seorang wanita muda yang terjebak dalam kehidupan yang penuh rasa sakit dan kehilangan, kisah cinta yang terhalang restu membuat sepasang kekasih harus menyerah dan berakhir pada perpisahan.
namun takdir mempertemukan mereka kembali pada acara reuni SMA tujuh tahun kemudian yang membuat keduanya di tuntun kembali untuk bersama.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
episode 25
Di dalam ruang kantornya yang megah dan tenang, Biantara sedang memeriksa laporan keuangan perusahaan. Ia terlihat fokus, tetapi matanya sedikit lelah setelah berjam-jam bekerja. Ponselnya berbunyi, tanda pesan masuk dari salah satu orang kepercayaannya, seorang detektif pribadi yang selama ini ia sewa untuk memantau gerak-gerik Devano.
Biantara membaca pesan itu dengan alis sedikit berkerut.
"Devano sedang mempertimbangkan langkah hukum untuk mempertahankan pernikahannya dengan Ayana. Dia juga menemui ibunda Ayana untuk mencari dukungan."
Biantara menutup pesan itu dan menyandarkan tubuhnya di kursi. Tangannya mengepal, tetapi wajahnya tetap tenang. Pikirannya mulai menyusun langkah berikutnya.
"Jadi dia mencoba melibatkan hukum? Itu artinya dia tidak hanya ingin mempertahankan Ayana, tapi juga mengontrolnya lebih jauh. Aku tidak bisa tinggal diam. Ayana butuh seseorang di sisinya, meski dia belum memintanya."monolog biantara
Biantara memutuskan menelepon tangan kanannya untuk membahas langkah strategis.
"Siapkan tim hukum kita. Aku tidak akan membiarkan Ayana sendirian menghadapi ini," katanya dengan nada tegas.
Biantara Memperlihatkan Kesungguhannya
Setelah menutup telepon, Biantara berdiri dan memandang ke luar jendela kantornya. Ia mengingat kembali kenangan masa lalunya bersama Ayana, bagaimana dia pernah menjadi sosok yang hanya bisa menonton dari kejauhan ketika Ayana terjebak dalam situasi sulit. Kali ini, dia tidak akan mengulangi kesalahan yang sama.
"Aku akan bertindak. Bukan hanya karena aku mencintainya, tapi karena aku tahu dia berhak mendapatkan kebahagiaan yang telah direnggut darinya."
Biantara mengambil jasnya dan bersiap menuju rumah Ayana. Dia tahu mungkin Ayana tidak akan langsung menerimanya, tetapi dia yakin Ayana membutuhkan dukungan, seseorang yang benar-benar berada di pihaknya tanpa tekanan atau tuntutan.
Malam itu, Biantara tiba di depan rumah Raka. Ia sengaja memilih waktu yang tidak terlalu ramai untuk menghindari perhatian. Setelah mengetuk pintu, ia disambut oleh Raka yang terkejut melihatnya.
"Ada apa, Bian? Kenapa ke sini malam-malam?" tanya Raka dengan nada penasaran.
"Aku hanya ingin memastikan Ayana baik-baik saja," jawab Biantara singkat, tetapi serius.
Raka mempersilakannya masuk, meskipun dengan sedikit keraguan. Ketika Ayana keluar dari kamar, ia terkejut melihat Biantara di ruang tamu.
"Bian? Kenapa kamu di sini?" tanyanya, mencoba menyembunyikan rasa gugup.
Biantara tersenyum tipis.
"Aku dengar Devano sedang mengambil langkah hukum. Aku tahu kamu mungkin tidak mau aku terlibat, tapi aku tidak bisa hanya diam melihatmu menghadapi ini sendirian."
Ayana terdiam, tidak tahu harus berkata apa. Di satu sisi, ia merasa lega ada seseorang yang benar-benar peduli padanya, tetapi di sisi lain, ia khawatir situasi ini akan semakin rumit jika Biantara terlibat.
"bagaimana kamu tau kabar itu? "ayana bertanya memastikan
"itu mudah, aku menempatkan mata mata di sisi devano, jangan salah paham, ini demi kebaikanmu. Aku sudah menduga dia tidak akan dengan mudah menyetujuinya " tutur bian menjelaskan kepada ayana yang juga raka ikut menyimak.
raka sedikit menggeleng dan kagum atas tindakan biantara yang selangkah lebih cepat dari lawannya lalu kemudian hatinya berbisik"kekuatan kekuasaan memang mengagumkan"
Dan Ayana pun benar benar tak menyangka devano bisa sampai sejauh itu demi menentang perceraiannya, di mata ayana devano semakin tak bisa di kenali.
Biantara meyakinkan Ayana bahwa ia hanya ingin membantunya tanpa memaksa atau menekan.
"Kalau kamu butuh bantuan, kamu tahu aku selalu ada. Aku tidak akan memaksakan apa pun, Ayana. Aku hanya ingin memastikan kamu punya pilihan," katanya sebelum berpamitan.
Ayana sedang duduk di ruang keluarga, memandangi secangkir teh yang sudah dingin sambil memikirkan percakapan sebelumnya dengan Biantara. Tepat saat Ayana mulai berdiri untuk masuk ke kamar, bel pintu berbunyi.
Raka, yang sedang membaca di ruang kerjanya, langsung beranjak untuk membuka pintu. Namun, sebelum ia sempat melangkah lebih jauh, Ayana yang lebih dekat dengan pintu mendahuluinya.
Ketika pintu terbuka, sosok Devano berdiri di sana, wajahnya terlihat lelah tetapi penuh tekad. Ayana tertegun sesaat sebelum berkata,
"Devano? Kenapa kamu ke sini?"
Devano tersenyum tipis, tetapi matanya memancarkan kesedihan.
"Ayana, aku harus bicara denganmu. Kumohon..." katanya lirih.
Raka, yang sudah tiba di ambang ruang tamu, memandang dari jauh dengan tatapan waspada. Ia memutuskan untuk membiarkan Ayana menangani situasi ini, tetapi tetap berjaga-jaga.
Devano masuk ke ruang tamu dengan langkah ragu, duduk di sofa berhadapan dengan Ayana. Untuk sesaat, hanya ada keheningan di antara mereka.
"Aku tahu aku salah selama ini," ujar Devano akhirnya, suaranya pelan namun tegas. "Aku tahu kamu tidak mencintaiku, dan aku tahu selama ini kamu hanya bertahan karena tekanan... Tapi aku tidak peduli, Ayana. Aku mencintaimu, dan aku tidak butuh kamu mencintaiku kembali. Aku hanya ingin kita tetap bersama, seperti dulu."
Ayana menghela napas panjang, menundukkan pandangannya. Kata-kata Devano begitu berat, dan hatinya diliputi perasaan campur aduk. Namun, ia mencoba tetap tegar.
"Devano," katanya dengan suara bergetar. "Ini bukan soal cinta. Bukan soal aku yang mencintai orang lain. Ini tentang kita... Pernikahan kita ini tidak wajar. Aku tidak ingin kamu terus hidup dengan seseorang yang tidak bisa memberimu kebahagiaan. Dan aku juga ingin bebas dari perasaan terjebak ini."
Devano menggelengkan kepala, suaranya mulai meninggi, penuh emosi.
"Kamu tidak perlu mencintaiku! Aku sudah cukup bahagia dengan hanya mencintaimu. Aku tidak peduli apa yang kamu rasakan, Ayana, asalkan kamu tetap ada di sampingku. Aku hanya... aku hanya tidak bisa kehilanganmu."
Air mata menggenang di mata Ayana, tetapi ia tetap mempertahankan ketenangannya.
"Kamu pikir ini adil untuk kita berdua? Kamu pikir aku tidak terluka melihat dirimu terus berharap sesuatu yang tidak bisa aku berikan? Devano, aku juga manusia. Aku juga ingin merasa dicintai dengan cara yang seharusnya. Bukan hanya menjadi simbol di hidupmu."
Devano terdiam, tetapi wajahnya menunjukkan bahwa ia masih tidak bisa menerima kenyataan itu.
Melihat ketegangan mulai meningkat, Raka akhirnya memutuskan untuk masuk ke ruang tamu.
"Devano," katanya dengan nada tegas namun tenang. "Aku tahu ini berat untuk kalian berdua, tapi kalau kalian terus memaksakan sesuatu yang tidak berjalan dengan baik, ini hanya akan semakin menyakitkan."
Devano memandang Raka dengan tatapan tajam, tetapi ia tahu ia tidak bisa berbicara kasar di hadapan kakak ipar Ayana.
"Aku hanya ingin memberinya kesempatan untuk berpikir lagi," jawab Devano lirih.
Devano berdiri, mengambil napas dalam, lalu memandang Ayana untuk terakhir kalinya.
"Ayana... kumohon, pikirkan lagi. Aku akan menunggumu."
Setelah itu, ia pergi meninggalkan rumah Raka, meninggalkan Ayana yang merasa semakin yakin dengan keputusannya, meski perasaan bersalah masih menyelimuti hatinya.
Di sisi lain, Raka mendekati Ayana, meletakkan tangannya di pundak adiknya.
"Kamu kuat, Ayana. Dan kamu tidak sendiri," katanya dengan lembut.