.
"Ah sok tahu kamu. Emang kamu kenal sama dia?" ejek Leo sambil menunjuk pemilik toko kue itu.
Reca meyakinkan Leo jika ia memang pernah datang ke toko kue itu di kota yang berbeda. Ternyata Leo justru tidak tahu jika toko yang diresmikan oleh temannya itu adalah cabang dari toko kue yang sangat Reca sukai.
maaf ya
semangat