Terpaksa menikah karena persoalan resleting yang tersangkut pada rambut seorang gadis bernama Laras ketika Polisi Intel itu sedang melaksanakan tugas mengejar pengedar narkoba. Polisi Intel itu menyembunyikan identitasnya dari sang Istri, ia mengaku sebagai seorang Ojol. Karena gagal menyelesaikan tugasnya. Aliando Putra Perdana hendak dipindah tugaskan ke Papua.
Tanpa Ali sadari, ia sengaja dikirim ke sana oleh sang Ayah demi menghindari fitnah kejam dari oknum polisi yang menyalahgunakan kekuasan. Ada mafia dalam institusi kepolisian. Ternyata, kasus narkoba berhubungan erat dengan perdagangan manusia yang dilakukan oleh oknum polisi di tempat Aliando bertugas.
Ingat! Bukan cerita komedi, bukan pula dark romance. Selamat menikmati.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Pilips, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Villain Sesungguhnya
Laras memeluk lututnya ketakutan ketika pria berkalung besi sepanjang atas pusar tersebut berjongkok menatapnya tajam.
“Di mana memorinya?” tanpa perlu basa-basi memosankan. Polisi bernama Andra itu bertanya pada Laras.
“Ngomong … a … apa sih, Om?” jawab Laras terbata.
“Jangan main-main kamu wanita mungil!” Andra mengancam dengan memukul tembok yang di sandari oleh Laras.
“Beneran deh, Laras gak tahu maksud, Om itu apa!”
“Berani ya, kamu teriak?!” Andra menarik Laras berdiri. Membawanya masuk ke dalam sebuah kamar sempit. Dibuangnya tubuh mungil tersebut lalu ke dua lengan Laras di tekan ke atas. “Pilih mana, kasi tahu di mana memorinya atau kamu saya perkaos?!”
Mata Laras melebar, air matanya kemudian jatuh dengan bebas. “Hikss …, tolong, jangan.”
Plak!!!
Satu tamparan mendarat ke pipi mulusnya Laras. “Di mana memorinya?” suara Andra terdengar begitu gemetar parah.
Mata Laras mengerjap. Lalu, tiba-tiba saja ingatannya menerawang kembali sebulan yang lalu.
Di sebuah kamar kos milik sahabatnya bernama Lolly. Waktu itu, Laras membuka kotak p3k dan ia menemukan sebuah kartu kecil berwarna hitam.
“Ya, memori!” serunya, menoleh ngeri kemudian ke wajah pria kasar tersebut.
“Iya …, dimana kau sembunyikan?!” Andra kembali menampar wajah Laras, kali ini di pipi satunya.
“Awh,” keluh Laras semakin keras suara tangisannya, “hiks …, di … di ponsel suamiku, Om.”
“Apa?!” geram Andra bukan main, “kamu jangan bercanda! Kamu mau saya hancurkan, hah?!”
“Beneran, Om. Memorinya ada di ponselnya Mas Al.”
Andra mencengkram rahang Laras kuat-kuat, hingga mulut mungil wanita itu memaju. Sebelah tangan kekar Andra merogoh saku celananya dan mengeluarkan sebuah ponsel.
Ia mengambil gambar Laras yang sudah keluar cairan merah dari hidungnya. “Sebaiknya aku kirim ke suamimu!”
Batin Laras berkata, kenapa dia bisa kenal sama Mas Al? Kenapa pula dengan isi memori itu?
“Apa kamu sudah melihat isinya, hah?” tanya Andra lagi.
“Eng … enggak, Om.”
“Bagus ….”
***
Jalan macet parah. Ali memukul setir mobil dengan keras. Keringat bercucuran dari wajahnya. Ponselnya menyala, ada satu pesan baru masuk dari nomor yang tak dikenali tersebut.
Tadi, ia memberitahu Prass untuk segera melacak nomor tersebut. Namun, kata Prass, nomor tersebut tidak diketahui, lokasinya terus berpindah-pindah ketika aktif.
“Si4l!” decak Ali menendang ke sembarang arah dalam mobilnya. “Berani-beraninya dia memukul istriku sampai berd4r4h!” Aliando remas ponselnya. Tidak tahan melihat foto Laras.
Kesabaran Ali telah sirna. Ia turun dari mobil dan berlari menuju lokasi penjahat sialan tersebut. Sambil ia berlari, sambil dia perhatikan jam tangannya. Ali mengukur kecepatannya, bahwa dirinya akan tiba sekitar dua puluh menit.
“Laras …, tunggu aku.”
***
“Heh, memorinya ada di Aliando!” seru Andra pada Prass.
Tidak pernah Aliando duga jika sahabat dekatnya adalah salah atu dalang dari seluruh masalah yang sudah terjadi.
Prass berjalan mondar-mandir memainkan ponselnya. “Kamu apakan istrinya, Dra?” tanya Prass menoleh pada Laras yang terbaring dalam keadaan pingsan.
“Memukulnya.”
“Astagah, kendalikan emosimu, Dra.”
Andra dengan napas memburu meraih kera baju dinas Prass. “Kamu tahu, ‘kan, kalau aku ini tidak bisa bersikap lunak!”
Prass menjilati bibir bawahnya. Melepaskan cengkraman rekan kejahatannya di dalam institusi polisi tersebut. “Kau boleh sentuh mangsa yang lain dengan kasar. Tapi, jangan perempuan itu.”
“Kenapa, hah?” Mata Andra melotot bagaikan binatang buas.
“Aku mau dia,” jawab Prass menekan dada lebar polisi bahaya tersebut. Telunjuknya terus menyentuh kasar, berpindah ke segala sisi bagian tubuh Andra. “Jangan lupa kalau aku yang membantu kamu selama ini.”
Urat-urat Andra yang mencuat nampak bergerak. Napasnya yang berbau besi berkarat menerpa penciuman Prass.
Prass memundur, mengusap hidungnya. “Kau sikat gigi tidak, sih?”
Bag Andra, pertanyaan semacam itu apakah pantas dibicarakan saat ini. Hal lain jauh lebih krusial. Jika video tersebut berhasil di lihat oleh Aliando, kebusukan mereka semua akan segera terbongkar.
Layar besar yang tergantung di dekat dua orang itu berdiri menampilkan sosok pria bertubuh tinggi dengan badan seperti doritos. Ya, dia orang yang melingkupi pikiran Andra dan Prass.
“Dia datang, aku harus sembunyi, Dra!” seru Prass segera masuk ke dalam lemari besi.
Bruakkk!
Tendangan keras terdengar dari luar sana. Pintu besi berkarat terlempar dari engsel yang mengikat.
Andra dengan santai memasang topengnya. Dalam kamus hidup pria itu, tidak ada kata ‘kalah’ dan kepercayaan dirinya terbentuk sejak ia berkomplot dalam gabungan kejahatan sindikat perdagangan manusia dan jaringan narkoba.
Ketika Aliando sampai ke tempat di mana Laras terbaring dengan wajah membiru pun ada sisa bekas cairan merah mengering pada wajah mungilnya.
“Laknat! Keterlaluan!” geram Ali segera melayangkan tinjunya berkali-kali. Namun, pria bertopeng yang tak Ali kenali sukses menghindar dengan mudah.
“Hanya segitu?” Kepala Andra memiring, mengejek.
Aliando yang terbakar emosi segera mengeluarkan sepucuk pistol dari saku celananya. “Angkat tanganmu, si4ln!”
“Owh.” Andra mengangkat ke dua tangannya tapi masih berjalan santai mendekat ke arah Ali.
“Kau pikir aku bercanda?!” teriak Ali terus mengarahkan moncong pistol ke tubuh lawannya. “Katakan …, kenapa kau menculik istriku, hah?! Kau mau uang?” Ali meludah ke sembarang arah.
Andra bertepuk tangan. “Hebat …, ekspresi tenangmu masih setia menggantung dalam keadaan seperti ini.”
Napas Ali tidak beraturan. Jarinya sudah siap bergerak menekan picu senjata di tangannya jika pria bertopeng tersebut tak mengindahkan ucapannya. “Berlutut!”
“Owess, terlalu cepat.”
Lantas, Prass sengaja mengahlihkan perhatian Aliando. Ia keluar dari dalam lemari besi, wajahnya tertutup dengan kardus. Ia mencoba melarikan diri lewat pintu belakang.
Sukses, fokus Aliando beralih ke pria yang tengah berlari tersebut. Ketika hal itu terjadi, dengan sigap, Andra mengeluarkan serbuk putih dan dilemparkan ke depan muka Aliando.
“Akh!” pekik Ali. Matanya seketika terasa panas.
Bug!
Satu tendangan keras dan kuat melumpuhkan betisnya Ali. Otot besarnya ternyata masih bisa dikalahkan oleh penjahat tersebut. Andra dengan cepat merogoh saku celana Ali dan ketemu!
Andra mengambil ponsel milik Aliando. Ketika Andra hendak segera kabur. Tangan lebar Ali meraih kaki pria tersebut.
“Mau ke mana kau?!”
Bukan Andra namanya jika ia menyerah. Tangan besarnya meninju hidung Ali dan sontak saja, cairan kental merah muncrat.
Wushhh!
Sprittt!
Ali menggelengkan kepalanya agar cepat sadar. Namun, matanya melihat kalau pria tersebut sudah berlari jauh dari jangkauannya. Kepala Ali terasa berkunang-kunang.
Sementara itu, Laras yang sudah sadar segera bangkit dari kasur berdebu dan menatap kaget ke arah seorang pria yang begitu ia kenali. “Mas Al!” Histerisnya segera berlari menuju sang Suami.
“Mas Al?” Laras mencoba menyadarkan suaminya dengan menepuk ke dua pipi Aliando. “Mas …, kenapa?” Seketika itu Laras menangis keras.
Aliando menyandarkan kepalanya ke bahu Laras. Ia peluk wanita itu dengan erat. Dalam hatinya, ia merutuki dirinya. Bagaimana bisa ia kecolongan?
Terlebih lagi, ia kehilangan penjahat itu pun ponselnya dicuri. Apa maksudnya? Aliando belum mengerti.
“Laras …,” ujar Ali dengan suara serak, “maafin aku, ya.”
“Hiks …, ‘kok ngomongnya gitu, Mas?”
“Karena aku, wajah imut kamu jadi biru begitu.” Ali menyentuh bekas biru yang ada di sana. Diusapnya dengan rasa sayang.
“Mas …, lebih baik, kita segera pulang. Laras khawatir, luka Mas kelihatannya lebih parah.”
Aliando mengangguk. Ia setuju dengan idenya Laras. Setelah istri kecilnya aman. Ali akan segera ke kantor polisi untuk membuat laporan.