Naura, seorang gadis desa, terjerat cinta pria kaya raya—Bimo Raharja, saat memulai pekerjaan pertama di kota.
Pada suatu hari, ia harus menahan luka karena janji palsu akan dinikahi secara resmi harus kandas di tengah jalan, padahal ke-dua belah pihak keluarga saling mengetahui mereka telah terikat secara pernikahan agama.
"Mas Bimo, tolong jangan seperti ini ...." Naura berbicara dengan tangis tertahan.
"Aku menceraikan kamu, Naura. Maaf, tapi aku telah jatuh cinta pada wanita lain."
Baru saja dinikahi secara agama, tapi tak lama berselang Naura ditinggalkan. Masalah semakin besar ketika orang tua Naura tahu jika Bimo menghamili wanita lainnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lintang Lia Taufik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11. Saat Bahagia
Setelah malam yang bimo dan Naura lewati bersama dengan bahagia. Gadis itu akhirnya, perlahan mulai bisa menerima keberadaan suaminya.
Badai kencang yang sempat menerpa mulai reda. Naura mulai mengabaikan siapapun yang diam-diam mengeririm pesan peringatan.
'Ah, mungkin mereka hanya iri saja padaku. Itu sebabnya mereka ingin membuat Mas Bimo terlihat buruk di mataku,' pikir Naura setiap kali mantan pacar suaminya selalu mengirimkan pesan.
Ya. Rina, seorang perempuan muda dan seksi yang pernah mengaku sebagai mantan tunangan Bimo memang kerap mengirimkan foto lama ketika masih bersama Bimo kepada Naura.
Entah maksudnya apa? Tapi yang jelas, perempuan itu sangat suka melihat Naura tersulut emosi akibat ubahnya.
Namun, berbeda dengan kali ini. Ia gagal menjalankan misinya. Merusak rumah tangga yang baru saja dirajut oleh Bimo dan Naura.
****
Keesokan harinya, Ayah Naura sudah diperbolehkan pulang, sehingga Naura dan Bimopun kembali pada rutinitas mereka.
Kala itu, Naura melangkah keluar dari butik mewah dengan tangan penuh kantong belanja berisi pakaian dan sepatu bermerek.
Matahari yang bersinar terik di atas kota seolah mendukung suasana hatinya yang sedang berbunga-bunga.
Untuk pertama kalinya dalam hidup, Naura merasa seperti seorang putri.
Bimo menggenggam tangannya erat, berjalan di sampingnya dengan senyum yang tak pernah surut dari wajahnya.
“Aku tidak tahu harus bilang apa lagi, Mas,” ujar Naura dengan mata berbinar.
“Kamu sudah terlalu baik padaku.”
Bimo berhenti sejenak, menoleh, dan membelai pipi Naura dengan lembut.
“Aku hanya ingin melihatmu bahagia, Naura. Kamu pantas mendapatkan semua ini. Apa pun yang membuatmu tersenyum, itu sudah cukup untukku.”
Kata-kata Bimo membuat dada Naura menghangat. Selama ini, ia selalu merasa bahwa kebahagiaan adalah sesuatu yang jauh dari jangkauannya.
Namun, kehadiran Bimo membuat semua itu berubah. Naura menatap pria di sampingnya dengan rasa syukur yang mendalam.
Mereka melanjutkan perjalanan menuju sebuah restoran bintang lima yang terkenal dengan masakan Prancisnya.
Naura merasa gugup saat pelayan membukakan pintu untuk mereka, memperlakukan mereka seperti bangsawan.
Namun, Bimo menenangkannya dengan senyuman dan tarikan lembut di tangannya.
“Mas, aku belum pernah ke tempat seperti ini,” bisik Naura sambil melirik meja-meja yang dihiasi dengan lilin dan bunga segar.
“Itulah kenapa aku membawamu ke sini. Aku ingin kamu merasakan hal-hal yang belum pernah kamu rasakan sebelumnya. Jangan khawatir, aku akan selalu di sampingmu.” Bimo tersenyum simpul.
Naura tersenyum, meski dalam hatinya masih ada sedikit rasa canggung.
Ia tahu dirinya tidak terbiasa dengan kemewahan seperti ini, tetapi Bimo selalu memastikan bahwa ia merasa nyaman.
Saat menu makanan dihidangkan, Naura merasa seperti berada di dunia lain.
Rasa masakan yang begitu lembut dan lezat membuatnya lupa sejenak akan segala masalah yang menumpuk di benaknya.
“Enak?” tanya Bimo dengan tatapan lembut.
“Ini luar biasa, Mas. Terima kasih.” Naura mengangguk cepat.
“Kamu tidak perlu berterima kasih. Aku akan melakukan apa saja untukmu, Naura. Kamu adalah bagian dari hidupku sekarang.” Bimo tersenyum puas.
Kata-kata itu menyentuh hati Naura.
Ia ingin percaya sepenuhnya pada Bimo, tetapi masih ada bayangan samar di benaknya—ketidakpastian yang selalu menghantuinya. Lelah, mungkin.
Setelah makan malam yang mewah, Bimo mengajak Naura berjalan-jalan di taman kota yang diterangi lampu-lampu kecil.
Udara malam terasa sejuk, dan suasana yang tenang membuat hati Naura terasa damai.
“Naura,” ujar Bimo tiba-tiba, menghentikan langkah mereka.
“Aku ingin kamu tahu satu hal.”
“Apa itu, Mas?” Naura menatapnya dengan penasaran.
“Aku tahu aku bukan pria yang sempurna. Aku tahu aku telah melakukan banyak kesalahan di masa lalu, tapi aku benar-benar ingin memperbaikinya. Bersamamu, aku merasa seperti orang yang lebih baik. Kamu membuatku ingin berubah.” Bimo menggenggam kedua tangan Naura dengan erat.
Kata-kata itu membuat hati Naura bergetar.
Ia ingin percaya pada Bimo, ingin menyerahkan sepenuhnya hatinya pada pria itu.
Namun, ada sesuatu di dalam dirinya yang masih ragu.
“Mas, aku...” Naura terdiam, tidak tahu harus berkata apa.
“Aku tidak meminta jawaban sekarang, Naura. Aku hanya ingin kamu tahu betapa berharganya kamu bagiku. Apa pun yang terjadi, aku akan selalu ada untukmu.” Bimo menatapnya dengan penuh harap.
Naura mengangguk pelan, menahan air matanya agar tidak jatuh.
Ia merasa begitu bahagia, tetapi kebahagiaan itu terasa seperti pedang bermata dua.
Di satu sisi, ia ingin menikmati setiap momen indah ini, tetapi di sisi lain, ia tidak bisa menghilangkan rasa takut bahwa semuanya bisa hancur dalam sekejap.
Malam itu, saat mereka kembali ke apartemen, Bimo memberikan sebuah kejutan lagi.
Di ruang tamu, ada sebuah kotak kecil yang dibungkus dengan kertas kado berwarna emas.
“Ini untukmu,” ujar Bimo dengan senyum lebar.
Naura membuka kotak itu dengan tangan gemetar.
Di dalamnya, ia menemukan sebuah kalung berlian yang begitu indah, membuat matanya membelalak.
“Mas, ini... terlalu mahal,” ujar Naura dengan suara bergetar.
“Tidak ada yang terlalu mahal untukmu, Naura. Kamu adalah bagian dari hidupku sekarang. Aku ingin kamu tahu betapa berharganya dirimu bagiku.” Bimo menggeleng saat berbicara.
Naura merasa dadanya sesak. Ia merasa begitu bahagia, tetapi di saat yang sama, ia tidak bisa mengabaikan perasaan aneh yang mengganjal di hatinya.
“Terima kasih, Mas,” ujar Naura akhirnya, meski suaranya terdengar lemah.
Bimo tersenyum dan memasangkan kalung itu di leher Naura.
“Kamu semakin cantik,” bisiknya.
Naura mencoba tersenyum, tetapi hatinya tidak bisa sepenuhnya tenang.
Di balik semua kebahagiaan yang ia rasakan, ada bayangan gelap yang terus menghantuinya.
Apakah ini semua nyata? Apakah Bimo benar-benar tulus? Atau ini hanya kebahagiaan sementara yang suatu saat akan hancur?
Malam itu, saat Naura berbaring di tempat tidurnya, ia tidak bisa memejamkan mata. Ia terus memikirkan semua yang telah terjadi.
Bimo begitu baik padanya, tetapi mengapa ia merasa seperti ada sesuatu yang salah?
Ia menatap kalung berlian yang kini tergeletak di meja kecil di samping tempat tidur.
Kilauan berlian itu memantulkan cahaya lampu, terlihat begitu indah, tetapi bagi Naura, benda itu terasa seperti beban.
Di luar kamar, ia mendengar suara langkah kaki Bimo yang menuju ruang tamu.
Naura merasa ingin mengikuti pria itu, tetapi ia ragu.
Ia tidak ingin mengganggu Bimo, tetapi rasa penasaran mengalahkan keraguannya.
Dengan hati-hati, Naura membuka pintu kamarnya dan mengintip ke ruang tamu.
Ia melihat Bimo sedang berbicara di telepon, wajahnya terlihat serius.
Naura tidak bisa mendengar dengan jelas apa yang dibicarakan Bimo, tetapi nada suaranya terdengar tegang.
“Tidak sekarang,” kata Bimo dengan suara pelan tetapi tegas.
“Aku akan mengurusnya nanti. Jangan hubungi aku lagi malam ini.”
Naura merasa ada sesuatu yang tidak beres. Ia kembali ke kamarnya dengan perasaan bingung.
Di satu sisi, ia ingin percaya pada Bimo, tetapi di sisi lain, ia merasa bahwa ada sesuatu yang disembunyikan pria itu darinya.
Malam itu, Naura hanya bisa terbaring di tempat tidurnya, memikirkan semua kebahagiaan yang telah ia rasakan bersama Bimo.
Namun, di balik semua itu, ada rasa takut yang terus menghantuinya.
(Bersambung)
si Naura pun bodoh juga Uda di ingatkan