Di tengah kota yang selalu bising, ada sebuah arena rahasia tempat para petarung dari berbagai latar belakang berkumpul untuk menguji kemampuan mereka dalam pertarungan tanpa aturan. Riko, seorang pemuda biasa dengan masa lalu yang penuh dengan kesulitan, tiba-tiba terjun ke dunia yang keras ini setelah menerima tantangan yang tak bisa ditolak. Dengan kepercayaan diri yang tinggi, Riko siap menghadapi musuh-musuh terberatnya, termasuk Kuro, legenda petarung yang namanya sudah terkenal di seluruh arena.
Namun, hidupnya tak semudah itu. Selain fisik yang harus terus dilatih, Riko harus belajar bagaimana mengendalikan emosinya, memahami strategi pertarungan, dan yang terpenting—mengenal dirinya sendiri. Dalam dunia yang keras ini, setiap kekalahan bisa menjadi pukulan besar, tapi setiap kemenangan juga membawa tantangan yang lebih berat.
Dengan dukungan sahabat sejati, Tatsu, dan berbagai teman baru yang ditemuinya di sepanjang jalan, Riko berusaha untuk bertahan hidup, mengatasi rasa t
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Zylan Rahrezi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PILIHAN YANG BERAT
Riko melangkah keluar dari ruangan tersebut dengan kepala penuh pertanyaan. Tatsu yang sejak tadi duduk sambil menatap layar ponselnya, tiba-tiba melirik Riko dengan wajah yang lebih serius dari biasanya.
"Lo mikir apa, bro?" tanya Tatsu sambil mengatupkan mulutnya rapat-rapat, seolah takut ada rahasia yang bocor. "Lo nggak keliatan kayak orang yang baru dapet tawaran besar, malah kayak orang yang baru ngerasa kalau ponsel lo hilang."
Riko menggaruk tengkuknya, kebingungan. "Ya, gimana ya, Tatsu? Gue ngerasa kayak gue lagi dihadapkan sama pilihan antara jadi pahlawan super atau jadi target selanjutnya. Di satu sisi, tim ini bisa jadi kesempatan gede, tapi di sisi lain, kayaknya ada yang nggak beres."
Tatsu menatapnya dengan tatapan kosong, lalu mengangkat bahu. "Brod, kalau lo nunggu kesempatan yang sempurna, lo bakal terus-terusan hidup di dunia penuh ‘kalau’. Jadi lo mau jadi petarung legendaris, atau lo mau jadi orang yang cuma jadi bahan omongan di warung kopi?"
Riko mengangkat tangan dengan ekspresi lelah. "Tatsu, lo tuh beneran kayak motivator, tapi satu tingkat lebih buruk. Lo nyuruh orang buat bertindak, tapi nggak kasih solusi, dong."
Tatsu tersenyum. "Solusinya simple, bro. Lo harus mikir, jangan cuma ngikutin kata hati yang suka bimbang. Kalau lo nggak coba, lo nggak akan tahu. Kalau lo coba dan gagal, ya setidaknya lo bisa bikin meme diri lo sendiri."
"Ya ampun, Tatsu," Riko menyeringai. "Lo bener-bener nggak bisa nahan lelucon ya."
Tatsu terkekeh, menikmati dirinya sendiri. "Lo bisa bawa banyak orang buat ketawa, bro. Ini kelebihan lo yang gue suka."
Riko menatapnya dengan kesal. "Jangan-jangan lo juga dihubungin sama Ryo, kan? Gue nggak bakal heran kalau dia udah nyewa lo jadi penasehat atau bahkan pelawak pribadi."
Tatsu tertawa keras. "Gue? Enggak, bro. Gue lebih suka jadi penonton. Nonton lo ribut sama orang lain sambil makan popcorn."
Riko menghela napas panjang. "Oke deh, gue pikir-pikir lagi. Tapi kalo akhirnya gue jadi bagian dari tim ini, gue berharap nggak disuruh berakting kayak superhero atau jadi bintang film laga. Gue cuma mau jadi diri gue sendiri."
Tatsu mengangguk dengan serius. "Itu dia! Lo nggak perlu jadi orang lain buat jadi juara, bro. Lo cuma perlu jadi Riko."
---
Siapa yang Sebenarnya Mengontrol?
Beberapa hari kemudian, Riko kembali ke rumahnya setelah bertemu Ryo. Kepalanya masih penuh dengan pertanyaan. Apakah ini keputusan yang tepat? Apakah bergabung dengan tim itu bisa mengubah hidupnya? Atau apakah Ryo cuma mencari orang yang bisa dia manipulasi?
Hari itu, Riko memutuskan untuk meluangkan waktu dan berbicara langsung dengan Tatsu. Mereka duduk di warung kopi kesukaan mereka—tempat di mana mereka bisa ngomong tentang apa saja, dari pertarungan sampai gosip selebriti yang lebih dramatis dari film sinetron.
Tatsu menyesap kopi, lalu menatap Riko dengan serius. "Bro, gimana nih? Lo udah mikirin keputusan lo?"
Riko memandang kopi hitam di depannya, mencoba menenangkan pikiran yang terus berputar. "Gue udah pikirin matang-matang. Kayaknya, gue nggak punya banyak pilihan. Kalau gue nggak ambil kesempatan ini, mungkin gue bakal terus-terusan jadi petarung biasa yang cuma ikut-ikut arena kecil. Tapi kalau gue gabung, bisa aja gue jadi bagian dari sesuatu yang lebih besar. Tapi, ya, kayaknya ada yang nggak beres aja."
Tatsu mendekat, mengedipkan mata seperti detektif yang sedang menyelidiki sebuah kasus besar. "Oke, bro, gue bisa ngerasain ketegangan lo. Tapi lo pernah denger nggak pepatah, ‘Kalau lo nggak mencoba, lo bakal jadi orang yang cuma ngomong doang’? Ini kesempatan lo untuk ngebuktiin diri. Lo bisa lebih dari sekedar petarung lokal, tapi lo juga harus siap ngerasain tekanan."
Riko merenung, tetapi tiba-tiba teringat sesuatu yang membuatnya tertawa kecil. "Lo tahu nggak sih, Tatsu, kayaknya di dunia ini nggak ada yang benar-benar tahu jawabannya. Lo mau jadi bintang, eh malah jadi pengamen."
Tatsu hampir tersedak kopi mendengar itu. "Hah? Apa maksud lo?"
"Ya gini, lo kan tau banget, orang suka mimpi besar, tapi kadang nggak nyangka bakal ketemu jalan buntu. Lo pikir mau jadi juara dunia, eh tiba-tiba malah jadi komedian di TikTok. Itu yang gue takutkan."
Tatsu tertawa lebar. "Itu sih kalau lo salah masuk tim, bro! Tapi gue yakin lo nggak bakal jadi komedian TikTok, deh."
Riko mengangkat alis. "Gue nggak tau sih, Tatsu, kalau tim ini ngarepin gue jadi bintang laga, jangan-jangan gue malah jadi pelawak yang kasih punchline sambil bertarung. Mungkin lo bisa jadi manajer gue, ya."
Tatsu tertawa keras. "Lo jago ngelawak juga, bro. Gue kira kita berdua bakal lebih sukses jadi duo komedian daripada petarung."
---
Keputusan yang Membingungkan
Malam itu, Riko akhirnya membuat keputusan. Dia akan bergabung dengan tim Ryo. Tidak ada jaminan bahwa ini akan berjalan mulus, tetapi dia tahu bahwa tidak ada yang bisa dijamin di dunia ini—terutama di dunia pertarungan yang keras.
Namun, saat hendak tidur, Riko merasa tidak bisa benar-benar tidur. Seperti ada sesuatu yang mengganggunya. Mungkin itu rasa cemasnya yang mulai menyerang, atau mungkin perasaan bahwa dirinya sudah terjebak dalam permainan yang lebih besar dari dirinya.
Tapi, kemudian, dia teringat lelucon tadi pagi. "Apa sih yang kita takutkan? Gagal jadi bintang laga? Jadi meme? Kalau kita berdua gagal, ya paling nggak kita bisa jadi bahan guyonan. Itu juga udah lebih dari cukup, kan?"
Riko tertawa pelan sendiri. "Tatsu bener juga sih, kalau lo nggak bisa jadi pahlawan, lo bisa jadi meme yang lebih terkenal."
Dia memejamkan mata, berusaha tidur. Setidaknya, dia tahu apa yang akan terjadi ke depannya—atau setidaknya dia berharap begitu. Dunia ini penuh dengan kejutan, dan mungkin, justru kejutan itu yang membuatnya terus bertarung.