Rania, seorang barista pecicilan dengan ambisi membuka kafe sendiri, bertemu dengan Bintang, seorang penulis sinis yang selalu nongkrong di kafenya untuk “mencari inspirasi.” Awalnya, mereka sering cekcok karena selera kopi yang beda tipis dengan perang dingin. Tapi, di balik candaan dan sarkasme, perlahan muncul benih-benih perasaan yang tak terduga. Dengan bumbu humor sehari-hari dan obrolan absurd, kisah mereka berkembang menjadi petualangan cinta yang manis dan kocak.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Zylan Rahrezi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Langkah Baru
Bab 23: Langkah Baru
Setelah keberhasilan festival, kafe milik Rania dan Bintang semakin dikenal luas. Lebih banyak orang datang untuk merasakan kedamaian yang mereka ciptakan, baik untuk sekadar menikmati secangkir kopi atau untuk berbagi cerita dalam suasana yang nyaman dan penuh arti. Namun, meski segala sesuatu berjalan dengan baik, ada satu hal yang mengganjal di benak Rania.
Suatu pagi, setelah semua pengunjung pergi dan kafe mulai sepi, Rania duduk di meja kayu di pojok ruangan, memandangi secangkir kopi hitam di depannya. Pikiran-pikiran berlarian di kepala. Apakah ini yang sebenarnya aku inginkan? ia bertanya pada diri sendiri.
Memang, kafe mereka telah memberi mereka banyak kebahagiaan, tetapi Rania merasa ada sesuatu yang lebih besar yang ingin ia capai. Ada perasaan bahwa hidupnya sedang menunggu sesuatu yang lebih mendalam—sesuatu yang akan menantang dirinya untuk tumbuh lebih jauh lagi.
Rania menyandarkan punggungnya di kursi, merenung sejenak. "Mungkin ini saatnya untuk keluar dari zona nyaman, untuk mencoba hal yang lebih besar lagi," gumamnya pelan.
Tiba-tiba, ponselnya berbunyi. Ternyata, itu adalah pesan dari Tara, sahabat lama yang sudah lama tidak ia temui. Tara menanyakan apakah Rania tertarik untuk bertemu dan berbicara soal sebuah proyek baru. Rania terkejut, tetapi rasa ingin tahunya lebih besar daripada keraguan. Tanpa pikir panjang, ia segera membalas pesan itu dan setuju untuk bertemu.
Beberapa hari kemudian, mereka bertemu di sebuah restoran yang nyaman di tengah kota. Tara sudah duduk di meja dengan secangkir teh hangat di depannya. Begitu Rania duduk, Tara langsung tersenyum lebar.
"Rania, aku tahu ini mungkin kedengarannya gila, tapi aku benar-benar merasa ini bisa menjadi kesempatan besar untuk kita," kata Tara tanpa basa-basi.
Rania mengerutkan kening. "Kamu lagi ada ide apa, Tara?"
Tara tersenyum penuh semangat. "Aku baru saja mendapat tawaran untuk mendirikan sebuah pusat pengembangan diri yang fokus pada pemberdayaan masyarakat. Proyek ini akan mencakup berbagai program, mulai dari pelatihan keterampilan hingga kegiatan yang mendalami spiritualitas dan kesehatan mental. Aku ingin mengajakmu untuk menjadi salah satu pengelola utama."
Rania terkejut mendengar tawaran tersebut. "Pusat pengembangan diri? Itu terdengar seperti proyek yang sangat besar. Tapi, gue masih nggak yakin, Tara. Gue sudah nyaman dengan apa yang ada sekarang. Kafe ini sudah seperti rumah kedua buat gue."
Tara mengangguk, memahami kekhawatiran Rania. "Aku paham, Rania. Tapi ini bukan tentang membangun sesuatu yang besar semata. Ini tentang memberikan kesempatan lebih banyak orang untuk menemukan kedamaian dan tujuan hidup mereka. Kamu sudah sukses menciptakan tempat yang menyentuh banyak hati. Pusat ini bisa jadi tempat yang lebih besar lagi untuk menebar kebaikan."
Rania terdiam, meresapi kata-kata Tara. Ia tahu bahwa apa yang ditawarkan Tara bukan hanya tentang mencari uang atau kesuksesan materi, tetapi lebih kepada memberi dampak yang lebih besar bagi banyak orang. Namun, keraguan masih menghantui pikirannya. "Aku nggak tahu, Tara. Ini lebih besar dari apa yang pernah aku bayangkan. Apakah aku siap untuk mengambil langkah itu?"
Tara tersenyum dengan penuh pengertian. "Rania, aku tahu ini tidak mudah. Tapi aku percaya, kalau kamu bisa membangun kafe ini dengan hati dan tujuan yang jelas, kamu juga bisa melakukan hal yang sama dengan proyek ini. Tidak ada yang harus dilakukan sendirian. Kita bisa bekerjasama dan menjalankannya dengan cara yang kita yakini."
Rania akhirnya menghela napas panjang. Ada kegelisahan di dalam hatinya, tetapi ada juga rasa ingin tahu yang besar. "Aku butuh waktu untuk berpikir, Tara. Ini bukan keputusan kecil."
Tara menepuk tangan Rania dengan lembut. "Aku paham, tidak ada paksaan. Ambil waktu untuk berpikir. Aku yakin apapun yang kamu pilih, itu akan menjadi langkah yang membawa kebaikan."
---
Malam itu, Rania tidak bisa tidur. Pikiran-pikirannya terus berputar, mencoba mencerna tawaran besar yang baru saja diterima. Bagaimana jika ini adalah langkah yang tepat? Bagaimana jika ini adalah kesempatan untuk benar-benar memberikan dampak yang lebih besar, tidak hanya di lingkungan yang kecil seperti kafe, tetapi di seluruh komunitas? Tapi di sisi lain, ia juga takut kehilangan kedamaian yang ia miliki sekarang—hidup yang lebih sederhana namun penuh makna.
Pada pagi harinya, Rania memutuskan untuk berjalan-jalan sebentar di sekitar taman dekat kafe, berpikir lebih jernih. Ia duduk di bangku kayu di bawah pohon besar, menikmati udara segar. Tiba-tiba, Bintang muncul di sampingnya, membawa secangkir kopi.
"Gimana, Rania? Ada apa? Lo kelihatan lagi mikirin hal yang besar," kata Bintang sambil duduk di sampingnya.
Rania memandang Bintang, mencoba mencerna kata-kata yang akan ia ucapkan. "Gue baru saja dapat tawaran dari Tara untuk ikut proyek besar. Dia ingin gue bantu untuk mendirikan pusat pengembangan diri. Gue nggak tahu harus gimana, Bintang. Gue senang dengan apa yang gue punya sekarang, tapi gue juga nggak bisa menutup mata dengan kesempatan besar ini."
Bintang mengangguk, mengerti kebingungannya. "Rania, gue tahu lo mungkin merasa bingung. Tapi lo juga udah nunjukin selama ini bahwa lo bisa memberi dampak positif buat banyak orang, kan? Mungkin ini waktunya untuk menyebarkan lebih banyak kedamaian ke dunia."
Rania berpikir sejenak, lalu menghela napas. "Lo benar, Bintang. Gue nggak tahu apa yang akan datang, tapi gue yakin hidup itu tentang mengambil langkah-langkah yang penuh makna. Gue nggak bisa tetap diam dan nyaman selamanya. Mungkin ini saatnya gue keluar dari zona nyaman dan mencoba sesuatu yang lebih besar."
Bintang tersenyum. "Gue percaya lo bisa, Rania. Kalau ada orang yang bisa membawa kedamaian ke dunia yang lebih luas, itu pasti lo."
Rania tersenyum, merasa lebih tenang setelah berbicara dengan Bintang. "Terima kasih, Bintang. Gue rasa gue tahu apa yang harus gue lakukan."
---
Beberapa minggu kemudian, Rania akhirnya memutuskan untuk bergabung dengan proyek pusat pengembangan diri yang ditawarkan Tara. Meskipun ia tahu bahwa perjalanan ini akan membawa tantangan baru, ia merasa yakin bahwa ini adalah langkah yang benar. Rania dan Tara mulai merancang pusat tersebut, dan Rania merasa bahwa ini adalah cara untuk melanjutkan misi hidupnya: untuk memberi dampak positif lebih besar pada banyak orang.
Pusat pengembangan diri yang mereka bangun nantinya akan menjadi tempat bagi mereka yang ingin mencari kedamaian, belajar tentang diri mereka sendiri, serta mengembangkan potensi mereka. Rania tahu bahwa ini bukan hanya tentang membangun sebuah pusat, tetapi lebih kepada memberikan orang lain kesempatan untuk menemukan kehidupan yang lebih bermakna.
---
To be continued...