John Ailil, pria bule yang pernah mengalami trauma mendalam dalam hubungan asmara, mendapati dirinya terjerat dalam hubungan tak terduga dengan seorang gadis muda yang polos. Pada malam yang tak terkendali, Nadira dalam pengaruh obat, mendatangi John yang berada di bawah pengaruh alkohol. Mereka terlibat one night stand.
Sejak kejadian itu, Nadira terus memburu dan menyatakan keinginannya untuk menikah dengan John, sedangkan John tak ingin berkomitmen menjalin hubungan romantis, apalagi menikah. Saat Nadira berhenti mengejar, menjauh darinya dan membuka hati untuk pria lain, John malah tak terima dan bertekad memiliki Nadira.
Namun, kenyataan mengejutkan terungkap, ternyata Nadira adalah putri dari pria yang pernah hampir menghancurkan perusahaan John. Situasi semakin rumit ketika diketahui bahwa Nadira sedang mengandung anak John.
Bagaimanakah akhir dari kisah cinta mereka? Akankah mereka tetap bersama atau memilih untuk berpisah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon 𝕯𝖍𝖆𝖓𝖆𝖆𝟕𝟐𝟒, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
12. Pengakuan
Nadira tersenyum lebar, “Hai, Om! Lagi nungguin aku, ya?” candanya sambil meletakkan tasnya di sofa. Ia tampak begitu ceria, matanya berbinar-binar, seolah kehadiran John di sana adalah hal yang ia nanti-nantikan setiap kali pulang.
John hanya menghela napas. “Siapa yang menunggumu? Aku hanya kebetulan sedang duduk di sini,” sahutnya, sedikit defensif. Dalam hati, ia bergumam,"Kenapa dia berpikir aku menunggunya?" Tanpa menatap Nadira, John berkata, "Aku cuma mau memastikan kau tidak berbuat ulah lagi,” ucapnya datar, meskipun dalam hati ia merasa lega melihat Nadira yang kini tampak lebih ceria.
Tak ada lagi sosok Nadira yang menyedihkan seperti pertama kali John melihatnya di depan pintu apartemennya, duduk meringkuk dengan wajah pucat yang memprihatinkan. Tidak pula gadis yang tampak rapuh dan ketakutan saat John menyelamatkannya dari para pria yang nyaris melecehkannya. Waktu yang mereka habiskan bersama perlahan mengubah Nadira. Gadis itu semakin terlihat ceria, seperti bunga yang kembali bermekaran setelah hujan badai berlalu.
Nadira tertawa kecil, kemudian mendekat ke arahnya. “Om nggak perlu bilang begitu. Aku tahu kok, sebenarnya Om khawatir sama aku,” goda Nadira, melangkah mendekat dengan senyum yang tak pernah luntur dari wajahnya. "Rasanya menyenangkan melihat ada yang menunggu di rumah," lanjutnya
John memutar matanya, mencoba mengabaikan perasaan hangat yang perlahan merayap di dadanya. “Khawatir? Mungkin lebih tepatnya aku tidak ingin ada masalah baru karena ulahmu.”
“Hmm, alasan klasik,” balas Nadira sambil menyengir. Tanpa ragu ia duduk di sebelah John dengan tatapan penuh rasa syukur yang membuat pria itu tak sanggup mengalihkan pandangannya.
“Om tahu nggak?” Nadira mulai berbicara lagi, suaranya lebih lembut. “Waktu aku nggak punya siapa-siapa, aku selalu berpikir... mungkin hidupku nggak ada gunanya. Tapi sekarang... aku punya Om. Dan aku merasa lebih berarti.”
John terdiam. Kata-kata itu menghantamnya lebih keras daripada yang ia duga. Sekuat tenaga, ia menahan dirinya untuk tidak terlihat terpengaruh.
“Kau terlalu banyak bicara. Cepat mandi sana! Aku tidak punya waktu mendengarkan ocehanmu,” jawabnya, berusaha terdengar dingin.
Namun, senyum Nadira semakin lebar. Ia tahu, di balik sikap dingin John, ada hati yang mulai terbuka untuknya, meskipun pria itu belum mau mengakuinya.
Tanpa sengaja Nadira melihat botol minuman di meja dan cangkir yang ada di tangan John, lalu bertanya sambil menyelipkan senyum penasaran. “Om, apa kau sedang banyak pikiran sampai minum ini malam-malam?”
John menoleh, sedikit terkejut melihat ekspresi ingin tahu di wajah Nadira. “Mungkin. Hanya kebiasaan lama saja, dan... tidak ada salahnya menikmati sesekali.”
Nadira mengangguk, tetapi matanya terus tertuju pada botol itu. “Aku selalu penasaran... sebenarnya, seperti apa sih rasanya?” gumamnya setengah bercanda, tapi jelas ada ketertarikan di nada suaranya.
John mengangkat alis, menyadari maksud Nadira. “Kau ingin mencoba?” tawarnya, merasa ini akan jadi hal yang menarik.
Nadira tersenyum malu-malu. “Boleh?” Ia tak bisa menahan rasa penasarannya lebih lama lagi.
John mengangguk, menuangkan sedikit ke dalam gelas kecil dan menyerahkannya pada Nadira. “Hanya sedikit, ya? Minuman ini cukup kuat.”
Nadira menerima gelas itu, menatap cairan di dalamnya, dan dengan penuh rasa penasaran, ia mencicipi seteguk. Wajahnya langsung berubah seketika; campuran rasa pahit dan sensasi panas menyebar di tenggorokannya. Nadira berusaha menahan diri untuk tidak tersedak, tapi wajahnya jelas menunjukkan rasa yang tak biasa.
“Ini... seperti terbakar,” katanya seraya batuk kecil, membuat John terkekeh.
“Makanya, aku bilang hanya sedikit saja. Tidak semua orang cocok dengan minuman ini,” jawab John sambil tersenyum, terhibur melihat ekspresi Nadira.
Nadira mengusap bibirnya, menahan senyum malu-malu. “Aku pikir rasanya akan seperti jus atau soda... ternyata jauh dari ekspektasiku!”
John tertawa kecil. “Ya, ini bukan minuman manis. Butuh waktu untuk terbiasa.”
Mereka saling bertukar pandang, lalu keduanya tertawa. Suasana yang tadinya penuh rasa ingin tahu berubah menjadi keakraban yang hangat. Nadira menyadari, meskipun minuman itu tidak sesuai harapannya, momen kecil ini membuatnya merasa lebih dekat dengan John.
Nadira menatap gelas kosong di tangannya, lalu kembali mengarahkan pandangan penuh rasa ingin tahu pada John. “Bagaimana rasanya… kalau mabuk?”
John menoleh, kaget dengan pertanyaannya. “Mabuk?” ulangnya dengan nada tak percaya.
“Iya. Pasti rasanya aneh, ya? Aku cuma penasaran,” kata Nadira sambil tertawa kecil, berusaha mencairkan suasana. “Sebenarnya apa yang dirasakan orang saat mabuk?”
John menimbang sejenak, melihat raut wajah Nadira yang antusias. “Nadira, mabuk itu bukan hal yang menyenangkan seperti yang kau kira. Banyak orang malah menyesal saat mabuk. Itu bukan pengalaman yang ingin kau coba begitu saja.”
Tapi Nadira hanya tersenyum, tak gentar. “Aku cuma ingin tahu rasanya. Lagi pula, aku 'kan di sini bersama Om. Tidak akan terjadi apa-apa, 'kan?”
John menghela napas panjang, tahu kalau Nadira tidak akan berhenti sebelum mendapatkan jawaban. Akhirnya ia menuangkan sedikit lagi minuman ke gelas Nadira, kali ini tetap menjaga jumlahnya agar tak berlebihan.
“Oke, tapi kau harus janji… cukup sampai di sini, ya?” katanya, menyerahkan gelas itu dengan perasaan campur aduk.
Nadira mengangguk penuh semangat dan menyesap minuman itu perlahan, mencoba membiasakan diri dengan rasa terbakar yang menyebar di tenggorokannya. Ia mencicipi beberapa teguk lagi, dan tak lama kemudian, efek alkohol mulai terasa. Pipinya memerah, dan matanya sedikit berkaca-kaca saat ia mulai merasa hangat.
“Wah… rasanya… seperti dunia jadi berputar-putar pelan,” gumamnya dengan suara pelan, tersenyum sendiri sambil bersandar ke sofa.
John terkekeh melihat Nadira yang tampak setengah mabuk, tapi masih berusaha menyunggingkan senyum. “Sudah kubilang. Rasanya lebih aneh dari yang kau bayangkan, kan?”
Nadira mengangguk, lalu memejamkan mata. “Iya, rasanya aneh… tapi menyenangkan. Terasa lebih rileks,” katanya pelan.
John menatap Nadira dengan campuran antara hiburan dan keprihatinan. Melihat gadis itu begitu santai, dia merasa tergerak untuk memastikan Nadira tetap nyaman dan aman. “Kalau sudah cukup, lebih baik kau istirahat. Nanti efeknya bisa makin kuat,” katanya lembut.
Namun, Nadira tiba-tiba membuka matanya lebar-lebar dan menatap John dengan tekad. "Tidak! Aku masih ingin mencobanya lagi," jawabnya cepat. Tanpa ragu, ia meraih botol minuman itu dan meneguk langsung dari botolnya.
John langsung membelalakkan matanya, terkejut melihat aksi Nadira. "Hei, hentikan! Aku tak mau menggendongmu ke kamar karena mabuk," sergahnya, mencoba merebut botol itu dari tangan Nadira.
Namun, sudah terlambat. Nadira sudah meneguk beberapa teguk lagi, wajahnya semakin memerah dan senyumnya mulai mengembang, tampak mulai terpengaruh. John menghela napas panjang, menyadari ini mungkin akan menjadi malam yang panjang untuknya.
Pipi dan wajah Nadira tampak semakin memerah, sementara matanya terlihat sayu namun berbinar. Ia menatap John dengan pandangan yang lembut, terlihat lebih terbuka dan santai dari biasanya.
"Om John…" suara Nadira terdengar lirih namun penuh perasaan, membuat John menoleh padanya dengan sedikit bingung.
“Ada apa?” tanya John lembut, menyadari perubahan dalam sorot mata Nadira.
“Aku… sebenarnya merasa senang setiap kali melihatmu di rumah,” ungkap Nadira tiba-tiba, suaranya terdengar jujur namun sedikit bergetar. “Entah kenapa, aku merasa… nyaman.”
John terpaku mendengar pengakuan Nadira yang tak terduga ini. Ia tahu efek alkohol mungkin membuat Nadira lebih berani mengungkapkan perasaannya, tapi kata-kata itu membuatnya mulai merasa tersentuh.
“Sejak aku tinggal di sini… Om selalu baik padaku. Aku merasa aman…” lanjut Nadira dengan suara lembut, tangannya perlahan meraih tangan John yang berada di sampingnya.
“Nadira, kamu… sedang mabuk. Mungkin sebaiknya—”
...🍁💦🍁...
To be continued
beno Sandra dan sasa merasa ketar-ketir takut nadira mengambil haknya dan beno Sandra dan sasa jatuh jatuh miskin....
mampus org suruhan beno dihajar sampai babak belur sampai patah tulang masuk rmh sakit....
Akhirnya menyerah org suruhan beno resikonya sangat besar mematai2 nadira dan dihajar abis2an sm anak buahnya pm john....
belajarlah membuka hatimu tuk nadira dan nadira walaupun msh polos dan lugu sangat cocok john sangat patuh n penurut.....
Sampai kapan john akan hidup bayang2 masalalu dan belajar melangkah masa depan bersama nadira....
masak selamanya akan menjadi jomblo abadi/perjaka tuwiiiir🤣🤣🤣😂