Zen Vessalius adalah nama yang pernah menggema di seluruh penjuru dunia, seorang pahlawan legendaris yang menyelamatkan umat manusia dari kehancuran total. Namun, waktu telah berubah. Era manusia telah berakhir, dan peradaban kini dikuasai oleh makhluk-makhluk artifisial yang tak mengenal masa lalu.
Zen, satu-satunya manusia yang tersisa, kini disebut sebagai NULL—istilah penghinaan untuk sesuatu yang dianggap tidak relevan. Dia hanyalah bayangan dari kejayaan yang telah hilang, berjalan di dunia yang melupakan pengorbanannya.
Namun, ketika ancaman baru muncul, jauh lebih besar dari apa yang pernah dia hadapi sebelumnya, Zen harus kembali bangkit. Dengan tubuh yang menua dan semangat yang rapuh, Zen mencari makna dalam keberadaannya. Mampukah ia mengingatkan dunia akan pentingnya kemanusiaan? Atau akankah ia terjatuh, menjadi simbol dari masa lalu yang tak lagi diinginkan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Zen Vessalius, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 2 DUNIA YANG TAK KU KENAL
Zen terhanyut dalam kehampaan, dikelilingi kegelapan abadi yang membuatnya merasa kecil dan tak berarti. Namun, perlahan, sebuah cahaya mulai muncul dari kejauhan, samar namun semakin terang. Ia merasa ada sesuatu yang menarik dirinya, membawanya ke arah cahaya itu.
Ia mengulurkan tangannya, mencoba meraih cahaya tersebut, dan tiba-tiba, suara-suara mulai terdengar.
"Sepertinya dia dari ras terakhir yang punah... apa ya? Oh, iya... manusia!"
Kata-kata itu menggema di benaknya, membangkitkan sesuatu dalam dirinya. Mata Zen terbuka seketika, dan ia terbangun dengan napas terengah. Tubuhnya terasa berat, dingin, dan tidak familiar. Ia melihat sekeliling, namun yang tampak adalah ruangan besar dengan dinding-dinding bersinar biru, penuh dengan pahatan kristal yang aneh.
Di depannya, sekelompok makhluk berdiri terpana. Mereka tidak seperti manusia—kulit mereka bercahaya, rambut mereka berwarna perak yang berkilauan, dan mata mereka memancarkan sinar lembut seperti bulan. Beberapa dari mereka sedang memahat sebuah kristal besar berwarna biru cerah, yang tampaknya adalah tempat di mana Zen berada sebelumnya.
Salah satu dari mereka, yang tampak seperti pemimpin kelompok itu, melangkah maju, menatap Zen dengan campuran rasa ingin tahu dan kewaspadaan.
"Jadi... kau benar-benar hidup?" tanya makhluk itu dengan suara dalam dan tenang.
Zen mencoba berbicara, namun suaranya serak. "Siapa... kalian? Di mana aku?"
Makhluk itu tersenyum tipis. "Kami adalah kaum Lumoria. Dan kau, manusia terakhir yang tersisa di dunia ini."
Zen tertegun, pikirannya berputar-putar. "Manusia terakhir...? Apa maksudmu?"
Makhluk bernama Lumoria itu menjelaskan. Dunia yang Zen kenal telah berakhir ribuan tahun yang lalu, hancur akibat elemen misterius yang ia coba musnahkan. Saat elemen itu dihancurkan, dunia memasuki fase kehampaan, dan seluruh kehidupan manusia lenyap. Namun, entah bagaimana, tubuh Zen terperangkap dalam kristal biru yang diciptakan oleh energi sisa elemen tersebut, melindunginya dari kehancuran total.
"Kami menemukannya... kristal yang berisi dirimu, di reruntuhan dunia lama," lanjut Lumoria itu. "Awalnya, kami mengira itu hanya artefak kuno. Namun, ternyata kau hidup. Sebuah keajaiban."
Zen mencoba memproses apa yang baru saja ia dengar. Ribuan tahun? Dunia telah berubah sepenuhnya? Ia, manusia terakhir?
"Tidak mungkin... bagaimana mungkin semua ini terjadi?" Zen memegangi kepalanya, mencoba mengingat apa yang terjadi sebelum ia kehilangan kesadaran. Kemudian, perlahan, semuanya kembali padanya—elemen itu, Lyra, kehancuran... dan tebasannya.
“Aku menghancurkannya,” bisiknya pada dirinya sendiri. “Aku menghancurkan elemen itu... dan membawa kehancuran.”
Makhluk itu menatap Zen dengan serius. "Tidak sepenuhnya salahmu. Dunia lama telah runtuh karena dosa-dosanya sendiri. Kau hanya pemicu terakhir. Namun, dari kehancuran itu, dunia baru ini lahir. Dan sekarang, hanya kau yang tersisa dari ras manusia."
Zen merasa dadanya sesak. Sebagai seorang pahlawan, ia telah gagal menyelamatkan dunia. Namun, ia juga tahu bahwa ia tidak bisa tinggal diam.
"Jika dunia baru ini lahir," kata Zen akhirnya, "maka aku harus memastikan bahwa apa yang terjadi pada dunia lama tidak akan terulang kembali."
Pemimpin Lumoria itu mengangguk. "Kau mungkin satu-satunya yang bisa memahami kesalahan masa lalu dan mencegahnya di masa depan. Tetapi perjalananmu tidak akan mudah, manusia terakhir."
Zen berdiri, meskipun tubuhnya masih terasa lemah. Ia menggenggam cincin Lyra yang tergantung di lehernya. "Aku tidak peduli seberapa sulitnya. Jika ini adalah kesempatan kedua, aku akan memanfaatkannya untuk memperbaiki semuanya."
Para Lumoria saling bertukar pandang, sebelum pemimpinnya berbicara lagi. "Kalau begitu, mari kita mulai. Dunia baru ini... memerlukan pahlawan."
Zen duduk diam, menunggu proses pemahatan kristal biru yang menghalanginya keluar sepenuhnya. Setiap pahatan menghasilkan suara lembut namun menenangkan, hampir seperti alunan nada yang meresap ke dalam pikirannya. Selama proses itu, Lumoria yang bertanggung jawab menjelaskan lebih banyak tentang dunia yang kini ia singgahi.
"Dunia ini bukan lagi Bumi," ujar salah satu Lumoria dengan nada lembut namun penuh wibawa. "Kami menyebutnya Kaveri. Nama ini diberikan oleh ahli siasat dari ras pertama yang hidup di sini, sebagai simbol kebangkitan dunia baru dari kehancuran yang lalu."
Zen mendengarkan dengan penuh perhatian, meskipun pikirannya masih mencoba menerima kenyataan yang asing ini. Ia belajar bahwa Kaveri adalah dunia yang berisi lima ras utama, masing-masing dengan keunikan dan kekuatannya sendiri.
Ras Beast
Ras Beast dikenal karena kegarangan dan kekuatan tempurnya. Wujud mereka sering kali menyerupai hewan buas dengan tubuh yang kokoh dan cakar tajam. Mereka adalah pejuang yang luar biasa, dengan insting berburu yang tidak tertandingi. Wilayah mereka dipenuhi oleh pegunungan dan hutan lebat yang sulit dijangkau, menjadikan mereka ras yang tangguh dan sulit ditaklukkan.
Ras Firlinione
Firlinione adalah para pengrajin yang ulung. Mereka dikenal karena keahliannya dalam menciptakan sesuatu, dari senjata legendaris hingga artefak yang rumit. Mereka menghuni gua-gua besar yang dipenuhi kilauan kristal dan mineral, tempat mereka menemukan bahan-bahan untuk karya-karya mereka. Mereka sering dijuluki Sang Pengrajin oleh ras lain karena kemampuannya yang tiada tanding.
Ras High Druid
High Druid adalah penjaga hutan yang subur dan penuh kekuatan mana. Mereka memiliki wujud yang menawan, dengan kulit bercahaya dan mata seperti batu zamrud. Hutan tempat mereka tinggal selalu makmur di bawah perlindungan mereka. Kemampuan mereka dalam memanah dan mengendalikan alam membuat mereka menjadi ras yang dihormati.
Ras Lumoria
Lumoria, ras tempat Zen berada saat ini, dikenal sebagai ras dengan penguasaan mana yang luar biasa. Mereka memiliki kemampuan sihir yang mendalam, didukung oleh pengetahuan yang luas tentang dunia. Dalam dunia baru ini, mereka sering dijuluki sebagai Sang Penyihir. Mereka tinggal di kota-kota terapung yang memancarkan cahaya lembut, jauh di atas tanah.
Zen merasa kagum sekaligus bingung. Dunia ini begitu berbeda dari dunianya yang dulu. Para ras ini memiliki kekuatan dan kemampuan yang tidak pernah ia temui sebelumnya. Namun, ia juga merasa ada tantangan besar yang menanti.
"Apakah semua ras ini hidup dalam harmoni?" tanya Zen, suaranya terdengar skeptis.
Salah satu Lumoria menggelengkan kepalanya. "Harmoni adalah sesuatu yang sulit dicapai, bahkan di dunia baru ini. Ada perselisihan, perang kecil, dan konflik kepentingan. Namun, ancaman yang lebih besar sedang bangkit, sesuatu yang kami semua rasakan sejak elemen itu pecah. Kau akan mengerti seiring waktu."
Zen menghela napas. Rasanya beban yang ia tanggung semakin berat. Ia bukan hanya manusia terakhir, tapi juga harus menghadapi dunia yang masih belum ia pahami sepenuhnya. Namun, ia tahu satu hal—ia tidak akan menyerah.
"Jika ancaman itu nyata," katanya dengan suara tegas, "aku akan bertarung. Aku tidak akan membiarkan kehancuran terjadi lagi."
Salah satu Lumoria tersenyum tipis. "Kita akan lihat, manusia terakhir. Dunia ini memiliki banyak rahasia yang belum kau ketahui. Namun, satu hal yang pasti, keberadaanmu di sini adalah bagian dari takdir besar yang sedang terungkap."
Zen memejamkan matanya sejenak, merasakan cincin Lyra yang masih tergantung di lehernya. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, tetapi ia tahu satu hal: perjalanan barunya di Kaveri baru saja dimulai.
Ketika pemahatan pada kristal biru itu selesai, tubuh Zen akhirnya terbebas dari penjara dingin yang telah mengurungnya begitu lama. Para Lumoria yang berada di sekitarnya memutuskan untuk memberikan tempat tinggal sementara kepadanya. Mereka menyiapkan pakaian, makanan, dan ruang kecil yang nyaman untuk Zen beristirahat.
Zen merasa tidak enak menerima semua itu, tetapi Lumoria memperlakukannya dengan hormat yang luar biasa. Bahkan saat ia mencoba menolak dengan sopan, mereka hanya tersenyum lembut dan mengatakan, "Kau adalah tamu kami, satu-satunya yang tersisa dari rasmu. Kami tidak akan membiarkanmu kelaparan atau tanpa perlindungan."
Para Lumoria tampak begitu mirip dengan manusia, setidaknya dari penampilan luar. Wajah mereka memiliki garis-garis tegas namun lembut, dengan kulit yang sedikit bercahaya seperti bulan di malam hari. Postur tubuh mereka pun hampir sama dengan manusia biasa, meskipun aura yang mereka pancarkan terasa lebih tenang dan damai.
Namun, satu hal yang membuat Zen sedikit kewalahan adalah cara mereka berbicara. Percakapan para Lumoria berlangsung dengan cepat, seolah-olah mereka memadatkan informasi dalam waktu sesingkat mungkin. Zen sering harus berpikir dua kali untuk mencerna kata-kata mereka.
"Jangan khawatir," kata salah satu Lumoria dengan suara ringan. "Kau akan terbiasa dengan ritme kami. Mungkin perlu waktu, tapi kami akan memastikan kau merasa nyaman di sini."
Zen juga diberi tahu tentang pemimpin mereka, seorang Lumoria yang bijaksana bernama Eryon Velthar. Eryon dikenal sebagai pemimpin yang tegas namun penuh belas kasih, seorang penjaga harmoni di antara para Lumoria. Ia adalah orang pertama yang menyetujui pembebasan Zen dari kristal biru, meskipun ada keraguan dari sebagian kecil kaum mereka.
Selain itu, Zen juga mengenal dua Lumoria yang sebelumnya membantunya keluar dari kristal: Selvina Aelthor dan Kael Myrion. Selvina adalah seorang Lumoria perempuan dengan rambut perak yang jatuh hingga bahunya, seorang pengrajin kristal yang ahli. Sementara Kael adalah seorang pria dengan sorot mata tajam, sering kali bertugas sebagai pelindung dan pengawal bagi kelompoknya.
Selvina tampak lebih lembut dan penuh perhatian. Ia sering bertanya apakah Zen memerlukan sesuatu, dari makanan hingga tempat tidur yang lebih nyaman. Sedangkan Kael lebih pendiam, tetapi pandangannya selalu penuh waspada, seolah ia tidak pernah lengah terhadap apa pun.
Zen tidak bisa menahan rasa kagumnya. "Kalian semua... begitu baik," katanya pelan suatu malam, saat ia duduk di ruang kecil yang mereka sediakan untuknya. "Aku tidak tahu bagaimana harus membalas semua ini."
Selvina tersenyum hangat. "Kau tidak perlu memikirkan itu sekarang, Zen. Kami melakukan ini bukan untuk imbalan, tetapi karena kami percaya bahwa keberadaanmu di sini adalah tanda penting bagi dunia ini."
Mendengar itu, Zen hanya bisa terdiam. Hatinya dipenuhi rasa syukur, meskipun masih ada beban besar yang mengganjal pikirannya. Dunia baru ini masih menjadi misteri baginya, tetapi setidaknya ia tahu satu hal: ia tidak sendiri lagi. Ada orang-orang—atau mungkin lebih tepatnya, makhluk-makhluk—yang mau menerimanya dengan tangan terbuka.
Malam itu, untuk pertama kalinya dalam waktu yang tidak ia ketahui, Zen tertidur dengan perasaan sedikit lebih tenang. Di bawah cahaya lembut dari kota terapung Lumoria, ia merasakan secercah harapan baru mulai tumbuh dalam dirinya.
Bersambung!