Calon suaminya direbut oleh sang kakak kandung. Ayahnya berselingkuh hingga menyebabkan ibunya lumpuh. Kejadian menyakitkan itu membuat Zara tidak lagi percaya pada cinta. Semua pria adalah brengsek di mata gadis itu.
Zara bertekad tidak ingin menjalin hubungan dengan pria mana pun, tetapi sang oma malah meminta gadis itu untuk menikah dengan dosen killernya di kampus.
Awalnya, Zara berpikir cinta tak akan hadir dalam rumah tangga tersebut. Ia seakan membuat pembatas antara dirinya dan sang suami yang mencintainya, bahkan sejak ia remaja. Namun, ketika Alif pergi jauh, barulah Zara sadar bahwa dia tidak sanggup hidup tanpa cinta pria itu.
Akan tetapi, cinta yang baru mekar tersebut kembali dihempas oleh bayang-bayang ketakutan. Ya, ketakutan akan sebuah pengkhianatan ketika sang kakak kembali hadir di tengah rumah tangganya.
Di antara cinta dan trauma, kesetiaan dan perselingkuhan, Zara berjuang untuk bahagia. Bisakah ia menemui akhir cerita seperti harapannya itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon UQies, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
EPISODE #6
Kala kamar yang biasa menjadi tempat beristirahat seketika menjadi kamar pengantin baru. Rasanya begitu asing, bahkan untuk masuk pun Zara merasa sangat canggung. Tak hanya itu, ia juga takut dan khawatir jika kebencian kembali menguasai dirinya.
Sudah beberapa jam berlalu usai pernikahan itu terjadi dan hingga saat ini Zara masih enggan untuk masuk kamar. Ya, apa lagi alasannya kalau bukan karena Alif? Pria itu sudah masuk ke kamar Zara lebih dulu dan sampai saat ini batang hidungnya belum menunjukkan tanda-tanda akan keluar. Padahal sejak tadi ia ingin beristirahat, tetapi tidak ada tempat berbaring lain. Alhasil, ia hanya bisa duduk seharian sambil memikirkan apa yang baru saja terjadi pagi tadi.
"Kok, Pak Alif bisa tahu, sih, kalau julukannya SBK?" batin gadis itu dengan dahi berkerut mengingat perkataan sang suami pagi itu. Wajah datar tanpa ekspresi pria itu benar-benar membuat Zara bingung apakah dia marah atau tidak.
"Zara, kamu nggak tidur? Ini udah malam, loh!" ujar Oma Ratna yang mendapati sang cucu masih duduk di depan kamarnya sendiri.
"Iya, Oma, ini sebentar lagi, kok," balas Zara tersenyum tipis.
Oma Ratna menatap sang cucu sambil ikut tersenyum, lalu menghampirinya. "Oma tahu kamu canggung dan takut masuk ke kamarmu. Tenanglah, Alif tidak akan memaksamu melakukan apa yang masih kamu takutkan, jadi masuklah dan beristirahat. Besok kamu harus pindah ke rumah suamimu," ujar wanita paruh baya itu.
"Oh, iya, tolong jangan bersikap judes kepada suamimu sebagaimana kamu judes dengan pria lain yang dulu ingin mendekatimu. Bagaimana pun dia adalah imammu, hormati dia," lanjut Oma Ratna mengingatkan.
Zara mengangguk pelan, lalu berjalan ke depan kamar. Jantungnya berdegup kencang, tangannya pun terasa sangat dingin. Hanya ingin masuk kamarnya saja ia begitu gugup. Apalagi ketika tahu bahwa pria yang ada di dalam kamarnya saat ini adalah pria yang juga merupakan dosennya di kampus. Ingin bersikap cuek, tetapi juga merasa segan.
Pintu akhirnya berhasil terbuka dengan begitu hati-hati agar tak menimbulkan suara. Zara perlahan masuk dan mendapati Alif duduk di atas tempat tidur sambil bekerja menggunakan laptop.
"Akhirnya kamu masuk juga," ujar pria itu singkat dengan wajah datar, lalu kembali berkutat dengan pekerjaannya.
Zara tak menjawab, dia hanya diam berdiri di depan pintu tanpa tahu mau melakukan apa.
"Kenapa hanya diam di situ? Kamu tidak ingin tidur?" tanya pria itu dengan wajah serius.
"Ma-mau tidur ini, Pak," jawab Zara tergagap. Ia berjalan menuju tempat tidur dan duduk di ujungnya dengan hati-hati. Kamarnya yang tidak luas membuat Zara tak memiliki pilihan lain.
"Besok pendaftaran KKP akan dibuka, kamu bisa langsung mendaftarkan diri." Alif menutup laptop, lalu meletakkannya di atas meja belajar Zara.
"Tapi, Pak. Bukannya besok saya harus pindah ke rumah Bapak?"
"Ya, memangnya kenapa? Apa kamu tidak bisa melakukan keduanya sekaligus dalam satu hari?" tanya Alif dengan alis mengernyit.
"Bi-bisa, Pak."
"Ya, sudah, tidak ada masalah kalau begitu." Alif kemudian membaringkan tubuhnya dan langsung terlelap, sementara Zara masih terdiam dengan wajah tak bersemangat menyambut kehidupan barunya yang akan dimulai besok.
.
.
Matahari telah terbit dari kaki langit dan menjadi awal hari baru bagi setiap makhluk di muka bumi. Cuaca yang mendung pagi itu seolah mewakili hati Zara yang tengah bersedih karena harus berpisah dengan nenek dan ibunya.
Alif telah mengajak kedua wanita itu untuk tinggal bersama di rumahnya. Namun, Oma Ratna menolak dengan alasan tak ingin mengganggu pengantin baru. Jadi, kini hanya mereka berdua yang berada di dalam mobil.
Sepanjang perjalanan, tak ada pembicaraan di antara keduanya. Zara hanya sibuk memandangi jalanan dari jendela. Sesekali ia mengeluarkan tangannya untuk menyentuh air hujan yang terasa cukup dingin, hingga tanpa sadar mobil yang dikemudikan oleh sang suami berhenti.
"Pergilah ke kempus dan daftar KKP!" ujar Alif.
Bukannya langsung turun, Zara malah melihat ke sana- ke mari seperti orang kebingungan. "Daftarnya di mana, Pak? Ini, 'kan, bukan kampus?"
"Lah, bukannya kamu sendiri yang bilang kalau hubungan kita ini jangan sampai tercium sama kampus? Jadi, begini saja, kamu turun di sini agar tak ada yang melihat kalau kamu turun dari mobil saya."
"Tapi ini kejauhan, Pak!"
"Ya ... mau gimana lagi? Inilah jarak paling aman," jawab Alif sambil melihat ponselnya. "Cepat, yah! Saya menunggu kamu di sini," lanjut pria itu tanpa menoleh ke arah Zara.
"Iya, baiklah." Dengan berat hati, Zara akhirnya turun dari mobil dengan mulut yang mulai komat-kamit menggerutu.
"Ck, kalau tahu gini, mending naik angkot, paling tidak aku diturunkan dekat kampus. Lah, ini, ck, dasar si Bujang Killer! Eh, tapi dia bukan bujang lagi ternyata." Baru saja selesai mengumpat, suara klakson motor terdengar di belakangnya.
"Jalan aja, Neng? Sini tak boncengin, mau ke kampus, 'kan?" ujar pria di atas motor besar di belakangnya.
Zara menoleh, dengan tak bersemangat karena ia mengenal suara itu. "Eh, Kak Naufal. Nggak papa, Kak, aku jalan kaki aja, sudah dekat ini," jawab Zara, lalu kembali meneruskan langkah kakinya.
"Yakin, nih? Nggak mau aku boncengin?" Naufal menjalankan motornya dengan sangat pelan sehingga lajunya setara dengan langkah kaki Zara.
"Tidak papa, Kak. Sekalian olahraga."
"Ish, ayolah, nanti ...."
Tiiin tiiiin
"Bisa minggir tidak dari jalan! Saya mau lewat!" teriak seorang pria dari dalam mobil.
"Ck, siapa, sih? Jalanan, 'kan lebar, cari gara-gara emang!" ucap Naufal jengkel, lalu berbalik. "Eh, itu, 'kan ...."
.
.
#bersambung#