Riin tak pernah menyangka kesalahan fatal di tempat kerjanya akan membawanya ke dalam masalah yang lebih besar yang merugikan perusahaan. Ia pun dihadapkan pada pilihan yang sulit antara kehilangan pekerjaannya, atau menerima tawaran pernikahan kontrak dari CEO dingin dan perfeksionis, Cho Jae Hyun.
Jae Hyun, pewaris perusahaan penerbitan ternama, tengah dikejar-kejar keluarganya untuk segera menikah. Alih-alih menerima perjodohan yang telah diatur, ia memutuskan untuk membuat kesepakatan dengan Riin. Dengan menikah secara kontrak, Jae Hyun bisa menghindari tekanan keluarganya, dan Riin dapat melunasi kesalahannya.
Namun, hidup bersama sebagai suami istri palsu tidaklah mudah. Perbedaan sifat mereka—Riin yang ceria dan ceroboh, serta Jae Hyun yang tegas dan penuh perhitungan—memicu konflik sekaligus momen-momen tak terduga. Tapi, ketika masa kontrak berakhir, apakah hubungan mereka akan tetap sekedar kesepakatan bisnis, atau ada sesuatu yang lebih dalam diantara mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Coffeeandwine, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
The Contract
Riin menggenggam gagang pintu kayu ruang kerja Jae Hyun dengan sedikit gemetar. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan debaran jantungnya yang tak terkendali. Setelah dua hari merenung, keputusan besar telah diambil, dan kini tiba waktunya untuk menyampaikan itu kepada Jae Hyun. Dengan ragu ia mengetuk pintu perlahan. Dari dalam terdengar suara pria itu, datar namun jelas, mempersilakannya masuk. Riin mengumpulkan keberanian yang tersisa, membuka pintu dan melangkah masuk.
Di tengah ruangan, Jae Hyun duduk dengan postur tegak, mengenakan setelan jas yang tanpa cela. Wajahnya serius, namun matanya memancarkan sorot yang tajam sekaligus dingin. Saat melihat Riin masuk, senyum tipis muncul di wajahnya, tapi itu bukan senyuman hangat, melainkan senyum yang penuh pengendalian diri.
"Duduklah," ucapnya singkat, menunjuk kursi di depan mejanya. Meski suaranya terdengar formal, ada nada halus yang mengisyaratkan rasa penasaran. Ia tahu alasan kedatangan Riin dan bisa menebak arah pembicaraan ini, tetapi ada ketegangan yang tak dapat ia hindari. Bagaimanapun, keputusan gadis itu akan memengaruhi banyak hal, termasuk masa depannya sendiri.
Riin menuruti perintahnya, duduk dengan posisi tubuh yang sedikit tegang. Jemarinya saling bertaut di pangkuannya, ia mencoba menenangkan kegugupan yang menyelimuti dirinya. "Saya sudah memikirkan tawaran Anda selama dua hari ini," ia memulai dengan nada suara lembut namun penuh tekanan. Setelah menarik napas panjang, ia melanjutkan, "Saya... bersedia melakukan pernikahan itu."
Sejenak, ruangan itu sunyi. Jae Hyun menghela napas lega, senyum tipis muncul di wajahnya. Meski senyuman itu lebih mencerminkan rasa lega ketimbang kegembiraan. Baginya, keputusan ini bukan hanya tentang menghindari perjodohan keluarga, tetapi juga tentang menyelesaikan masalah yang dihadapinya tanpa melibatkan terlalu banyak orang.
"Kalau begitu, ini saatnya kita membuat kontrak," ujarnya sambil membuka laci meja dan mengeluarkan dua lembar kertas kosong. Ia menyerahkan salah satunya pada Riin bersama sebuah pena. "Tulislah persyaratan darimu untuk pernikahan ini."
Riin memandang kertas itu dengan ragu. "Saya juga berhak memberikan syarat?" tanyanya dengan nada tak yakin, tatapannya menelusuri wajah Jae Hyun untuk mencari petunjuk.
"Tentu saja," Jae Hyun menjawab dengan nada tegas namun tenang. "Aku akan cukup adil dalam masalah ini."
Mereka mulai menulis dalam keheningan. Suara gesekan pena di atas kertas menjadi satu-satunya bunyi yang mengisi ruangan. Riin menunduk, memikirkan dengan hati-hati apa yang akan ia tulis. Setiap kata yang ia tuliskan adalah cerminan dari kekhawatirannya, dari keinginan untuk menjaga jarak hingga rasa takut akan hubungan ini. Setelah beberapa menit, ia akhirnya menyelesaikan daftar persyaratannya:
Tidak ada skinship.
Masing-masing pihak bebas melakukan apa saja, ke mana saja, dan dengan siapa saja tanpa perlu izin atau memberitahu satu sama lain.
Jika Cho Jae Hyun melanggar semua perjanjian yang disepakati bersama, maka hutang Rindira dianggap lunas dan ia berhak mendapatkan kompensasi besar sesuai permintaannya.
Kontrak ini akan otomatis berakhir jika salah satu pihak melanggar perjanjian, tanpa memperpanjang ikatan lebih lanjut.
Riin meletakkan pena, menyerahkan kertas itu kepada Jae Hyun, dan mengambil kertas milik pria itu. Ia membaca isinya dengan teliti, alisnya berkerut saat membaca poin-poin yang tertulis:
Merahasiakan kontrak ini dari pihak mana pun.
Bersikap layaknya suami istri hanya di hadapan keluarga.
Dilarang mencampuri urusan masing-masing.
Dilarang mengajukan perceraian sebelum dua tahun pernikahan.
Jika melanggar salah satu dari persyaratan di atas, akan dikenakan ganti rugi.
Riin mengernyit, matanya langsung tertuju pada poin kedua. "Apa ini? Bersikap layaknya suami istri di depan keluarga? Hal ini jelas bertentangan dengan syarat dariku," protesnya, menatap Jae Hyun dengan tajam.
Jae Hyun mengangkat alis, lalu menyandarkan tubuhnya ke kursi, ekspresinya tenang tapi serius. “Benar. Itu juga menjadi perhatian utamaku,” katanya sambil meletakkan kertas Riin di atas meja. "Aku bisa memenuhi semua persyaratanmu kecuali poin pertama. Kita tidak mungkin terlihat menjaga jarak saat berada di hadapan keluarga, terlebih lagi setelah kita menikah."
Riin menghela napas, mencoba menekan rasa kesalnya. “Bagaimana kalau aku tidak setuju?” tanyanya dengan nada menantang.
"Jika kau tidak setuju, maka kita tidak bisa melanjutkan ini," jawab Jae Hyun tegas, meski nada bicaranya tetap tenang. "Dan aku yakin kau tahu apa konsekuensinya."
Riin meremas kertas di tangannya, menahan rasa kesal yang meluap. Situasi ini sudah cukup menyulitkan tanpa tambahan tekanan dari pria di hadapannya. “Baiklah,” katanya akhirnya, meskipun suaranya terdengar penuh kekesalan. “Tapi hanya berpegangan tangan. Tidak lebih dari itu.”
Jae Hyun tersenyum tipis, nyaris mengejek. “Tidak bisa,” balasnya cepat. “Akan ada momen-momen tertentu di mana kita harus bertindak lebih dari itu.”
“Lebih dari itu? Apa maksudmu?” Riin menatapnya dengan curiga, matanya menyipit. “Jangan-jangan kau punya niat buruk!”
Jae Hyun menghela napas, mencoba menahan senyum tipis. "Jangan berkhayal terlalu jauh. Yang aku maksud hanyalah sebatas memeluk atau mungkin mencium, itu pun jika benar-benar diperlukan, seperti saat upacara pernikahan."
Riin tertegun, wajahnya memerah karena marah sekaligus malu. Tangannya refleks menutupi bibirnya. “Berciuman? Kau sedang memanfaatkan situasi ini, ya?” protesnya, nadanya naik beberapa oktaf.
Jae Hyun menatapnya dingin, matanya seperti baja. “Dengar, Riin-ssi. Aku tidak sedang memanfaatkanmu. Ini hanyalah bagian dari kesepakatan. Jika kau tidak setuju, silakan cari solusi lain untuk masalahmu dengan perusahaan ini. Aku tidak akan memaksamu.”
Riin memijat pelipisnya, mencoba menenangkan dirinya sendiri. Ia tahu Jae Hyun benar, tapi menerima kenyataan itu tidak membuatnya merasa lebih baik. “Baiklah,” katanya dengan suara yang lemah. “Tapi… ciuman itu tidak harus di bibir, kan? Kening atau pipi saja, bagaimana?”
Jae Hyun mengangkat bahu, sikapnya tetap santai. “Aku tidak bisa menjanjikan itu,” jawabnya seolah itu bukan masalah besar.
Riin menatapnya tajam, hampir tak percaya. “Astaga, kau ini… apa kau seorang playboy?” tanyanya tanpa berpikir. “Kenapa kau begitu mudah mencium gadis tanpa perasaan apapun?”
Jae Hyun terkekeh kecil, tapi tawanya dingin. “Jika aku bisa memilih, tentu saja aku ingin mencium gadis yang benar-benar kusukai. Tapi ini pengecualian. Kita ada dalam situasi yang mengharuskan kita melakukan hal ini.”
Riin terdiam, mencoba mencerna jawabannya. Ia tahu, pada akhirnya, Jae Hyun benar. Ini semua adalah konsekuensi dari keputusan yang sudah ia ambil. “Sajangnim, setelah kita menikah… aku… maksudku, kita tidak akan tinggal bersama, kan?” tanyanya dengan harapan yang samar.
Jae Hyun, yang sedang sibuk memeriksa dokumen di mejanya, mengangkat pandangannya perlahan. Mata tajamnya menatap Riin dengan campuran keseriusan dan rasa ingin tahu. Ada jeda singkat sebelum ia menjawab, cukup untuk membuat jantung Riin berdebar tak menentu.
"Memangnya ada pasangan suami istri yang tinggal terpisah?" tanyanya balik, nadanya datar namun tegas. "Kau harus pindah ke apartemenku untuk berjaga-jaga jika ibuku tiba-tiba berkunjung. Tapi kau tenang saja," tambahnya, sedikit melunakkan nada bicaranya, "kita akan tinggal di kamar terpisah."
Riin menelan ludah dengan susah payah. Kalimat itu terdengar seperti ketukan palu di kepala, menegaskan kenyataan yang sulit ia terima. Bayangan tinggal di bawah satu atap dengan pria yang nyaris asing membuat perutnya terasa mual.
"Kenapa banyak sekali hal mengerikan yang harus aku lakukan," gumamnya frustrasi, hampir merengek. Ia menatap Jae Hyun dengan sorot mata yang memancarkan kepasrahan bercampur ketidakpuasan. "Sajangnim, apa aku boleh mengajukan satu syarat lagi?" tanyanya tiba-tiba, nada suaranya mencerminkan upaya terakhirnya untuk merebut sedikit kendali dalam situasi ini.
Jae Hyun menaikkan alisnya. "Syarat apa? Jika tidak berlebihan, aku bisa mempertimbangkannya."
Riin menghela napas panjang sebelum berbicara. "Jika kita harus tinggal satu atap, aku tidak ingin dirugikan sepenuhnya. Maksudku, jika kau sampai melewati batas, maka secara otomatis kontrak berakhir, seluruh hutangku lunas, dan aku juga mendapatkan kompensasi. Bagaimana?"
Sekilas, ekspresi Jae Hyun berubah, namun ia segera menguasai diri. Dengan anggukan singkat, ia menjawab, "Baiklah. Aku setuju."
Keduanya kembali duduk di meja yang dipenuhi kertas-kertas persyaratan yang mereka buat bersama. Riin dengan hati-hati membaca setiap baris tulisan, memastikan tak ada celah yang bisa merugikannya. Sementara itu, Jae Hyun menandatangani dokumen dengan gerakan tangan yang tenang namun tegas.
"Baiklah," ujar Jae Hyun akhirnya, "Aku mengerti dan akan menuruti semua persyaratanmu. Setelah ini akan kubuat surat kontrak secara resmi saat kita menikah."
Riin mengangguk, meskipun rasa lega belum sepenuhnya menghampirinya. "Tunggu dulu, aku juga perlu memberitahu orang tuaku di Indonesia mengenai pernikahan ini. Kita masih memiliki waktu untuk itu kan?"
"Tentu," jawab Jae Hyun tanpa ragu. "Kau juga harus bertemu keluargaku lebih dulu."
Ucapan itu membuat Riin tercekat. Rasa gugup mulai merayap di pikirannya. Ini pertama kalinya ia akan berhadapan dengan keluarga yang akan ia sebut sebagai mertua, meskipun hanya dalam konteks hubungan kontrak.
"Apa yang harus aku persiapkan?" tanyanya dengan nada sedikit panik.
"Tidak perlu menyiapkan apa pun. Cukup datang dengan penampilan yang rapi dan sopan," jawab Jae Hyun santai. Ia kemudian mengambil ponselnya dan menyodorkannya pada Riin. "Berikan nomor ponselmu."
Riin mengambil ponsel itu dengan sedikit ragu, mengetikkan nomor ponselnya, lalu mengembalikannya. Jae Hyun langsung menghubungi nomor itu untuk memastikan. Ponsel Riin berdering pelan di tasnya.
"Simpan nomorku," ujar Jae Hyun, sambil menatap Riin. "Mulai hari ini, kita mungkin akan sering berkomunikasi. Lalu luangkan waktumu malam ini."
Riin menatapnya bingung. "Untuk apa? Kita tidak langsung menemui keluargamu, kan?"
"Bukan," jawab Jae Hyun sambil meletakkan ponselnya. "Sebelum melakukan itu, kita perlu... berkencan."
***