NovelToon NovelToon
Reina: Become Trouble Maker

Reina: Become Trouble Maker

Status: sedang berlangsung
Genre:Spiritual / Reinkarnasi / Mengubah Takdir / Pembaca Pikiran
Popularitas:3k
Nilai: 5
Nama Author: Matatabi no Neko-chan

Setelah dituduh sebagai pemuja iblis, Carvina tewas dengan penuh dendam dan jiwanya terjebak di dunia iblis selama ratusan tahun. Setelah sekian lama, dia akhirnya terlahir kembali di dunia yang berbeda dengan dunia sebelumnya.

Dia merasuki tubuh seorang anak kecil yang ditindas keluarganya, namun berkat kemampuan barunya, dia bertemu dengan paman pemilik tubuh barunya dan mengangkatnya menjadi anak.
Mereka meninggalkan kota, memulai kehidupan baru yang penuh kekacauan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Matatabi no Neko-chan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 18

Leon berdiri di depan pintu, menatap Reina yang baru saja masuk ke rumah dengan pakaian kusut, rambut berantakan, dan luka kecil di sudut bibirnya. Matanya menyipit, senyum tipis dan dingin tersungging di wajahnya, menciptakan aura yang membuat udara terasa berat. Ia menyandarkan tubuhnya pada kusen pintu seraya melipat tangan di dada, menunggu Reina berbicara. Namun, ketika gadis itu memilih diam, Leon memutuskan untuk memulai serangan dengan suaranya yang rendah namun tajam, seperti bilah pisau yang siap menggores.

“Jadi, begini caramu pulang sekarang? Kusut, berantakan, penuh luka,” ucapnya, nada suaranya sarat dengan penghinaan yang dingin. Ia melangkah perlahan ke arahnya, pandangannya menyisir Reina dari atas ke bawah, menyampaikan ketidaksenangan yang tak berusaha disembunyikan. “Kau pikir aku akan merasa iba? Bahwa aku akan mengusap kepalamu dan mengatakan semuanya akan baik-baik saja?”

Leon mendekat lebih jauh, suaranya semakin pelan namun tetap berbahaya. “Oh, maaf, Reina. Aku bukan tipe pria yang memainkan drama murahan seperti itu.”

Reina, yang masih berdiri di ambang pintu, hanya memutar matanya malas. Tanpa berkata apa-apa, ia melangkah melewati Leon menuju ruang tamu, mengabaikan tatapan Arina dan Althea yang duduk di sofa dengan senyum mengejek. Gadis itu bahkan tidak berusaha menutupi kekesalannya.

“Ayolah, aku hanya sedikit bersenang-senang. Ayah tahu? Aku belum bisa menendang mereka dengan tepat sasaran,” ucap Reina santai sambil menghempaskan tubuhnya ke sofa. Dia mendongak menatap Leon yang masih berdiri di ambang pintu, tubuhnya menjulang seperti bayangan gelap yang mengintimidasi. “Apa kau tidak keberatan melatihku sekali lagi?”

Leon mengangkat satu alis, mulutnya membentuk garis tipis yang tidak menunjukkan tanda-tanda puas. “Melatihmu? Untuk apa? Agar kau lebih ahli mencari masalah?”

Reina menyeringai tipis. “Bukannya Ayah selalu bilang, aku harus tahu cara bertahan di dunia yang keras ini? Jadi, ini aku, mencoba.”

“Bertahan, ya?” Leon mendekat dengan langkah berat, tatapannya menusuk. “Kalau kau pikir menyeret namaku ke setiap keributan itu bertahan, kau salah besar.”

Di sudut ruangan, Althea memiringkan kepala dengan senyum manis yang jelas-jelas palsu. “Kak Reina, kau tidak apa-apa? Kenapa kau bisa seperti ini? Apa kau dipukuli?” tanyanya dengan nada pura-pura khawatir.

Reina mendelik padanya. “Oh, tidak usah repot, Althea. Kau terlihat lebih menikmatinya daripada khawatir.”

“Aku hanya peduli,” balas Althea dengan nada penuh kepalsuan. “Bagaimana kalau Ayah membantumu berhenti jadi magnet masalah?”

“Kalau dia magnet, kau debunya,” gumam Reina tajam, membuat Althea terdiam dengan mulut ternganga.

Leon menyandarkan tubuhnya ke dinding, mengamati keduanya dengan pandangan dingin. “Kalian berdua selesai?” katanya, suaranya begitu pelan tapi mengandung ancaman tersirat. “Karena kalau tidak, aku bisa menyelesaikan ini dengan cara yang jauh lebih cepat.”

Reina berdiri, menatap Leon dengan senyum masam. “Aku sudah selesai, Ayah. Tapi kalau Ayah mau melanjutkan ceramah, aku lebih baik mandi.” Ia berjalan ke arah tangga, meninggalkan Leon yang masih memandangnya dengan tatapan tak terbaca.

Di belakangnya, Leon menghela napas panjang, matanya tetap terarah pada tangga tempat Reina menghilang. “Anak ini benar-benar akan membuatku gila,” gumamnya pada dirinya sendiri, sebelum berjalan ke dapur, meninggalkan Althea yang masih terlihat kesal dengan ucapan Reina.

Seekor kupu-kupu merah darah hinggap di tangannya, membuat Reina tersenyum cerah meski sudut bibirnya masih memar akibat perkelahian sebelumnya. Ia menatap serangga itu sejenak sebelum perlahan meniupnya agar terbang pergi. Setelah mengobati luka-lukanya dengan seadanya, Reina mengambil senapan angin yang disandarkan di sudut kamarnya dan dengan semangat melangkah keluar.

Ketika kakinya menyentuh lantai ruang tamu, tiga pasang mata langsung tertuju padanya. Althea, yang duduk di sofa sambil memainkan ponselnya, menatap Reina dengan ekspresi malas. Arina, seperti biasa, menyipitkan matanya penuh kritik. Sementara Leon hanya melirik sekilas dari kursi tempat ia bersandar santai, segelas kopi di tangan.

Arina memutuskan memanfaatkan kesempatan itu untuk menyerang Reina, apalagi dengan senapan angin di tangannya yang bisa jadi bahan provokasi sempurna. “Hei, kau mau ke mana, anak haram? Ini sudah hampir malam, dan kau keluyuran nggak jelas seperti itu?” suara tajamnya memenuhi ruangan. Ia menoleh ke arah Althea, melontarkan senyum manis yang sama sekali tidak tulus. “Lihat Althea! Dia tidak seperti kau yang cuma jadi beban! Gadis seperti dia tahu cara bersikap sopan dan berguna.”

Reina berhenti sejenak di tangga, menatap Arina dengan pandangan datar yang membuat wanita itu semakin meradang. Namun, ia memilih mengabaikannya. “Ayah,” panggil Reina, memfokuskan dirinya pada Leon yang masih duduk dengan tenang, “aku pamit. Aku dengar ada landak yang berkeliaran dekat sini. Kau nggak mau, kan, kebunmu rusak karena hewan itu? Hitung-hitung, kita dapat daging tambahan tanpa harus beli.”

Leon menatap Reina dari balik gelasnya, mengangkat alis dengan ketertarikan. Namun sebelum dia sempat merespons, Arina memotong dengan nada mengejek. “Oh, jadi sekarang kau berburu? Apa kau pikir kau pahlawan karena menangkap seekor landak? Kalau aku jadi Leon, aku lebih bangga punya anak seperti Althea—setidaknya dia tahu cara tinggal di rumah tanpa membuat masalah.”

Reina tidak menanggapi. Sebaliknya, ia hanya menatap Leon dengan sabar, menunggu jawaban. Leon meletakkan gelasnya dengan suara pelan yang terasa berat dalam keheningan ruangan. “Kau benar-benar meremehkanku, ya, Reina? Memburu tanpa mengajakku? Kurang ajar kau,” geram Leon, matanya menyala penuh semangat.

Ia bangkit dari sofa, melirik Arina sekilas, lalu mengambil senapan angin lain yang tersimpan di dekat pintu. “Tunggu aku, dan jangan duluan!” perintahnya dengan nada tegas yang membuat Reina tersenyum kecil.

Althea memandang mereka dengan wajah bingung, sementara Arina tampak tersinggung karena Leon tidak sedikit pun menanggapi komentarnya. “Leon, kau mau membiarkan anak liar itu pergi? Dia itu—”

“Diam, Arina,” potong Leon dingin. “Aku lebih percaya Reina dengan senapan angin di tangannya daripada kau yang hanya tahu bicara tanpa hasil.”

Reina terkekeh pelan mendengar itu, lalu berjalan menuju pintu dengan langkah ringan. “Ayah, jangan lambat. Kalau aku sampai duluan, aku tidak akan berbagi hasil tangkapan.”

“Coba saja,” tantang Leon sambil menyambar jaketnya.

Keduanya keluar rumah, meninggalkan Althea yang cemberut dan Arina yang mendidih dalam kemarahannya. Suara langkah kaki mereka perlahan menghilang, bersamaan dengan kegelapan malam yang mulai merayap. Sementara itu, kupu-kupu merah darah yang hinggap di tangan Reina tadi terbang mengikuti mereka dari kejauhan, diam-diam memperhatikan setiap gerakan.

"Dor!"

"Brukh!"

“Yes! Aku dapat!” Seru Reina Leonora, seorang gadis cantik berusia lima belas tahun, sambil meniup ujung senapan anginnya dengan gaya penuh kemenangan. Matanya berbinar puas saat ia menatap hasil buruannya. Di sebelahnya, seorang pria dewasa bertubuh tegap dengan wajah tertutup masker hanya bisa mengangkat sebelah alis, seolah menilai berlebihan kebanggaannya.

Galaxy Leonardo, pria di balik masker itu, mendekati Reina dengan langkah tenang. Senyumnya tersembunyi di balik masker, namun sorot matanya tidak bisa menyembunyikan rasa bangga sekaligus ejekan halus. Ia menyerahkan senapan anginnya pada Reina, yang menerimanya dengan senyum lebar.

Setelah selamat dari kecelakaan besar lima tahun lalu, Leon dan Reina memutuskan untuk memulai hidup baru di desa kecil di pinggir kota G. Hidup sederhana menjadi pilihan mereka. Leon menjalani kesehariannya sebagai montir dan pemilik warung makan kaki lima, sementara Reina sibuk membantu mengelola pertanian mereka yang luasnya mencapai sepuluh hektare serta tambak ikan milik keluarga. Tetangga desa membantu pengelolaan lahan mereka, menjadikan kehidupan mereka lebih terorganisir dan harmonis.

Sementara itu, Alandro, kerabat mereka, memilih mendirikan klinik kesehatan dan kecantikan. Dengan ide dari Reina, ia memadukan pengobatan tradisional dan modern, menggunakan bahan-bahan herbal yang ditanam di lahan keluarga untuk meracik obat dan kosmetik.

“Brukh!”

“Hei, Ayah, kau bahkan tidak mendapatkan satu pun? Benar-benar payah!” ejek Reina dengan tawa kecil, menyipitkan matanya ke arah Leon yang berdiri di sebelahnya.

Leon memicingkan mata, lalu dengan santai menurunkan seekor rusa besar dari pundaknya. Rusa itu mati dengan satu tembakan yang tepat di kepalanya. "Jangan bangga dulu, Nak. Ini belum seberapa," ujarnya dengan nada sarkastis. Namun, sorot matanya menunjukkan rasa bangga yang sulit disembunyikan.

“Kau tidak lupa, kan, siapa yang mengajarimu hingga kau bisa sehebat ini, meskipun sempat menghancurkan senapan baru?” tambahnya, menatap Reina dengan tatapan tajam namun penuh arti.

Reina tersenyum kecil, pura-pura merendah. "Tentu saja tidak lupa. Ayah yang mengajarkanku dengan sabar. Jadi, ini semua berkat Ayah."

'Drap! Drap! Drap!'

Langkah kaki terdengar mendekat dari arah semak-semak. Beberapa pria dengan senapan di tangan muncul, wajah mereka menunjukkan kelelahan namun tetap bersemangat. Mereka adalah kelompok pemburu desa yang kebetulan berlatih membidik bersama Leon dan Reina hari itu.

"Sudah dapat hasilnya?" tanya salah satu pria dengan nada penasaran, sambil menatap Reina yang masih menggenggam senapan.

“Sudah, Paman.” Reina menjawab dengan senyum bangga, menunjuk rusa besar yang tergeletak di dekat kaki Leon.

“Akhirnya kita berhasil dapat seekor rusa besar!” seru salah satu pria dengan antusias.

Mereka segera membantu Leon dan Reina menggotong rusa itu. Di tengah perjalanan kembali ke desa, mereka sepakat membagi hasil tangkapan untuk semua peserta berburu. Suasana penuh tawa dan semangat, dengan Reina berjalan di depan, senapannya digenggam erat sambil menikmati pujian dari para pemburu.

Di dalam hati Leon, meski ia sering menyindir dan mengejek Reina, ada rasa bangga yang mendalam melihat anak itu tumbuh menjadi gadis yang tangguh dan cerdas. Ia tersenyum kecil di balik maskernya, membiarkan Reina menikmati saat-saat kebanggaannya.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!