Cerita ini menggabungkan komedi, horor dan bahkan intense romance di dalam penceritaannya. Mengenai seorang laki-laki bernama Dihyan Danumaya yang selalu merasa bahwa dirinya tidak beruntung, bahkan pecundang. Keadaan keluarganya yang sebenarnya biasa saja dirasa harusnya lebih baik dari seharusnya. Tampang ayahnya yang bule, dan ibunya yang campuran Jawa klasik serta Timur Tengah, seharusnya membuat dia menjadi sosok tampan yang populer dan banyak digemari wanita, bukannya terpuruk di dalam kejombloan yang ngenes. Sampai suatu saat, ia menemukan sebuah jimat di rumah tua peninggalan kakeknya yang berbentuk keris Semar Mesem tetapi beraksara Cina bukannya Arab atau Jawa. Tanpa disangka, dengan pusaka ini, Dihyan memiliki kemampuan masuk ke dalam mimpi perempuan manapun yang ia inginkan secara gaib serta mengatur jalan cerita sekehendak hati. Ia menjadi seorang penguasa mimpi yang menggunakan kekuatannya demi segala hasrat yang terpendam selama ini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nikodemus Yudho Sulistyo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Martha Ng Lian Fang
Katarina Cheng Jing terlihat begitu cantik. Tidak ada yang bisa dan berani meragukannya. Sayang, tubuh perempuan itu kurus kering, seakan beban dunia berada di pundaknya. Sang suami, yang berdiri di sampingnya juga tidak kalah tampan sebenarnya. Namanya Ng Sjak Tshin, biasa dipanggil Ashin. Namun, lagi-lagi, Ashin menunjukkan penampilan yang memprihatinkan. Selain kurus, bahunya jatuh, seperti tidak memiliki kekuatan untuk membantu sang istri menganggung beban dunia.
Centhini jelas dapat melihat tampilan wajahnya di kedua orang tuanya tersebut melalui satu foto besar yang digantung di dinding ruang tamu.
“Mereka sudah wafat lama sekali, Moi,” ujar martha Ng Lian Fang. Wanita Tionghoa itu berusia dua puluhan tahun. Ia adalah kakak kandung Centhini, tepat anak ke-11 dari pasangan Ng Sjak Tshin dan Katarina Cheng Jing.
“Nyi Chiong ki Ama,” lanjut sang kakak yang mengatakan bahwa Centhini mirip sekali dengan mendiang ibunya.
Centhini tersenyum. Matanya berkaca-kaca.
“Di Singkawang, semua yang tinggal disini adalah anak perempuan. Ada Cecemu semua disini. Sedangkan Koko kita semua sudah merantau. Ada pula yang sudah meninggal. Di Singkawang nyi cuma bisa ketemu dengan Ling Ling Ce, Ying Ying Ce, Hwa Ce, Xiu Ce dan ngai. Nyi boleh panggil ngai dengan Fang Ce, atau seperti orang lain, Tha Ce, dari Martha.”
“Jadi, saya anak ke-12 ya, Ce?” tanya Centhini.
Martha mengangguk dan tersenyum. Ada garis-garis wajah yang mirip dengan Centhini di raut muka Martha, yang juga minta dipanggil Fang Ce atau Tha Ce tersebut.
Keluarga Benjamin tadi sempat bertemu dengan nenek Santy yang dahulu kenal baik dengan Benjamin serta keluarga Katarina. Malahan, sang nenek, yang berasal dari keluarga Tionghoa kaya di wilayah itu, mempekerjakan Katarina di toko bahan bangunan miliknya dan mendiang suaminya dahulu. Nenek Santy yang menjadi saksi ketika Benjamin bolak-balik ke Monterado, mengurus perkara adopsi, sebelum akhirnya datang bersama Maryam sang istri.
Benjamin, Maryam, Centhini dan Dihyan berjalan kaki melewati jalan setapak perbukitan, yang menurut Benjamin sudah sedikit lebih baik dibanding belasan tahun yang lalu.
“Hah? Kayak gini lebih baik?” protes Dihyan tadi ketika menyusuri jalan tanah berbatu tersebut.
“Ya, kan Bapak bilang sedikit. Zaman dulu sudah pasti lebih parah ya, Pak?” ujar Centhini.
Sekitar 15 menit, mereka sampai pula di sebuah rumah yang berdiri sendiri di atas bukit. Rumah itu terbuat dari kayu dengan cat warna merah dan kuning yang telah luntur dimakan waktu. Mungkin karena berdiri sendiri – tetangga berada beberapa meter di bawah bukit, atau naik lagi di atasnya – masih tersisa lahan baik di depan maupun di belakang rumah itu yang cukup luas. Di pekarangan depan, ada sebuah altar pujaan yang kecil. Terlihat hio baru masih mengepulkan asap.
Di dalam rumah itu, mereka bertemu dengan satu keluarga: Martha, suaminya dan satu anak laki-laki berusia belasan tahun.
Martha tak sanggup menahan tangis haru ketika melihat kedatangan Benjamin dan Maryam. Gadis Tionghoa cantik yang datang bersama mereka sudah pasti adalah adik kandungnya yang diadopsi bertahun-tahun yang lalu. Martha tak henti-hentinya memeluk dan menciumi adiknya itu dengan segenap rasa yang tumpah ruah.
“Jangan salah sangka, Moi. Apa dan Ama sudah sepakat untuk memberikan tanggung jawab kepada Apo Ben dan Aji Maryam untuk membesarkan nyi. Setelah itu, secara khusus mereka berpesan agar Apo Ben tak perlu repot-repot lagi datang kemari, kecuali nanti setelah Ama dan Apa wafat. Sumpah itu dipaksa untuk diucapkan Apo Ben. Ngai dan cece-cece nyi sebagai saksinya. Walaupun saat itu ngai juga masih kecil, tapi ngai masih ingat dengan jelas ketika Ama minta Apo Ben mengucapkan sumpah itu,” ujar Martha.
“Memangnya kenapa Ama sampai meminta Bapak, ehm … Apo Ben, untuk mengucapkan sumpah seperti itu?”
Martha menghela nafas panjang. “Kita miskin sekali waktu itu, Moi. Ama sepertinya malu harus memberikan nyi ke Apo Ben. Mungkin Ama tidak mau dianggap telah menelantarkan anak terakhirnya. Bukan berarti dia tidak cinta dan sayang dengan nyi, Cuma ya itu, Ama menghukum diri sendiri dengan memutuskan untuk tidak menemui nyi.” Martha kembali terisak.
Benjamin dan Maryam sudah membesarkan Centhini dengan baik. Bahkan sampai sedewasa ini pun, tidak ada rasa kecewa, marah, apalagi benci dengan orang tua kandung yang telah ‘melepaskannya’ tersebut. Centhini malah sudah mampu mewajari apapun yang menjadi alasan mereka. Namun, hal yang disayangkan adalah bahwa ia tidak bisa bertemu langsung dengan kedua orang tuanya tersebut.
Rumah keluarga kandungnya itu sebenarnya cukup besar. Ada tiga kamar tidur, satu ruang tamu, dapur, dan kamar mandi serta toilet yang letaknya terpisah dari rumah: di pekarangan belakang. Semuanya terbuat dari kayu.
Namun, mengingat Katarina dan Ashin memiliki sebelas orang anak yang kesemuanya dahulu tinggal satu atap, Centhini tak bisa membayangkan keadaannya waktu itu.
“Apa meninggal terlebih dahulu karena sakit bronkitis, kira-kira setahun setelah nyi dibawa Apo Benjamin. Kehidupan kami menjadi semakin berat, meskipun Ama bilang kalau Apa memang sengaja pergi terlebih dahulu karena ingin memudahkan kehidupan kami. Tapi, ya mau bagaimana lagi, anak-anak Ama dan Apa terpaksa harus bekerja semua untuk memenuhi kebutuhan keluarga maupun masing-masing,” ujar Martha.
Centhini tidak mampu menahan air mata yang kemudian tumpah.
Martha memeluknya. “Tenang, nyi tak usah terlalu sedih, tetap ada cerita indah di keluarga kita. Rupa-rupanya anak-anak Apa dan Ama giat bekerja. Heng datang dengan cepat.”
“Heng? Apa itu, Ce?” tanya Centhini bingung.
“Ah, maksud ngai keberuntungan. Koko pertama dan kedua mendapatkan pekerjaan di Bangka Belitung. Keduanya meninggal disana. Tapi anak-anaknya sering ke Monterado pas pai chia, eh, Imlek maksudnya. Cece ketiga menikah dengan orang Taiwan. Cece keempat menikah dengan guru asal Hong Kong. Kedua cece kita ikut ke Taiwan dan Hong Kong. Koko kelima bekerja di Kapuas Hulu, di Putussibau, bos karet dia. Bulan depan katanya mau ke Singkawang. Cece keenam sudah wafat juga. Sakit keras beberapa tahun yang lalu dan belum sempat menikah. Sisanya ada cece Ng Mei Ling yang bekerja di Singkawang, punya bengkel motor dengan suaminya. Ada Cece Ng Xiu Ying yang meneruskan bubur babi Ama. Ada cece Ng Jing Hwa, sudah berganti nama jadi Bernadetha Ng. cece nyi itu jadi biarawati di gereja Katolik Fransiskus Asisi Singkawang. Setelah bertahun-tahun bersekolah di Seminari Driyarkara Jakarta, cecemu mendapatkan tugas menjadi suster Katolik di Singkawang. Lalu, cece terakhir, Ng Ying Xiu yang nama nasionalnya Juninda Ngamini itu rumahnya di atas sana. Tidak bekerja, mengurus rumah dan keluarga. Suaminya punya lahan untuk ladang pepaya dan pisang di bukit atas sana lagi. Sedangkan ngai mendapatkan tugas dari mendiang Ama untuk menunggu nyi datang ke rumah ini. Ngai sendiri sudah punya rumah di Singkawang bersama suami ngai,” ujar Martha sembari menunjuk ke arah suami dan anak laki-lakinya yang tersenyum. “Mungkin memang sudah jodoh. Kebetulan dari kemarin ngai dan keluarga menginap di rumah ini, beres-beres seperti biasa. Ternyata Apo Ben datang bersama keluarga dan nyi.”
Informasi yang diutarakan Martha langsung tumpah ruah. Centhini tidak dapat membayangkan betapa panjang sejarah keluarganya tersebut. Namun, satu pertanyaan menggantung di kepalanya. “Cece mendapat tugas dari Ama untuk menunggu saya datang kemari? Tugas apa itu, Ce?” tanya Centhini penasaran.
klo yg ketemu di mimpi Dihyan Stefanie Indri, mungkinn wae sih, terakhir ketemu juga Dihyan mimpi yg di ksh nomer hp itu
klo dibandingkan sama Dihyan, Ashin banyak beruntungnya. Ashin mah langsung praktek lahh Asuk Dihyan mah kan cuma di mimpi 😂
next