Anson adalah putra tunggal dari pemilik rumah sakit tempat Aerin bekerja. Mereka bertemu kembali setelah tiga belas tahun. Namun Anson masih membenci Aerin karena dendam masa lalu.
Tapi... Akankah hati lelaki itu tersentuh ketika mengetahui Aerin tidak bahagia? Dan kenapa hatinya ikut terluka saat tanpa sengaja melihat Aerin menangis diam-diam di atap rumah sakit?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mae_jer, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17
Setelah keadaannya membaik, Aerin kembali kerja seperti biasa. Sekarang ia sedang duduk di tengah-tengah kebun bunga rumah sakit sambil menerawang ke langit-langit sore yang terasa enak untuk dipandang. Rambutnya yang biasa di urai di kuncir asal-asalan hari ini.
Pemandangan taman ini tampak luar biasa, dengan dedaunan yang rimbun dan tertata rapi serta bunga-bunga dan rumput hijau yang mengelilingi, ditambah lagi kolam ikan yang cantik dengan gemericik air terjun buatan yang mendamaikan suasana. Aerin dengan senang hati akan rela melewatkan waktunya untuk duduk-duduk di taman ini menikmati keindahan suasananya.
"Kau hobi sekali mencuri-curi waktu kerja." suara itu mengalihkan perhatian Aerin. Anson sudah berdiri didepannya dan kini duduk di sebelahnya. Gadis itu cepat-cepat berdiri karena refleks namun Anson malah meraih pergelangan tangannya, membuatnya kebingungan.
"Mau kemana?" tanya dokter tampan itu. Sebelum menjawab Aerin menatap kiri-kanan. Tempat itu memang sepi dan jauh dari banyak orang, tapi tetap saja ia harus berhati-hati. Bisa saja ada yang melihat mereka berdua dan bergosip. Apalagi Anson yang masih terus memegangi pergelangan tangannya seperti ini.
"Kembali bekerja." sahut Aerin berusaha melepaskan diri dari genggaman Anson. Sayangnya usahanya tampak sia-sia.
Anson seperti tidak ada niat untuk melepaskan dia. Aneh, ada apa dengan pria ini? Padahal dulu Anson sangat tidak suka bersentuhan dengannya. Apalagi menggenggam tangannya seperti ini. Senyum miring terlihat di wajah pria itu.
"Tidak usah pura-pura rajin ketika aku sedang di depanmu. Aku tahu seperti apa dirimu dari dulu." ucap Anson.
Perkataannya membuat Aerin memaksakan seulas senyum. Pria itu selalu menyerangnya di setiap kesempatan tapi sekali lagi, ia sudah terbiasa. Dibandingkan sekarang, dulu Anson malah jauh lebih kejam.
"Bisa lepaskan tanganku?" pinta Aerin. Anson yang menyadari masih memegangi pergelangan tangan gadis itu cepat-cepat melepaskannya.
"Duduklah," gumam lelaki itu kemudian.
Perkataan itu sukses membuat Aerin kebingungan. Kenapa dengan pria ini? Bukankah Anson tidak suka dekat-dekat dengannya bahkan semenit pun?
Laki-laki aneh, batin Aerin. Aerin tetap berdiri tak berniat duduk sedikit pun, meski Anson menyuruhnya duduk. Bisa saja kan pria itu hanya mengerjainya. Bagaimana kalau dia duduk dan Anson menyuruhnya pergi? Ia tidak mau dibodohi. Matanya bertemu dengan mata hitam pekat milik Anson yang kini menatapnya tajam.
"Aku tidak punya waktu main-main denganmu, asal kau tahu." ujar Anson seolah tahu apa yang ada dipikiran Aerin.
Aerin menyipitkan mata terus menatap pria itu. Karena tak ada tanda-tanda dirinya akan duduk, Anson kembali meraih tangannya hingga membuatnya terduduk di sebelah pria itu. Mata Aerin melebar.
"Katakan dimana Kyle." gumam Anson tanpa menatap Aerin. Ia makin penasaran dan ingin tahu setelah melihat nama Kyle yang tidak ada di kontak Aerin semalam.
Aerin mendesah pelan. Ternyata Anson menyuruhnya duduk karena ingin menanyakan tentang sang kakak. Huh, kenapa dirinya bisa begitu percaya diri dengan berpikir pria itu ingin bertanya tentang dirinya.
Gadis itu mengembuskan napas panjang. Anson sepertinya tidak akan berhenti menanyakan tentang kakaknya kalau dia tidak memberi tahu. Kalau begitu beritahu saja supaya Anson tidak mengganggunya lagi.
Lalu diambilnya pulpen dan buku kecil yang selalu berada di saku jasnya dan menulis sesuatu kemudian merobek kertas berisi catatan itu dan disodorkan pada Anson. Biar saja laki-laki itu pergi sendiri di makam kakaknya, supaya dia tahu kakak yang lelaki itu cari-cari sejak kemarin tidak ada lagi di dunia ini.
Anson menatap Aerin setelah membaca alamat yang diberikan gadis itu.
"Pergilah ke alamat itu kalau kau ingin menemui kakakku." ujar Aerin kemudian pergi dari situ, meninggalkan Anson sendirian.
Anson sendiri masih terus menatap kepergian Aerin dengan ekspresi tak terbaca lalu mengangkat bahu tak peduli. Matanya kembali melirik kertas ditangannya, membaca baik-baik alamat yang di tuliskan Aerin. Pria itu belum merasakan keanehan apapun. Ia bahkan telah berpikir akan langsung menemui Kyle setelah jam kerjanya berakhir. Penasaran apa yang terjadi dengan kakak beradik yang amat saling menyayangi itu.
🌴🌴🌴
Sorenya,
Aneh,
Anson merasa ada yang salah. Ia kembali membaca alamat yang diberikan Aerin padanya. Tapi alamat itu memang benar. Hanya saja, itu adalah alamat sebuah makam. Apakah Aerin sedang mempermainkannya? Kenapa gadis itu memberinya alamat makam? Anson berdecak kesal.
Mobilnya berhenti di sebuah makam sesuai dengan petunjuk yang diberikan Aerin. Ia masih saja berpikir. Lalu membaca alamat itu lagi. Ada nomor di sana. Anson terus berpikir keras.
Apa maksud Aerin menuliskan itu? Tapi sesaat kemudian laki-laki itu punya firasat. Firasatnya tidak enak. Ia lalu turun dari mobil dan berjalan ke dalam makam sampai akhirnya ia menemukan nomor makam yang ditulis Aerin di kertas itu. Dan ...
Anson tertegun, ia menghentikan langkahnya dan menatap lurus ke depan sana. Nafasnya tercekat,
K ... Kyle?
Pria itu berulang kali menatap foto dan nama yang tertulis di makam itu.
Kyle sudah meninggal?
Kenapa dia tidak tahu? Anson terduduk didepan makam, ia tiba-tiba menjadi linglung dan kesedihan yang mendalam menghampirinya.
Anson merasa kehilangan sahabat lamanya. Pantas saja selama ini Kyle tidak pernah menghubunginya lagi. Ternyata ...
Hampir satu jam Anson duduk di depan makam itu. Merenung dan penasaran apa yang telah terjadi. Apa yang sebenarnya terjadi, kenapa Kyle meninggal? Pantas saja ketika ia bertanya pada Aerin, gadis itu tampak enggan untuk menjawab. Pantas saja nomor Kyle tidak ada dalam daftar panggilan Aerin, karena orangnya memang tidak ada lagi di dunia ini. Anson mendesah berat kemudian berdiri, berjalan pergi meninggalkan tempat itu.
Dokter tampan itu tidak balik ke rumah. Ia kembali ke rumah sakit untuk mencari Aerin.
"Kemana dokter Aerin?" tanyanya pada seorang perawat bernama Fini.
"Lagi cek pasiennya dok." sahut Fini.
"Kalau dia kembali, langsung suruh dia keruangan-ku." kata Anson lagi lalu melangkah masuk ke dalam ruangannya. Suster Fini mengangguk mengiyakan lalu pandangannya berpindah ke Raya, temannya sesama suster juga. Mereka bertukar pandangan bingung.
Biasanya malam-malam begini Anson sudah pulang, atau kalau pun belum pulang, dokter itu sudah tidak ada kerja.
"Kenapa banyak laki-laki tampan tertarik pada dokter macam dokter Aerin itu sih? Kelebihannya apa coba?" bisik Raya pelan. Ia tidak mau mereka ketahuan bergosip dan dapat teguran, bisa kena mental nanti.
"Dokter Aerin pake jampi-jampi mungkin," balas Fini tak kalah pelannya, keduanya lalu tertawa lucu. Sama sekali tidak sadar Aerin sudah berdiri di depan mereka.
"Ada yang lucu?" keduanya langsung terdiam dan berdiri tegak. Ekspresi mereka seperti orang yang baru saja tertangkap basah. Padahal Aerin tidak mendengar mereka sedang membicarakan dirinya sampai tertawa begitu.
"T ... tidak ada dok," sahut Raya salah tingkah. Ini nih kalau bergosip tentang seseorang dan orang yang digosipkan tiba-tiba muncul didepan mereka.
"Dokter Aerin,"
Aerin mengalihkan pandangannya ke suster Fini.
"Kenapa?"
"Kata dokter Anson, kalau anda datang langsung masuk ke ruangannya." Aerin sempat bingung tapi sesudah itu ia melangkah menuju ruangan Anson.
Setelah kepergiannya barulah kedua perawat tersebut bernafas lega.