"Aku memang lebih muda darimu, Elea," bisik Darren dengan suara rendah, nyaris berdesir di telinganya. Napas hangatnya menggelitik kulit Elea, membuat tubuhnya tanpa sadar bergetar. "Tapi, aku tetaplah seorang pria normal," lanjutnya, suaranya penuh keyakinan, meninggalkan ketegangan yang menggantung di antara mereka.
***
Darren Alaric Everleigh, pewaris tunggal sebuah perusahaan besar, memutuskan untuk menjalani kehidupan yang berbeda. Menyamar sebagai karyawan biasa, ia masuk ke perusahaan milik keluarganya tanpa seorang pun tahu siapa dirinya sebenarnya. Namun, hidupnya berubah saat ia ditempatkan sebagai asisten Elea Victoria Whitmore.
Elea adalah seorang wanita pekerja keras yang diam-diam menyimpan mimpi besar. Namun, mimpi itu selalu dihancurkan oleh suaminya, Adrian, seorang pria yang tidak pernah mendukungnya. Di tengah tekanan pekerjaan dan pernikahan yang dingin, Elea menemukan kenyamanan dalam kehadiran Darren—seorang asisten muda yang penuh perhatian.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kyurincho, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
The Silent Defender
Ruang rapat hari itu dipenuhi dengan aura formal yang terasa kental. Harland, atasan langsung Elea, duduk di ujung meja panjang dengan ekspresi kaku. Elea duduk di kursi sebelah kiri, berusaha tetap tenang meskipun pikirannya masih bergelut dengan rasa sakit hati atas kejadian sebelumnya. Darren duduk di sudut, sedikit bersandar pada kursinya, mengenakan ekspresi santai yang bertentangan dengan ketegangan di ruangan itu.
Namun, di balik sikap santainya, Darren sedang memperhatikan semua orang di dalam ruangan dengan cermat. Matanya beralih sebentar ke Nadia yang duduk di seberangnya. Wajah Nadia terlihat tegang, tetapi ia tetap mencoba menutupi kegugupannya dengan senyuman tipis. Darren tahu bahwa Nadia tidak berniat mengakui kesalahannya. Ia semakin yakin bahwa ia harus turun tangan lebih jauh untuk menyelesaikan masalah ini.
Harland membuka rapat dengan suara tegas, “Saya ingin laporan bulan ini diperbaiki. Kesalahan seperti ini tidak boleh terjadi lagi.”
Elea mengangguk, meskipun hatinya terasa berat. “Tentu, Pak. Saya akan memastikan hal ini tidak terulang.”
Darren, yang sejak tadi diam, akhirnya berbicara. “Sebenarnya, Pak, mungkin kita perlu meninjau ulang prosedur penyerahan dokumen. Kesalahan kecil seperti ini bisa terjadi di mana saja, bukan?”
Harland melirik Darren dengan alis terangkat, terkesan dengan usulan itu. “Saran yang bagus. Kita akan bahas itu di kemudian hari. Untuk sekarang, saya ingin tim fokus pada perbaikan laporan ini.”
Elea menatap Darren sekilas, ada rasa heran di matanya. Darren seolah-olah sedang membelanya, tetapi ia tidak yakin apa motifnya.
Darren tetap berusaha menjaga sikap agar tetap netral, meskipun dalam hatinya ia gelisah. Ia tahu Nadia tidak akan mengaku. Ia hanya menunggu waktu yang tepat untuk mengungkap kebenaran tanpa merusak internal tim. Namun, ia tidak ingin Elea terus diperlakukan tidak adil. Ia merasa Elea terlalu baik untuk menghadapi situasi seperti ini sendirian.
***
Beberapa hari kemudian, Darren dan Lisa duduk di kafetaria kantor. Lisa tampak penasaran, sementara Darren bersandar di kursi dengan lengan terlipat di dada.
“Jadi, kau yakin Nadia pelakunya?” tanya Lisa dengan suara rendah.
Darren mengangguk. “Aku tidak hanya yakin, Lisa. Aku tahu. Tapi aku butuh bukti lebih banyak sebelum menghadap Harland. Aku tidak mau ada celah baginya untuk menyangkal.”
Lisa mengerutkan alis. “Kau tahu, kau kau sedang mengambil besar. Kalau ini gagal, bisa-bisa kau yang disalahkan.”
Darren tersenyum miring. “Itu risiko yang harus aku ambil. Lagipula, aku punya cadangan rencana.”
Lisa menghela napas, menyerah. “Baiklah. Apa yang kau butuhkan dariku?”
“Cukup awasi Nadia. Kalau dia terlihat mencurigakan, beri tahu aku. Aku juga butuh akses ke beberapa arsip lama. Bisa bantu?”
Lisa mengangguk. “Aku akan coba. Tapi hati-hati, Darren.”
Di sisi lain, Elea tengah melewati kafetaria dengan langkah cepat ketika matanya menangkap Darren dan Lisa yang duduk bersama. Mereka terlihat serius, tetapi juga santai. Ada senyuman kecil di wajah Darren, yang entah mengapa membuat dada Elea terasa tidak nyaman.
***
Di koridor kantor, Darren duduk di meja Lisa, memperhatikan layar laptopnya dengan saksama. Keduanya berbicara pelan, nyaris berbisik. Lisa, seorang analis data yang andal, adalah satu-satunya orang yang Darren percaya.
“Kalau kita bisa melacak asal usul transaksi ini,” kata Lisa sambil mengetik cepat, “kita mungkin bisa menghubungkan semuanya. Tapi ini memiliki risiko yang cukup besar, Darren.”
Darren menyandarkan kepala ke kursi, menghela napas panjang. “Aku tahu. Tapi aku tidak bisa membiarkan Elea terus disalahkan. Dia tidak pantas mendapatkan ini.”
Lisa melirik Darren dengan ragu. “Kalau begitu, kenapa tidak langsung bicara padanya? Dia pasti akan membantumu.”
Darren menggeleng. “Dia terlalu keras kepala.”
***
Saat Elea berjalan melewati meja Lisa, ia melihat Darren sedang tertawa kecil bersama Lisa. Pandangan mereka tampak terlalu akrab. Elea berhenti, menatap mereka dengan alis terangkat.
“Darren, Lisa,” panggil Elea dengan nada tegas.
Keduanya menoleh bersamaan. Lisa tampak bingung, sementara Darren hanya tersenyum santai. “Ada apa, Elea?” tanyanya dengan nada menggoda seperti biasanya.
“Jika kalian ingin membahas sesuatu, lakukan di waktu yang tepat. Jangan sampai ini mengganggu pekerjaan kalian,” kata Elea, berusaha terdengar profesional.
Darren menyipitkan mata, lalu tersenyum lebih lebar. “Kenapa? Kau cemburu karena aku lebih banyak menghabiskan waktu dengan Lisa daripada denganmu?”
Mata Elea membesar, pipinya sedikit memerah. “Cemburu? Jangan konyol, Darren. Aku hanya mencoba memastikan semua orang tetap fokus pada pekerjaan.”
Lisa mencoba menyela, “Kami hanya—”
“Lisa, tidak perlu dijelaskan,” potong Elea cepat. Ia menatap Darren lagi. “Aku hanya berharap kau bisa lebih profesional.”
Darren berdiri dari kursinya, mendekati Elea dengan senyum yang tidak hilang dari wajahnya. “Tenang saja, Elea. Aku akan tetap bekerja dengan baik. Tapi, kalau kau benar-benar merasa cemburu, kau bisa bilang. Aku tidak akan keberatan.”
Elea menghela napas panjang, menatap Darren dengan frustrasi. “Darren, berhentilah bersikap seperti anak kecil. Fokuslah pada pekerjaanmu.”
Darren hanya terkekeh, sementara Elea berbalik dan pergi, mencoba mengendalikan emosinya.
Darren menatap punggung Elea yang menjauh, senyum kecil masih menghiasi wajahnya. Ia tahu Elea tidak benar-benar cemburu, tetapi ada sesuatu dalam reaksinya yang membuat Darren semakin penasaran. Elea adalah teka-teki yang ingin ia pecahkan, dan semakin ia mengenalnya, semakin ia merasa tertarik.
Namun, fokusnya belum berubah. Ia tahu, di balik semua godaan dan candaan ini, tugas utamanya adalah membuktikan kebenaran untuk membersihkan nama Elea.
***
Di ruangannya, Elea langsung membuka percakapan. “Kau tahu, Darren, aku tidak peduli apa yang kau lakukan di luar pekerjaan. Tapi aku butuh timku fokus. Kalau kau terus menghabiskan waktu dengan Lisa tanpa alasan yang jelas, itu bisa memengaruhi produktivitas.”
Darren bersandar di sofa Elea, memasang senyum nakal. “Jadi benar, kau cemburu?”
Elea mengangkat alis, berusaha menahan emosi. “Cemburu? Tolong, Darren. Jangan konyol.”
“Tentu saja kau cemburu,” Darren menggodanya lagi, dengan nada manja yang membuat Elea semakin kesal. “Kau merindukanku, kan? Aku tidak lagi menggodamu belakangan ini. Jangan khawatir, aku masih peduli padamu.”
Elea menghela napas berat, menatap Darren dengan pandangan tajam. “Keluar dari ruanganku sekarang, Darren. Dan berhenti mempermalukan dirimu sendiri.”
Darren hanya tertawa kecil, lalu bangkit dari sofa. “Baiklah, bos. Tapi ingat, aku ini asisten kesayanganmu.”
Setelah Darren pergi, Elea duduk di kursinya, berusaha menenangkan diri. Ia tahu Darren hanya bercanda, tapi mengapa perasaan kesal itu seolah menghantui pikirannya?
***