Cantik, kaya, muda, sopan, baik hati, cerdas, itulah Soraya Syifa Dewiana. Gadis berjilbab ini amat diminati banyak orang, khususnya laki-laki. Bahkan gangster pria terkenal di kota saja, The Bloodhound dan White Fangs, bersaing ketat untuk mendapatkan gadis yatim-piatu agamis ini.
Namun siapa sangka, dibalik semua itu, ia harus menikahi pemimpin gangster dari White Fangs, Justin, yang telah menggigitnya dengan ganas di malam Jum'at Kliwon bulan purnama. Satu-satunya cara agar Soraya tidak jadi manusia serigala seperti Justin adalah dengan menikahinya.
Hingga membuat Boss mafia sekaligus CEO untuk Soraya, Hugh, terkadang cemburu buta padanya. Belum lagi asistennya Hugh, Carson, yang juga menaruh hati padanya. Selain itu, ada rahasia lain dari gadis cantik yang suka warna hijau ini. Cukup psikopat pada 2 geng siluman serigala itu dan tangguh.
Lantas, siapa sesungguhnya yang akan Soraya pilih jadi suami sejatinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Soraya Shifa Muna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
31 : Lihat Aku dan Dengar Aku!
Meskipun Justin ada kesalnya karena cemburu melihat adegan dansa Soraya dengan Carson, tapi ia sembunyikan hal itu. Karena ia masih kuat untuk melakukannya.
Namun ketika hendak ke ruangan Soraya, tiba-tiba Hugh menghalangi jalannya di koridor. Keduanya sambil merokok yang masih berasap. Hingga tiba-tiba, Hugh menyeringai dan menjelaskan.
"Carson mencakar istrimu."
Justin terkejut mendengarnya. Ia teringat akan kelemahan Carson. Marah, Justin membuang batang rokoknya dengan cara dilempar, hingga rokoknya mati sendiri di lantai.
"Dia sudah tidak waras. Pasti ingin anak juga. Dasar lemah!" serunya geram.
"Mau memarahinya? Jangan libatkan aku," ucap Hugh santai. Kemudian menghisap rokoknya kembali.
"Sudah tahu kelemahannya, kenapa tidak kau cegah?"
*GYUUUT!*
Justin mengepalkan tangannya. Makin geram. Hugh menyemburkan asap rokok dan melempar batangnya juga ke lantai hingga rokoknya pun mati sendiri. Lalu tersenyum, menyeringai licik.
"Itu 'kan tangan kananku. Kenapa harus ku cegah?" jawab Hugh dengan nada menantang biasa.
Justin semakin marah. Namun, ia berusaha untuk meredakan panas amarahnya. Ia melihat wajah Hugh dan berkata, "Ingat ancamanku untukmu, Kawan lama. Jika kau menjatuhkan air matanya setetes saja, nyawamu melayang di tanganku."
Hugh tertawa kecil. Ia balik ancam, "Dan ingat juga ancamanku, Justin. Jika kau menyakiti fisik, mental, maupun hatinya, nyawamu taruhannya."
"Kita lihat siapa yang menang nanti. Dan ku beritahu satu hal, aku tidak menjadikan Soraya boneka."
"Nampaknya kau kurang jujur padanya, Justin."
"Kau dan asistenmu yang gila gairah padanya. Jujur saja."
"Terserah kau mau percaya atau tidak. Kau lebih banyak membuang-buang waktu memang. Sejak dulu, hingga sekarang."
Hugh pergi setelah pamit. Justin masih juga berdiri di koridor. Hingga ia lanjut jalan, dan menuju ruangan Soraya. Namun begitu masuk, Soraya tidak ada di ruangannya.
"Apa mungkin..." Justin menduga-duga. Segera ia ke kamar mandi wanita.
Benar saja. Soraya ditemukan disana. Mual dan muntah di wastafel kamar mandi. Sambil memegang perut dan kepalanya yang terasa sangat tidak nyaman.
Batuk menyerang suaranya juga. Sungguh sulit dipercaya, ini benar-benar terjadi. Istrinya terus berkumur, tapi muntah lagi. Badannya mulai melemas.
"Sayang?" Justin memanggil Soraya.
Soraya melirik sedikit perlahan ke Justin. Wajahnya sudah pucat. Matanya mulai berkaca-kaca. Pandangannya semakin kabur. Hingga akhirnya jatuh pingsan tak sadarkan diri. Untungnya Justin sempat menangkap tubuhnya sebelum Soraya jatuh ke lantai kamar mandi yang basah.
Justin melepas kacamata minusnya Soraya, dan menyimpannya ke saku jasnya. Kemudian menggotong tubuh Soraya untuk segera di bawa ke rumah sakit memakai mobil.
Di koridor, Justin berpapasan dengan Hugh kembali. Namun, Hugh kali ini tidak sendiri. Tapi juga bersama Dennis dan Carson. Justin menghentikan dulu langkah kakinya, dan saling bertatap muka dengan Hugh dan Carson.
Dua pria yang sudah menghamili istrinya dengan dua cakaran, tanpa ikatan pernikahan yang sah. Sementara dengan Justin sudah sangat sah.
"Minggir." ucap Justin dengan nada dingin dan datar. Namun raut wajahnya tetap marah.
Hugh memberi jalan. Sementara Carson masih diam di tempat. Ia lebih geram dibandingkan Hugh. Bahkan sampai mengepalkan tangannya. Serasa ingin meninju wajah Justin.
*GYUUUT!*
Carson sudah mau menonjok dinding. Akan tetapi, Justin mengingatkannya untuk menyingkir meskipun masih dengan marah. Ingin rasanya ia yang lebih dulu menyerang Carson.
"Cepat minggir sebelum aku kehilangan kesabaranku. Kebetulan aku memberimu kesempatan untuk belajar sabar menahan emosi di bulan purnama malam ini," ucap Justin masih dengan nada dingin.
Akhirnya Carson menyingkir. Justin segera membawa tubuh Soraya tanpa menoleh lagi ke belakang. Segera saja ia turun ke lantai dasar menggunakan lift, dan masuk mobil begitu keluar dari gedung kantor.
...***...
Di rumah sakit...
Soraya terbangun. Buram sedikit matanya, terlihat ia berada di kasur rumah sakit. Ada Justin di sampingnya yang menggenggam tangan kanannya. Justin melihat istrinya yang sudah sadar dengan muka senang.
"Syukurlah kau sudah sadar," katanya dengan senyuman biasa.
"Kenapa aku di sini?" tanya Soraya dengan suara yang masih lemas.
"Kau mual tadi. Lalu pingsan di kamar mandi."
Soraya mengalihkan pandanganya ke arah lain. Kepalanya masih terasa berat. Justin memberitahukan sesuatu.
"Kamu...kamu benar-benar mengandung 3 anak."
"DEGH!!!*
Rasanya dunia runtuh. Ia tak menduga Justin tahu secepat ini. Tapi, ia tak bisa membangkang lagi. Apalagi badannya masih lemah saat ini.
Bukan apa-apa. Tentu saja ia takut Justin marah. Sudah tahu pasti, bahwa Justin gampang pemarah. Bahkan lebih emosional daripada Hugh atau Carson. Bisa saja Justin lebih emosi, kapanpun bisa mengamuk. Beda dengan Carson.
"Aku bersalah tidak bisa menjaga diri," ucap Soraya lirih.
Justin terkejut mendengar ucapan itu. Nampaknya Soraya ingin meminta maaf padanya. Tapi sulit untuk mengatakan kata itu. Padahal hanya "maaf" saja. Justin tahu betul apa maksud Soraya bicara begitu.
Tidak bisa menjaga diri dari pria lain. Hingga ia kini mengandung anak orang lain tanpa hubungan yang sah.
Ancaman untuk tidak membuat Soraya menangis pada Hugh, nampaknya malah menjadi sebuah hal yang Justin lakukan. Karena kini kedua mata Soraya mulai berkaca-kaca. Menitihkan air mata ke bantal rumah sakitnya.
"Maafkan aku, Justin! Maafkan aku..." ucapnya lirih. Sakit. Rasanya mati rasa.
Percaya 100% bahwa Justin mencintainya meskipun sangat menyebalkan dan jahat. Bagaimanapun juga, ia tetap suaminya. Bukan hanya untuk menghindari kutukan dari menjadi manusia serigala. Tapi juga karena cinta, atas pengakuannya Justin sendiri hari itu.
Tak tega dengan perasaan Soraya saat ini, Justin membungkuk, dan menahan kedua tangan Soraya yang masih di ranjang rumah sakit. Melihat istrinya baik-baik.
Soraya terkejut dengan tingkah Justin. Apalagi raut wajah pria itu berubah 180° jadi ikut sedih juga. Bahkan biarpun tanpa kacamata minus yang belum ia pakai lagi, terlihat matanya Justin juga berkaca-kaca. Seperti mau menangis.
Justin dan Soraya saling bertatap muka langsung satu sama lain saat ini. Jantung keduanya sama-sama berdebar kencang. Rambut putih perak Justin yang panjang dan diikat dan dikedepankan bagai seorang Duke Inggris itu pun jatuh merambat pipi kanan Soraya dengan halus.
Dengan suara pelan, lemah lembut, tapi tegas dan penuh rasa tekad cinta yang kuat, Justin berkata, "Jika kedua mata dan telingamu masih berfungsi dengan baik, maka aku mohon! Lihat aku, dan dengar aku!"
Genggaman tangan Justin pada kedua tangannya Soraya semakin kuat dan ketat. Tatapan matanya yang biasanya berani dan galak itu, melemah luluh karena cinta. Tak ingin dibenci istrinya.
"Kau mau bilang sesuatu?" tanya Soraya. Luluh juga, meskipun masih sedikit ragu dan bimbang.
Justin mengangguk halus. Pelan. Semakin mendekati wajahnya pada Soraya.