Zeona Ancala berusaha membebaskan Kakaknya dari jeratan dunia hina. Sekuat tenaga dia melakukan segala cara, namun tidak semudah membalikan telapak tangan.
Karena si pemilik tempat bordir bukanlah wanita sembarangan. Dia punya bekingan yang kuat. Yang akhirnya membuat Zeona putus asa.
Di tengah rasa putus asanya, Zeona tak sengaja bertemu dengan CEO kaya raya dan punya kekuasaan yang tidak disangka.
"Saya bersedia membantumu membebaskan Kakakmu dari rumah bordir milik Miss Helena, tapi bantuan saya tidaklah gratis, Zeona Ancala. Ada harga yang harus kamu bayar," ujar Anjelo Raizel Holand seraya melemparkan smirk pada Zeona.
Zeona menelan ludah kasar, " M-maksud T-Tuan ... Saya harus membayarnya?"
"No!" Anjelo menggelengkan kepalanya. "Saya tidak butuh uang kamu!" Anjelo merunduk. Mensejajarkan kepalanya tepat di telinga Zeona.
Seketika tubuh Zeona menegang, mendengar apa yang dibisikan Anjelo kepadanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ama Apr, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 5
Sudah tiga hari berlalu sejak malam itu. Zeona masih setia memandangi kartu nama yang diberikan pria tampan itu kepadanya.
"Kamu lupa pada saya, Zeona?" Pertanyaan itu terus terngiang-ngiang di telinganya.
"Kapan aku bertemu dengan Om-Om itu?" Zeona mencoba mengingat-ingat. "Anjelo Raizel Holland, CEO Holland Corporation?" Otaknya terus berpikir. "Nggak tahu ah! Pusing!" Zeona menyerah untuk mengingat di mana ia pernah bertemu dengan Anjelo. Otaknya malah mumet. Dia kembali menyimpan kartu nama itu ke dalam lemari pakaiannya.
"Kakak ke mana ya? Kok udah tiga hari ini nggak ada menghubungi aku," monolognya merasa cemas pada keadaan sang Kakak.
Ketukan terdengar dari luar pintu kontrakannya. Zeona beranjak dari kasurnya yang tergelar di lantai. Berjalan untuk membuka pintu.
"Kakaak!" Sorak bahagia mengudara. Zeona berhambur memeluk Zalina dengan wajah ceria.
"Sss ... pelan-pelan Zeo." Zalina merintih sambil menyingkirkan kedua tangan Zeona dari tubuhnya. Membuat gadis berkaos merah muda itu mengerutkan kening.
"Kakak kenapa?" tanyanya cemas.
Buru-buru Zalina menggelengkan kepalanya.
"Kakak jangan bohong!" Zeona mendesak. Feeling nya mengatakan jika Kakaknya menyembunyikan sesuatu.
"Kakak nggak papa!" Zalina lekas masuk ke dalam kamar. Mendudukan tubuhnya di atas kasur.
"Kak! Kakak pasti di ani aya lagi sama pelanggan Kakak, iya 'kan?" Zeona tetap kukuh mendesak Kakaknya. Gerak-gerik Zalina membuat dia semakin yakin.
Penampilan Zalina yang kini memakai kemeja oversize dan rok sebetis semakin menguatkan kecurigaan Zeona jika sang Kakak sedang tidak baik-baik saja.
"Kamu ngomong apa sih, Zeo! Kakak baik-baik saja. Siapa yang di ani aya? Kakak sehat wal afiat!" tampik Zalina dengan nada bicara sedikit meninggi.
"Bohong!" Dengan gerakan cepat, Zeona menyingkap kemeja merah marun yang dikenakan Zalina yang sedang membelakanginya.
"YA TUHAN!" Mata Zeona membelalak bersamaan dengan seruan kekagetannya. Air asin pun berjatuhan. "Kakak ..."
Bekas cam bukan tergambar rapi di punggung putih Zalina.
Sekarang, tak ada lagi yang bisa dibantah. Zalina juga ikutan mengeluarkan air mata.
"Ak-aku u-udah bi-lang ber-hen-ti men-jadi wanita ma-lam, Kak! Aku nggak rela melihat Kakak tersiksa dan terluka seperti ini! Cukup Kak! Cukup ..." Zeona berbicara sambil menangis tersedu. Suaranya terpatah-patah.
"Ka-kak juga ingin berhenti Zeo. Tapi Kakak nggak punya uang untuk membebaskan diri Kakak sendiri. Kakak ..." Curahan hati Zalina terjeda karena air mata yang terus berderaian. Dadanya cukup sesak untuk melanjutkan kata.
Zeona mengusap air matanya. "Kalau begitu, kita kabur aja Kak! Aku 'kan sudah ujian dan sudah menerima surat kelulusan. Jadi tak ada lagi yang perlu dirisaukan!"
"Tidak Zeo! Kabur bukanlah jalan terbaik. Yang ada kita berdua akan dihabi si oleh Miss Helena. Kita berdua akan ma ti, Zeona!" Tangis Zalina semakin kencang. Begitu juga dengan Zeona. Kakak beradik itu dilanda putus asa yang tak bisa dibantahkan.
Hidup berdua tanpa orang tua dan keluarga membuat mereka tak punya sandaran untuk dimintai bantuan. Harapan mereka hanya satu, yaitu pertolongan Tuhan.
"Kakak harus segera kembali Zeo. Maaf, untuk kali ini Kakak tidak bisa memberimu uang. Kakak sudah tiga hari tak dapat pelanggan karena kondisi Kakak yang tidak memungkinkan," beri tahu Zalina dengan suara serak.
"Tak apa Kak. Uang yang Kakak berikan waktu itu masih ada. Kakak nggak usah pulang! Kakak tidur aja di sini sama aku. Aku rindu tidur berdua sama Kakak seperti waktu dulu," lirih Zeona. Suaranya sama serak seperti sang Kakak.
"Kakak juga rindu tidur berdua dengan kamu, Zeo. Tapi keadaan saat ini tidak memungkinkan. Mungkin suatu hari nanti, kita bisa mewujudkan impian itu. Saat Kakak sudah bisa lepas dari belenggu Miss Helena." Zalina memberikan pelukan perpisahan pada adiknya. "Kakak pulang dulu ya! Jaga diri kamu baik-baik!"
Air mata kembali berjatuhan dari sepasang mata Zalina dan Zeona. Lambaian tangan menjadi pengiring kepergian Zalina.
"Tuhan ... kenapa takdir hidupku dan juga Kak Zalina begitu menyedihkan? Kapan kami bisa hidup bersama lagi? Bantu aku Tuhan! Berikanlah jalan keluar untuk masalah ini ..."
Setelah kepergian Zalina, Zeona tak berhenti menitikan air mata dengan tangan yang sibuk menghitung uang seratus ribuan dan recehan yang ia tabung di dalam celengan.
"Ya Tuhan ... uangku baru ada tiga juta. Ditambah yang dari Kakak kemarin. Total semuanya baru ada lima juta. Sedangkan uang yang aku butuhkan untuk membebaskan Kakak dari tempat terkutuk itu adalah dua milyar ... sisanya masih menggunung." Tangisan kesedihan berubah menjadi tangisan keputusasaan. Penuh perih dan juga kebingungan.
"Seharusnya dulu ... aku dan Kakak tidak pindah ke Ibukota. Seharusnya aku dan Kakak tinggal saja di kontrakan yang lama. Seharusnya ... seharusnya ..." Kata itu rumpang karena tak ada guna dilanjutkan.
Nasi sudah menjadi bubur. Apa yang sudah terjadi tak mungkin bisa kembali.
Penyesalan memang selalu datang diakhir. Dan itu sangat menyedihkan.
Di tengah kegalauannya, Zeona malah melihat berita di televisi yang sangat mengerikan.
"Ditemukan ma yat wanita muda tanpa bu sana dan tanpa identitas di sebuah penginapan di pinggiran Ibukota. Di sekujur tubuh wanita itu dipenuhi dengan luka lebam. Bekas cambukan dan juga cek ikan. Dugaan sementara, wanita tersebut di ani aya dan di bv nvh oleh teman kencannya sendiri. Karena sang pemilik penginapan mengatakan jika tadi malam ada sepasang sejoli datang tengah malam dan menyewa satu kamar. Tapi pagi harinya, si lelaki keluar sendirian tanpa si wanita. Dan siang harinya, karena merasa curiga, akhirnya si pemil-"
Zeona mematikan televisi. Dia ngeri karena tiba-tiba teringat pada Zalina. Rasa takut mencengkram jiwa. Pikiran negatif berdatangan.
Ketakutan akan Kakaknya mengalami hal serupa menelusup kalbu.
"Tidak! Itu tidak boleh terjadi! Aku tidak mau kejadian buruk itu terjadi pada Kakak! Aku harus segera membebaskan Kakak!" Zeona berbicara sendiri sambil meremat semua jemari. "Tapi dari mana aku mendapatkan uang sebanyak itu?" Seketika ingatannya tertuju pada kartu nama yang ia simpan di dalam lemari pakaian.
Zeona bangkit dari kasur. Membuka lemari dan mengambil benda persegi itu. Menatapnya dengan penuh harap. "Anjelo Raizel Holland ..."
"Hubungi saya jika kamu butuh bantuan dan juga uang. Dengan senang hati, saya akan membantumu ... Zeona Ancala."
"Semoga Tuan Anjelo benar-benar bisa membantuku!" Zeona mengetikan nomor telepon Anjelo di layar ponselnya. Lalu mendial nomor tersebut.
Satu kali, tak ada jawaban. Dua kali pun sama. "Sekali lagi deh!" putus Zeona dengan penuh harap.
[Halo, siapa ini?]
Zeona meneguk salivanya yang terasa tajam bagai pedang sebelum menyahuti suara berat di seberang sana. Tiba-tiba saja seluruh tubuhnya gemetaran. Dia melafalkan doa, semoga ini adalah jalan terbaik.
[H-halo, T-Tuan. I-ni ss-saya Zeona.]
Makasih udah baca😊