SIPNOSIS:
Kenneth Bernardo adalah pria sederhana yang terjebak dalam ambisi istrinya, Agnes Cleopatra. demi memenuhi gaya hidupnya yang boros, Agnes menjual Kenneth kepada sahabatnya bernama, Alexa Shannove. wanita kaya raya yang rela membeli 'stastus' suami orang demi keuntungan.
Bagi Agnes, Kenneth adalah suami yang gagal memenuhi tuntutan hidupnya yang serba mewah, ia tidak mau hidup miskin ditengah marak nya kota Brasil, São Paulo. sementara Alexa memanfaatkan kesempatan itu untuk mendapatkan suami demi memenuhi syarat warisan sang kakek.
Namun, kenyataan tak berjalan seperti yang Agnes bayangkan, setelah kehilangan suaminya. ia juga harus menghadapi kehancuran hidupnya sendiri-dihina orang sekitarnya, ditinggalkan kekasih gelapnya uang nya habis di garap selingkuhan nya yang pergi entah kemana, ia kembali jatuh miskin. sementara Alexa yang memiliki segalanya, justru semakin dipuja sebagai wanita yang anggun dan sukses dalam mencari pasangan hidup.
Kehidupan Baru Kenneth bersama Alexa perlahan memulihkan luka hati nya, sementara Agnes diliputi rasa marah dan iri merancang balas dendam, Agnes bertekad merebut kembali Kenneth bukan karena haus cinta tetapi ingin menghancurkan kebahagiaan Alexa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon adelita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
HMYT-19
Agnes duduk di ruang tamu yang sunyi, matanya menatap kosong ke luar jendela, meskipun pikirannya tidak berada di sana. Kenangan tiga hari terakhir dengan selingkuhannya terus berputar di benaknya, seperti gambar yang tak bisa dihentikan. Setiap detik bersama pria itu seakan membekas dalam hatinya—sesuatu yang penuh gairah, tanpa aturan, tanpa tanggung jawab.
Dia tersenyum sendiri, tanpa sadar. Di luar, cuaca mendung, tapi di dalam dirinya, ada kebahagiaan yang menyala. Tiga hari di hotel itu—sebuah tempat yang jauh dari dunia yang biasanya mengikatnya—adalah pelarian sempurna. Tidak ada yang tahu. Tidak ada yang mengawasi. Hanya mereka berdua, menghabiskan waktu dengan cara yang sangat berbeda dari rutinitas hidupnya yang biasa.
"Betapa bebasnya rasanya," pikir Agnes, mengingat tawa lepas mereka saat saling berbicara, berbagi cerita yang hanya bisa mereka nikmati di dunia mereka sendiri.
Selingkuhannya—pria yang tampaknya selalu tahu bagaimana membuatnya merasa diinginkan dan dihargai, jauh dari rutinitas yang mengekangnya di rumah.
Agnes menggigit bibir bawahnya, merenung. Ada rasa puas yang mendalam di dalam dirinya. Suami, Kenneth, tidak akan tahu apa yang sebenarnya terjadi. Tapi siapa yang bisa menahan godaan kebebasan ini? Dunia luar itu lebih menggairahkan, lebih liar.
Kenangan tentang tiga malam mereka di hotel itu—di mana mereka berdua tidak bisa berhenti tersenyum, tak peduli berapa banyak waktu yang telah berlalu—mengalir seperti sungai yang tak terbendung. Di sana, di dalam pelukan selingkuhannya, Agnes merasa lebih hidup dari yang pernah dia rasakan dalam pernikahannya. Ada kenikmatan yang sulit diungkapkan dengan kata-kata, sesuatu yang membuatnya merasa kuat, dihargai, bahkan di luar dirinya sendiri.
FLASHBACK ON
Ketika Agnes melangkah ke kamar hotel itu, semua batasan yang ia bangun dalam hidupnya seakan runtuh. Dia tahu apa yang dia lakukan salah-bahkan mungkin dosa- tetapi kenapa rasanya begitu membebaskan? Di luar sana, dia adalah seorang istri. Tetapi di sini, di dalam pelukan selingkuhannya, dia adalah wanita yang mengejar hasrat, tidak peduli tentang konsekuensi.
"Jangan pikirkan apapun," kata Rery sambil memegang wajahnya dengan lembut, memaksa Agnes menatap matanya yang penuh gairah. "Di sini, hanya ada kita."
Agnes terdiam, menatapnya, kemudian mengangguk. Tidak ada kata-kata yang diperlukan lagi. Dia merasa tubuhnya dipenuhi dengan api yang membara, dan tak ada yang bisa menahan dorongan itu. Agnes melupakan statusnya sebagai istri orang, melupakan semua kewajiban dan peran yang selama ini ia jalani dengan baik. Di kamar ini, dia adalah seseorang yang tenggelam dalam dosa dan gairah, yang hanya menginginkan kepuasan sesaat.
Pakaian mereka terlepas perlahan, tanpa terburu-buru, seakan waktu di luar sana berhenti. Begitu mereka saling
bersentuhan, tubuh Agnes terasa
membara-gairah yang sudah lama terpendam bangkit tanpa bisa dihentikan.
Setiap ciuman yang dijatuhkan di tubuhnya, setiap sentuhan yang menggelitik kulitnya, membuatnya semakin tenggelam dalam keinginan yang meluap.
"Agnes..." kata Rery dengan suara yang serak, memanggil namanya seolah-olah itu adalah mantra yang memanggilnya lebih dalam. "Kau luar biasa."
Agnes tidak menjawab, hanya merasakan tubuhnya merespon setiap gesekan, setiap pelukan. Rasa bersalah yang tadi sempat ada kini sudah lenyap, tergantikan dengan kenikmatan yang membakar. Ini bukan tentang cinta, bukan tentang hubungan- ini hanya tentang tubuh yang saling mencari kepuasan, tubuh yang saling membutuhkan.
Rery terus bergerak, menggoda, mengisi setiap ruang dengan dorongan yang tak terucapkan. Tangan pria itu merayap di tubuhnya, seolah-olah ingin menguasai setiap bagian darinya.
Agnes hanya bisa mengangguk, menyerahkan dirinya sepenuhnya pada perasaan yang menyala-nyala itu. Setiap ciuman semakin dalam, semakin memabukkan, seolah-olah waktu tidak ada. Tidak ada lagi istri, tidak ada lagi aturan. Hanya ada tubuh mereka yang terikat dalam keinginan yang tak terucapkan, dalam dorongan yang saling mengisi.
Malam pertama itu terasa seperti sebuah ledakan yang tak henti-hentinya berlanjut. Mereka tidak keluar dari kamar, tidak peduli dengan waktu. Begitu banyak hal yang ingin mereka lakukan, begitu banyak
cara untuk saling memenuhi kebutuhan yang tidak bisa dijelaskan. Agnes merasa dirinya hidup kembali-seperti sebuah api yang berkobar tanpa kendali. Setiap sentuhan, setiap tarikan napas, membawa mereka semakin dalam ke dalam dunia ini, dunia yang penuh dengan kenikmatan dan kebebasan yang hanya sementara
Keesokan harinya, ketika mereka bangun, Agnes masih merasakan efek dari apa yang telah mereka lakukan. Mereka kembali, kali ini lebih mendalam, lebih mendesak. Tidak ada kata-kata, hanya gerakan tubuh yang tak terucapkan. Setiap sentuhan, setiap kecupan, semakin memperkuat dorongan yang tak terbendung. Agnes merasa dirinya terhanyut, seperti tidak ada lagi yang penting kecuali apa yang mereka berdua rasakan.
"Satu kali lagi," kata Rery dengan napas terengah, hampir tidak bisa menahan keinginan yang ada.
Agnes hanya mengangguk, Namun, untuk sekarang, dia hanya ingin menikmati perasaan ini—sebuah dunia kecilnya yang penuh dengan kebahagiaan, meskipun sekejap. Tiga hari yang terasa seperti hidup yang baru, sebuah kehidupan yang mungkin tidak akan pernah dia alami lagi jika semuanya kembali ke kenyataan.
membiarkan diri tenggelam dalam arus gairah itu. Mereka tidak ingin keluar dari kamar ini. Dunia luar sudah terlalu jauh, seolah tak ada yang mengingat mereka. Dalam kamar ini, mereka bebas-bebas dari peran yang mereka mainkan, bebas dari kewajiban, bebas untuk menikmati setiap detik kebebasan itu.
Setelah tiga hari menginap di hotel, mereka bersiap untuk pulang dengan Rery mengantar Agnes pulang kerumah.
Dalam Mobil
Suasana dalam mobil awalnya tenang, dengan hanya suara roda yang melintasi jalan. Rery terlihat gelisah, memegang setir dengan erat, sementara Agnes duduk di sampingnya sambil memainkan ponselnya.
Setelah beberapa saat, Rery menarik napas dalam-dalam, kemudian memanggil Agnes dengan suara pelan.
"Sayang... Aku mau bicara sesuatu," ujarnya ragu.
Agnes menoleh. "Ada apa? Kau terlihat tegang. Kau butuh sesuatu?"
Rery mengangguk, tampak gugup. "Aku... aku sebenarnya butuh bantuanmu. Aku perlu meminjam uang."
Agnes sedikit terkejut. "Pinjam uang? Berapa banyak?"
Rery ragu sejenak, lalu berkata dengan pelan, "1 miliar..."
Mata Agnes membelalak, dan dia langsung duduk tegak. "1 miliar? Kau bercanda, kan? Untuk apa kau membutuhkan uang sebanyak itu?!" tanyanya dengan nada yang sedikit meninggi.
Rery menggeleng cepat. "Aku serius, Agnes. Aku benar-benar membutuhkannya. Ini untuk biaya rumah sakit dan operasi ayahku. Keadaannya sudah sangat gawat."
Agnes menghela napas dalam, mencoba menenangkan diri meski jelas terlihat kesal. "Rery, 1 miliar itu bukan jumlah kecil! Kau pikir aku bisa mendapatkan uang sebanyak itu begitu saja? Kau tahu aku tidak punya uang sebanyak itu!"
Rery menatap Agnes sejenak sebelum kembali fokus ke jalan. "Aku tahu ini berat untukmu, Agnes. Tapi aku tidak punya pilihan lain. Ayahku butuh operasi besar, dan keuangan keluargaku sedang kacau. Kau tahu aku ini sebenarnya anak orang kaya, kan? Tapi semuanya terhambat karena urusan ayahku di rumah sakit. Aku janji, kalau kau bisa membantuku, aku akan mengganti uangmu... bahkan lebih dari itu. Aku tidak akan membuatmu rugi."
"Kau tahu aku bukan orang kaya seperti kau, Rery. Aku bantu kau karena aku peduli, tapi lama-lama aku curiga. Keuanganmu itu kenapa sebenarnya? Kalau kau anak orang kaya, kenapa terus-menerus pinjam uang?"
Rery terdiam sejenak, menelan ludah. Ia tahu Agnes benar, tapi ia tetap harus menjelaskan. "Agnes, aku memang anak orang kaya, tapi keuangan keluargaku sedang bermasalah. Ayahku sakit parah, semua uang kami habis untuk biaya rumah sakit. Aku nggak punya akses ke rekening besar keluargaku sekarang karena semuanya diurus oleh pihak pengacara ayahku."
Agnes mendengus. "Dan kau baru bilang ini sekarang? Setelah aku jadi ATM berjalan untukmu selama ini?"
"Agnes, aku tidak ingin menyusahkanmu. Aku pinjam sedikit-sedikit karena aku tidak mau terlihat seperti seseorang yang memanfaatkanmu. Tapi sekarang keadaannya benar-benar darurat. Ayahku butuh operasi besar, dan aku tidak punya tempat lain untuk meminta bantuan."
Agnes melipat tangan di dadanya, masih merasa kesal. "Jadi sekarang aku harus cari 1 miliar untukmu? Rery, itu bukan jumlah kecil! Bagaimana kalau aku tidak bisa?"
"Aku tahu ini berat, Agnes. Tapi tolong percayalah. Kau tahu aku bisa membayarnya begitu semuanya selesai. Aku hanya butuh waktu."
Agnes menatap Rery dengan tajam, matanya masih menyiratkan kemarahan. "Rery, aku sudah sering bantu kau. Tapi aku juga manusia. Kau tidak bisa terus-menerus memanfaatkan kebaikanku tanpa memberikan solusi yang jelas. Kalau aku bantu kau kali ini, aku butuh kepastian. Jangan hanya janji kosong."
Rery mengangguk cepat, suaranya mulai memelas. "Aku bersumpah, Agnes. Begitu semuanya stabil, aku akan mengganti setiap rupiah yang kau keluarkan. Aku bahkan akan menggantinya lebih dari yang kau pinjam. Aku tahu kau marah sekarang, tapi ini benar-benar untuk ayahku."
Agnes terdiam, mencoba menenangkan dirinya. Meski hatinya masih kesal, ia tahu bahwa Rery tidak main-main soal masalah ini. Setelah beberapa saat, ia menghela napas panjang.
Agnes menatap Rery dengan tajam, jelas masih kesal. "Rery, ini bukan soal aku rugi atau tidak! Aku cuma... aku merasa ini terlalu tiba-tiba."
Rery menggenggam setir lebih erat. "Karena aku tidak ingin membebanimu, Agnes. Aku tahu ini berat, tapi aku tidak punya tempat lain untuk meminta bantuan. Kau satu-satunya yang bisa aku percaya."
Agnes menghela napas panjang, matanya masih memandang tajam ke arah Rery. "Kau janji akan mengganti uang itu?" tanyanya, nadanya melembut sedikit.
"Aku janji, Agnes. Aku akan menggantinya, bahkan lebih. Aku tahu kau mungkin marah sekarang, tapi aku benar-benar butuh bantuanmu. Ini bukan untukku... ini untuk ayahku," jawab Rery dengan nada memohon.
Agnes terdiam, mencoba mencerna semuanya. Ada rasa kesal karena diminta sesuatu sebesar itu tanpa peringatan, tapi ia juga melihat kesungguhan dan keputusasaan di wajah Rery.
"Aku tidak tahu dari mana aku akan mendapatkan uang sebanyak itu, Rery," ucap Agnes akhirnya. "Tapi aku akan mencoba membantu. Aku akan mencari pinjaman. Tapi aku butuh kepastian darimu—jangan pernah berbohong padaku tentang hal ini."
Rery menoleh sekilas, matanya terlihat berkaca-kaca. "Terima kasih, Agnes. Kau tidak tahu betapa berharganya ini untukku. Aku tidak akan mengecewakanmu, aku janji."
Agnes mengangguk, meski di dalam hatinya masih ada keraguan. Tapi melihat keputusasaan Rery, ia merasa tidak tega untuk meninggalkannya begitu saja. "Baiklah, aku akan bantu. Tapi Rery, kau harus bertanggung jawab atas janji-janji ini."
Rery hanya bisa mengangguk, penuh rasa syukur, sementara Agnes mulai memikirkan cara untuk memenuhi permintaan yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya.
FLASHBACK OFF
Kembali ke kenyataan, Agnes menatap kosong ke ruang tamu yang sunyi. Kenangan itu masih terasa begitu nyata. Begitu kuat. Ketika dia menutup matanya, dia bisa merasakan api itu kembali membakar tubuhnya. Tapi dia tahu bahwa apa yang dia lakukan adalah dosa-dan itu akan selalu mengganggunya. Namun untuk saat ini, kenikmatan itu lebih terasa nyata daripada kenyataan yang menunggunya di luar sana.
Agnes menyandarkan kepala ke sandaran sofa, menutup matanya. Dia tahu, suatu saat semuanya pasti akan terbongkar. Tapi ia tidak perduli toh pernikahan yang mereka jalani seperti tidak berarti lagi.
" Aku harus mencari uang lagi, tapi di mana? Biaya pengobatan sangatlah mahal. Apa aku pinjam ke rentenir saja?"