Orang bilang punya istri dua itu enak, tapi tidak untuk Kelana Alsaki Bragha.
Istrinya ada dua tapi dia tetap perjaka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mega Biru, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 11
“Bening, tolong masuk sebentar. Kamu bantu suami saya buat check burungnya Kelana, ya? Soalnya Kelana nggak mau ngeliatin burungnya kalau bukan sama istrinya,” ucap Harum.
“Burung? Burung apa, Mbak?” tanya Bening.
“Burung suami kamu, Bening. Cepat masuk, Mbak dan Kiblat tunggu di sini.” Harum pun membawa Kiblat untuk duduk di kursi tunggu.
"Burung?" gumam Bening sangat pelan.
Mengernyit sambil membuka pintu, otak Bening sedang bercabang memikirkan Burung apa yang kakak iparnya maksud itu. Namun saat ia masuk ke ruangan, gadis itu pun terkejut mendapati Kelana yang sudah diikat kaki dan tangannya.
“Mas Dokter, Om Kelana mau diapain?” tanya Bening.
“Bening, keluar!” seru Kelana.
“Adik Bening ke sini sebentar,” titah Dokter Unggul.
Bening lebih memilih mengikuti instruksi dokter Unggul dengan mendekati ranjang pasien. Ke dua petugas nakes yang telah mengikat Kelana pun menutup tirai hijau dan menunggu di balik tirai.
“Ada apa, Mas Dokter?” tanya Bening.
“Burung suami Adik Bening harus saya periksa, tapi suami adik Bening malu bila saya yang periksa. Katanya, yang boleh melihat burungnya cuma istrinya saja. Untuk itu mohon kerja samanya,” jelas Dokter Unggul.
“Jangan kamu dengarkan ucapan Mas Unggul.” Kelana menoleh pada Dokter Unggul. “Mas, tangan Bening nggak boleh ternodai.”
“Maksud ternodai? Adik Bening istri kamu kan? Kita mulai saja agar cepat selesai.” Dokter Unggul memberikan sesuatu pada Bening. “Kamu pakai sarung tangan ya, Adik Bening.”
Bening masih bingung dengan apa yang sedang Dokter Unggul dan Kelana bicarakan. Gadis itu pun masih memikirkan burung apa yang sedang mereka maksud, namun Bening tetap mengikuti instruksi dengan memakai sarung tangan.
“Sudah?” tanya Dokter Unggul.
“Sudah, Mas Dokter,” sahut Bening.
"Bening, keluar," titah Kelana. "Mas, Bening nggak usah ikut-ikutan, biar Mas aja yang periksa," sambungnya pada Dokter Unggul.
"Sudah kepalang basah. Istri kamu juga harus tau dan lihat sendiri tentang penyakit kamu."
Kelana melemaskan tubuh karena sudah tak bisa memberontak lagi. Ia pun seolah sudah pasrah dengan apa pun yang akan terjadi.
“Sekarang Adik Bening buka resleting celana suami adik Bening,” titah Dokter Unggul.
“Oh, maksudnya burung ini?” Bening menunjuk resleting celana Kelana dan baru paham.
“Betul.”
“Bening, kalau kamu nggak mau, nggak usah. Kamu bisa keluar sekarang,” titah Kelana.
“Adik Bening, tolong bantu saya, ya? Ini demi kebaikan kamu dan suami kamu juga. Saya harus tau ada penyakit apa di dalam sana. Kamu juga harus tau kondisi suami kamu,” ujar Dokter Unggul.
“Baik, Mas,” jawab Bening.
“Mulai,” titah Dokter Unggul.
Bening mengikuti instruksi Dokter Unggul lagi meskipun masih bingung dengan tujuan kebaikan apa yang dimaksud, namun jantung Bening refleks berguncang saat melihat sempak berwarna hitam.
GLEK!
Tanpa sadar Bening menelan ludahnya. Meskipun ia masih polos soal rumah tangga, tapi Bening sudah tahu benda yang akan ia buka itu anggota tubuh penting milik pria.
“Ini nggak papa aku buka, om?” tanya Bening.
“Tanya aja sama Mas Dokter kamu. Bukannya kamu lebih nurut sama Mas Dokter?” Kelana mempertegas kalimat ‘Mas Dokter’.
‘Pada pria lain manggilnya 'Mas', giliran sama suami sendiri panggil ‘Om’. Memangnya aku kayak om-om?’ batin Kelana.
“Buka,” titah Dokter Unggul.
Bening pun mengikuti instruksi Dokter Unggul lagi, hingga berhasil menarik sempak Kelana.
“Hah,” ucap Bening tanpa sadar. Gadis itu berhasil melihat milik Kelana yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.
“Kenapa? Kaget?" tanya Kelana.
"Ho'oh," sahut Bening yang terperangah.
"Tolong agak cepetan. Biar Mas Unggul dan Mbak Harum puas dengan hasilnya,” kesal Kelana.
“A-aku boleh liat ginian, om?” tanya Bening yang mulai gugup.
“Terserah.”
“Oke, good. Sekarang keluarkan,” titah Dokter Unggul.
“Ininya dikeluarin, Mas Dokter?” tanya Bening sambil menunjuk.
“Betul.”
Akhirnya Bening mengikutiku instruksi lagi. Tangannya mulai gemetar, keringan kecil pun mulai muncul di hidungnya. Namun ia harus mengikuti instruksi dokter Unggul untuk mengeluarkannya.
“Good.” Dokter Unggul memuji Bening yang sudah mengeluarkan milik Kelana.
“Lo lo lo lo! Om, Mas Dokter, kok ininya jadi keras?” Bening terkejut sambil menunjuk.
“Ini yang namanya berdiri, Bening. Bukan tidur sambil berdiri,” sahut Kelana.
"Ini namanya ereksi, semua pria normal memang akan berereksi jika miliknya di sentuh wanita," jelas Dokter Unggul.
Jantung Bening berdetak lebih kuat dari sebelumnya. Ia pun tak menyangka akan melihat milik Kelana.
“Sekarang gulir ke kiri,” titah Dokter Unggul.
“Begini?” Bening mengikuti instruksi.
“Good.” Dokter Unggul mulai menggunakan cahaya dari senter kecilnya untuk menilik lebih dekat.
“Oke, gulir kanan,” titah Dokter Unggul lagi.
“Begini?”
“Good.” Dokter Unggul menilik lebih jelas lagi.
“Sekarang, angkat ke atas,” instruksi Dokter Unggul lagi.
“Begini?” Bening mematuhi.
"Astagaaaaa ...," gumam Kelana sangat pelan.
“Good.” Dokter Unggul menilik lebih teliti. “Sekarang lihat telurnya.”
Tangan Bening tak bergerak karena tak mengerti instruksi itu. “Telur apa, Mas Dokter?”
“Ini namanya telur.” Dokter Unggul menunjuk.
“Oh ini?” Bening ikut menunjuk.
“Betul, angkat,” titahnya.
“Begini?” Bening mengangkat telur dinosaurus itu dengan mencubit.
“Gila,” umpat Kelana.
“Good.” Dokter Unggul pun menilik telur Kelana untuk memeriksanya, di tengah Kelana yang sudah frustrasi karena menjadi bahan penelitian.
“Oke, good. Tutup lagi,” titah Dokter Unggul, Bening pun mengikuti instruksi lagi.
“Finish.”
Ucapan Dokter Unggul itu membuat ke dua nakes membuka tirai, lantas membuka tali yang mengikat lengan dan kaki Kelana.
Kelana bangkit dengan mimik frustrasi.
“Belum diseletingin, om.”
“Biar saya saja.” Kelana menarik resletingnya sebelum Bening menyentuhnya.
“Sudah selesai?” Harum masuk ke ruangan itu setelah dua nakes keluar.
“Sudah,” sahut Dokter Unggul.
“Gimana hasilnya?” tanya Harum.
“Bersih, tidak ada jengger ayam atau apa pun,” sahut Dokter Unggul.
“Aku bilang juga apa. Sekarang kalian percaya kan kalau aku nggak pernah sentuh Dara?” tanya Kelana.
“Oke, Mbak percaya. Tapi Mbak harus ingatkan kamu untuk jangan sentuh Dara kalau nggak mau ketularan.”
“Nggak perlu diingatkan.”
“Tolong bawa Dara berobat ke rumah sakit. Istrimu harus dapat penanganan biar jengger ayamnya sembuh,” titah Harum.
“Mbak aja yang nyuruh, aku sudah nggak peduli.”
“Kelanaaaa ...."
“Intinya sekarang Mbak udah tau aku bersih. Itu artinya memang Dara yang selingkuh.”
**
**
**
Kelana melemparkan jas pengantinnya ke atas kasur, lantas duduk di tepi ranjang sambil melinting lengan kemeja. Ia kesal pada kakaknya yang memaksanya melakukan hal di luar nayla, tapi agak lega karena bisa membuktikan tak punya penyakit yang sama dengan Kadara.
BRUK!
Bening ikut-ikutan Kelana melemparkan tas sekolah ke atas kasur, lantas duduk di samping Kelana sambil membuka kaos kaki. Gadis itu pun memasang ekspresi gusar, sama seperti Kelana.
“Ngapain kamu?” tanya Kelana.
“Lagi mengasah akting, berperan kayak yang om lakukan barusan.” Bening pun mengikuti gaya duduk Kelana yang sangat pria.
“Jadi kamu seriusan ingin jadi artis?” tanya Kelana.
“Ya seriusan lah, om. Masa cita-cita dibuat bercanda.”
“Bakat kamu apa? Cuma akting? Apa bisa nyanyi juga?”
“Saya bisa nyanyi juga kok, om. Mau tes?” Bening antusias sampai menormalkan posisi duduknya.
“Oke, saya mau dengar.” Kelana memiringkan duduknya untuk menatap Bening lebih dekat.
“Ekhem! Tes-tes.” Bening mengusap tenggorokannya.
“Tek kotek kotek kotek! Anak ayam turun berkotek! Tek kotek kotek kotek, anak ayam turun berkotet!”
Kelana refleks menutup telinga karena suara Bening sangat cempreng. “Kamu nggak punya bakat nyanyi, cukup.”
“Aku punya bakat, om. Dengerin aku mau nyanyi yang lain.” Bening menarik lengan Kelana agar tak menutupi telinga. “Ada kodok rekotok rekotok, di pinggir kali rekotok rekotok, mencari makan, rekotok rekotok, setiap hari ... Ada semut ngek ngoek, ngek ngoek!”
“Cukup, Bening.” Kelana membungkam bibir Bening menggunakan telapak tangan. “Suara kamu terlalu bagus. Kamu fokus di akting saja.”
“Om miawu biancu akyu?” Bening bertanya dalam bibir yang masih di bungkam.
“Hah?”
Bening menarik tangan Kelana dari bibirnya. “Om mau bantu aku?”
“Saya akan bantu kamu sampai sukses jadi artis. Itu sebagai ucapan terima kasih saya karena kamu sudah mau bantu saya. Maafkan saya juga karena sudah buat kamu masuk ke dalam masalah saya. Harusnya kamu nggak memainkan peran sampai sejauh ini. Tapi kakak saya malah memaksa kamu menyentuh hal yang nggak seharusnya kamu sentuh,” ungkap Kelana sangat serius.
“Maksud om, sentuh burung om?”
Kelana memicing karena Bening sangat frontal dan to the point, padahal ia sudah berbicara sehalus mungkin.
“Ya, maafkan saya.”
“Nggak papa kok, om. Om nggak usah minta maaf, lagian saya nggak ngerasa dirugiin. Itu pengalaman baru buat saya. Megang burung om rasanya kayak lagi megang slime.”