Santi sigadis kecil yang tidak menyangka akan menjadi PSK di masa remajanya. Menjadi seorang wanita yang dipandang hina. Semua itu ia lakukan demi ego dan keluarganya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lianali, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15_Mbak, Kalau Ibu Tahu, Pasti Marah Besar
“Mbak, kalau ibu tahu, ibu pasti marah besar sama Mbak,” ujar Riski dengan wajah khawatir.
Ia baru saja selesai makan, sementara mereka berdua duduk di dapur berbincang. Keempat adik mereka asyik bermain di ruang tengah, menari-nari bersama boneka Barbie mereka.
“Ya mau bagaimana lagi, Ki? Mbak sudah buntu, enggak ada jalan keluar lain. Apalagi tadi Mbak lihat ibu sampai bersimpuh di kaki Pak Bani, bosnya ayah, demi meminjam uang untuk kamu dan Mbak. Mbak enggak tega melihatnya,” Santi menghela napas, matanya berkaca-kaca.
Riski memeluk lututnya, mengetahui hal itu pasti berat bagi Santi. Namun, ia juga tidak bisa berbuat banyak. Sebagai anak laki-laki tertua di rumah ini, usianya baru empat belas tahun. Bisa menyisihkan ongkos harian saja dengan bekerja serabutan di ladang orang sudah terasa seperti pencapaian besar baginya.
“Oh ya, ini sisa uangnya, masih ada satu juta lagi. Kamu saja yang pegang. Pakai untuk melunasi tunggakan mu di sekolah, dan sisanya belikan sepatu untuk kamu, Ridho, dan Ujang,” ujar Santi sambil mengeluarkan uang dari kantong bajunya, kemudian menyerahkannya kepada Riski.
Riski menatap Santi dengan mata berkaca-kaca. Anak itu jarang menangis, tetapi jika menangis, itu berarti hatinya benar-benar terluka.
“Mbak…”
“Sudah enggak apa-apa. Lagi pula Mbak juga enggak pintar di sekolah. Mbak enggak pernah naik peringkat, selalu di posisi terakhir. Mbak memang enggak cocok sekolah, jadi lebih baik Mbak berhenti saja,” kata Santi, mencoba tersenyum untuk menghibur dirinya sendiri.
“Tapi, Mbak…” Air mata Riski menetes, sementara uang yang diletakkan Santi di depannya masih belum disentuh.
“Kamu kan pintar, Ki. Kamu lebih pantas melanjutkan sekolah daripada Mbak. Jadi, Mbak titip cita-cita Mbak untuk jadi sarjana ke kamu, ya,” ujar Santi lembut.
Riski langsung memeluk Santi erat-erat. Mereka berdua sama-sama menangis, meluapkan emosi yang selama ini terpendam.
“Sudah, Ki, enggak apa-apa. Mbak ikhlas,” ucap Santi sambil mengelus punggung Riski.
Riski hanya diam tanpa sepatah kata, terus memeluk Santi se erat mungkin.
“Sudah, sudah, enggak apa-apa,” lanjut Santi, perlahan melonggarkan pelukannya. Ia menatap Riski dengan lembut, lalu menghapus air mata adiknya dengan tangan.
“Ambil uangnya, Dek. Jangan sia-siakan pengorbanan ibu dan Mbak, ya,” kata Santi, kemudian meletakkan uang sejuta rupiah itu ke tangan Riski.
Riski menggenggam erat uang tersebut. Dalam hatinya, ia bertekad untuk tidak mengecewakan ibu dan kakaknya.
*****
Di Tempat Kerja
Di sela-sela jam istirahat, Pak Bani menghampiri Pak Burhan yang sedang merokok dan minum kopi bersama para penganyam lainnya.
“Bagaimana kerjanya, Pak? Sudah sampai mana?” tanya Pak Bani ramah.
“Lancar, Pak. Tinggal sedikit lagi selesai,” sahut Pak Zei, salah satu karyawan di situ.
“Bagus kalau begitu. Saya senang mendengarnya.” Pak Bani tersenyum. “Oh ya, Pak Burhan, bisa ngobrol sebentar?”
Pak Burhan mengangguk sambil terus menghisap rokoknya. “Tentu, Pak. Kenapa tidak?”
*****
Di sebuah ruangan kecil yang hanya diisi mereka berdua, Pak Bani mulai bicara. “Begini, Pak Burhan, tadi pagi istri Bapak datang ke rumah saya untuk meminjam uang dua juta rupiah. Katanya untuk keperluan anak-anak sekolah.”
Pak Burhan terlihat acuh tak acuh. Asap rokok keluar dari mulut dan hidungnya, lalu ia melanjutkan menyeruput kopi.
“Jadi begini, Pak. Total utang Bapak sekarang sudah mencapai empat juta rupiah. Saya mau tanya, mulai kapan saya bisa potong gaji Bapak? Saya pikir itu cara terbaik agar tidak menjadi beban berat bagi Bapak,” jelas Pak Bani dengan hati-hati, memilih kata-kata yang tepat agar tidak menyinggung.
Pak Burhan tetap cuek. Asap rokok terus keluar dari mulut dan hidungnya. Dalam pikirannya, Pak Bani hanya pura-pura baik. Kalau memang benar ingin membantu, seharusnya utang itu dianggap lunas, bukan dipotong dari gaji.
“Bagaimana, Pak Burhan? Saya juga enggak enak kalau langsung memotong gaji tanpa persetujuan Bapak,” ucap Pak Bani lagi, mencoba bersikap sabar meski mulai merasa kesal.
Pak Burhan mematikan puntung rokoknya di asbak kaleng yang disediakan. Ia kemudian mengambil rokok baru dari saku bajunya, menyalakannya, lalu kembali menghisapnya.
“Kalau mulai potong gaji dari hari ini, bagaimana? Bisa, Pak?” tanya Pak Bani lagi.
“Ya terserah Bapak saja. Bapak kan orang kaya, saya mah apa, cuma orang susah yang bekerja siang dan malam buat Bapak,” sahut Pak Burhan santai, nada suaranya terdengar sinis.
“Maksudnya, Pak?” Pak Bani mencoba menahan diri, meskipun hatinya sudah mulai panas.