Kisah ini menceritakan hubungan rumit antara Naya Amira, komikus berbakat yang independen, dan Dante Evander, pemilik studio desain terkenal yang perfeksionis dan dingin. Mereka bertemu dalam situasi tegang terkait gugatan hak cipta yang memaksa mereka bekerja sama. Meski sangat berbeda, baik dalam pandangan hidup maupun pekerjaan, ketegangan di antara mereka perlahan berubah menjadi saling pengertian. Seiring waktu, mereka mulai menghargai keunikan satu sama lain dan menemukan kenyamanan di tengah konflik, hingga akhirnya cinta tak terduga tumbuh di antara mereka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Darl+ing, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pekerjaan yang terabaikan
Pagi itu, sinar matahari yang menembus tirai tipis kamar hotel membuat ruangan terasa lebih hangat. Widuri menggeliat malas di tempat tidurnya, merasakan pusing yang masih menggantung di kepala. Dengan pandangan setengah kabur, dia memerhatikan sekeliling kamar, lalu mengacak-acak rambutnya dengan frustasi.
"Nay, kenapa kita bisa di sini?" tanyanya dengan suara serak dan bingung.
Naya yang masih terbaring di ranjang sebelah, memeluk bantal dan menutupi wajahnya dengan selimut. Dia mendesah dalam-dalam. "Aduh, Wid, aku masih ngantuk. Kepalaku berat banget..."
Widuri duduk di tempat tidurnya dan menatap Naya dengan tatapan penuh rasa ingin tahu. "Tapi serius, Nay. Apa si Dante ganteng itu yang bawa kita ke sini?"
Mendengar nama "Dante", Naya langsung terjaga, membuka selimut yang menutupi wajahnya dan duduk dengan malas. Matanya mengerjap-ngerjap, berusaha mengingat dengan jelas kejadian semalam. Setelah beberapa detik berpikir, ia mengangguk pelan, lalu menundukkan kepalanya dengan rasa malu yang mulai menyeruak di hatinya.
"Iya, mungkin," jawab Naya dengan suara pelan, hampir tidak terdengar.
Widuri tertawa kecil, meskipun masih merasakan pusing di kepalanya. "Nay, gila ya! Udah dua kali si Dante itu nyelametin kamu. Coba deh, kamu pikir lagi, ini kayaknya udah lebih dari sekedar kebetulan."
Naya mengeluh dan jatuh kembali ke tempat tidurnya, menarik selimut lagi. "Aku tahu... Aku semakin malu sama dia, Wid. Dia udah melihat aku mabuk parah dua kali. Di gunung waktu itu, sekarang di sini. Aku... nggak tahu harus ngapain kalau ketemu dia lagi."
Widuri, dengan kepala yang masih berdenyut-denyut, menepuk punggung Naya pelan. "Udah, nggak usah dipikirin terlalu dalam. Mungkin dia udah terbiasa lihat orang mabuk. Toh, dia kelihatannya nggak keberatan nolongin kamu lagi dan lagi."
Naya hanya mendesah lagi, menutup wajahnya dengan bantal. Namun, dalam benaknya, Dante terus berputar-putar. Dia tidak bisa menyingkirkan perasaan aneh yang muncul setiap kali memikirkan pria itu—campuran antara kesal, malu, dan mungkin sedikit rasa terima kasih.
Widuri, yang mulai merasa lebih baik setelah beberapa saat, bangkit dari tempat tidur dan berjalan menuju cermin besar di dekat jendela. Dia memandang wajahnya yang masih kusut, dengan rambut yang berantakan, dan tertawa kecil.
"Aku butuh kopi," gumamnya sambil mengacak-acak rambutnya yang makin berantakan. "Dan, mungkin... sepotong roti buat sarapan. Gimana, Nay? Kita turun ke restoran hotel?"
Naya menurunkan bantal dari wajahnya dan menatap Widuri dengan tatapan setengah tertidur. "Kopi... kedengarannya bagus. Tapi aku nggak yakin aku bisa bergerak sekarang."
"Ah, ayolah!" Widuri berjalan ke sisi tempat tidur Naya, menarik lengannya. "Aku nggak bisa sendirian! Kita sarapan, terus balik lagi kalau kamu masih mau tidur."
Akhirnya, Naya setuju, meskipun dia tidak benar-benar ingin meninggalkan kenyamanan tempat tidurnya. Mereka berdua bersiap-siap seadanya, mengenakan pakaian yang mereka bawa kemarin, lalu turun ke restoran hotel.
***
Sementara itu, di sisi lain kota, Dante sedang menikmati kopi pagi di apartemennya yang modern dan minimalis. Pikirannya masih sesekali melayang ke arah Naya dan kejadian semalam. Dia merasa kesal karena harus terlibat lagi dengan drama yang tak ada hubungannya dengan dia—padahal, niatnya tadi malam hanya untuk bertemu dengan rekan bisnis.
Dante menyesap kopinya perlahan, berusaha mengesampingkan kekacauan itu dari pikirannya. Baginya, situasi ini semakin tidak logis. Seharusnya, setelah urusan kerja mereka selesai, dia tak perlu lagi berurusan dengan Naya. Namun, entah bagaimana, Naya selalu muncul kembali dalam hidupnya, memicu perasaan campur aduk yang tak ingin diakuinya.
Tiba-tiba, ponselnya bergetar di meja. Sebuah pesan masuk dari salah satu rekan bisnisnya mengingatkan tentang pertemuan penting hari itu. Dante menarik napas dalam-dalam, meletakkan cangkir kopinya, dan mencoba fokus kembali pada urusannya.
***
Kembali di hotel, Naya dan Widuri duduk di meja restoran, menghadap jendela yang menghadap ke jalan. Sambil menyeruput kopi, Naya akhirnya merasa sedikit lebih segar, meskipun masih ada rasa malu yang mengganjal di hatinya.
"Nay, kamu serius masih mikirin si Dante itu?" tanya Widuri tiba-tiba, memecah keheningan di antara mereka. "Menurutku, kamu nggak perlu terlalu merasa bersalah atau apa. Ya, memang kamu mabuk, tapi dia juga nggak kelihatan keberatan, kan?"
Naya menggeleng pelan. "Aku nggak tahu, Wid. Mungkin aku terlalu banyak berpikir. Tapi... dia bukan tipe orang yang gampang terlibat dalam urusan orang lain. Aku yakin dia kesal sama aku."
Widuri tertawa pelan. "Kesal? Atau mungkin justru tertarik?" Dia menaikkan alisnya dengan pandangan menggoda.
Naya memutar bola matanya. "Ah, nggak mungkin. Kita cuma ada urusan pekerjaan sebelumnya, dan itu pun selalu berujung ribut."
"Ya, siapa tahu," sahut Widuri sambil menggigit roti panggangnya. "Kadang, orang yang sering ribut itu justru punya chemistry yang nggak terduga."
Naya hanya menghela napas, tak ingin berlarut-larut membahas Dante. "Sudahlah, kita nggak usah bahas dia lagi. Aku cuma pengen hari ini nggak usah mikirin apa-apa."
Widuri tertawa lagi, tapi kali ini dia membiarkan topik Dante berlalu. Mereka berdua kemudian melanjutkan sarapan mereka dalam keheningan, masing-masing dengan pikiran yang berkecamuk. Bagi Naya, hari itu seharusnya bisa menjadi hari tenang untuk meredakan pikirannya, tapi entah mengapa, pikirannya tetap terikat pada sosok pria yang tak ingin ia akui terus mengganggu hatinya.
***
Setelah pulang dari hotel, Naya segera menuju rumahnya dan masuk ke studio kecil yang berada di samping. Ruangan itu biasanya menjadi tempatnya melarikan diri dari dunia luar—tempat di mana ia bisa fokus pada pekerjaannya sebagai komikus. Namun kali ini, suasana studio terasa berat dan tidak seperti biasanya. Meja kerjanya penuh dengan sketsa yang berserakan, kertas-kertas konsep yang belum terselesaikan, dan beberapa catatan kecil yang sudah lama terabaikan.
"Ah, sial, pekerjaanku masih menumpuk," gumam Naya sambil mengeluh, meremas rambutnya dengan frustasi. Di tengah ruangan yang kacau itu, matanya tertuju pada sebuah foto yang tergeletak di sudut meja—foto dirinya bersama Arfan, tersenyum bahagia. Seketika, kemarahan memuncak di dadanya. Tanpa berpikir panjang, dia meraih foto itu dan melemparkannya ke lantai, membuat bingkai kaca foto itu pecah dengan suara yang tajam.
Hatinya bergemuruh. Luka yang ditinggalkan oleh Arfan masih segar, bahkan lebih sakit dari yang ia bayangkan. Pertunangan mereka hancur begitu saja, dan Naya merasa sebagian dari dirinya juga ikut hancur bersamanya. Perasaan kecewa dan dikhianati menguasai pikirannya.