Menikah dengan lelaki yang dicintai, ternyata tidak menjamin kebahagiaan, ada kalanya justru menjadi luka yang tak ada habisnya.
Seperti halnya yang dialami oleh Raina Almeera. Alih-alih bahagia karena menikah dengan lelaki pujaan—Nero Morvion, Raina malah menderita karena hanya dijadikan alat untuk membalas dendam.
Walau akhirnya ... takdir berkata lain pada skenario yang dibuat lebih awal oleh Nero.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gresya Salsabila, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rencana Licik Ava
Nero kembali menginjakkan kaki di Kota London. Ia juga kembali menyewa hotel yang dulu menjadi pilihannya untuk menginap. Entah akan berapa lama kali ini, ia sendiri belum bisa memastikan. Karena bukan hanya Ava alasannya ke kota itu, melainkan juga urusan bisnis dengan Kaisar.
Pertama kali memasuki kamar yang ia booking, Nero langsung membersihkan diri. Lantas, duduk bersandar di sofa dan melihat ponselnya. Ada banyak pesan dan riwayat panggilan masuk, salah satunya dari Raina.
'Hati-hati di jalan, Om. Semoga lancar sampai tujuan.'
Nero tersenyum simpul. Namun, tidak sedikit pun terniat dalam hatinya untuk membalas pesan tersebut, apalagi melakukan panggilan ulang. Ah, sangat tidak mungkin. Nero justru lebih memilih menghubungi Norman, lelaki yang ia percaya untuk menjaga rumah sekaligus ... menjaga Raina.
Usai berbincang dengan Norman, Nero kembali mengenakan pakaian rapi dan keluar dari hotel. Dia ada pertemuan dengan Kaisar, guna membahas kolaborasi produk yang kini sudah mulai berjalan.
Karena cukup banyak yang dibahas, sampai waktu berganti malam barulah Nero bisa meninggalkan tempat. Itu pun tidak langsung kembali ke hotel, tetapi lebih dulu singgah di restoran yang tak jauh dari pusat perbelanjaan. Bukan tanpa alasan, melainkan karena ada janji dengan Ava. Wanita cantik itu sudah menunggu di sana untuk berbelanja dengan Nero—menyiapkan gaun dan kemeja untuk dikenakan dalam pesta esok hari.
"Nero, akhirnya kita bertemu lagi. Kau terlalu lama di Indo. Tidak merasa kalau aku merindukanmu, hmm?" sambut Ava ketika Nero tiba di hadapannya. Bukan hanya kalimat itu yang ia suguhkan, melainkan juga senyum manis dan pelukan hangat—andai Nero tidak menghindar.
"Aku berkeringat, Ava. Tadi dari tempat Tuan Kaisar, aku langsung ke sini," tolak Nero dengan halus.
"Kau terlalu hati-hati, Nero. Padahal, aku tidak keberatan dengan bau keringatmu. Kita bukan orang lain, kan?" Ava mengerling nakal.
Dalam hatinya sedikit kesal karena Nero belum juga tertarik melakukan kontak fisik yang lebih jauh dengannya. Padahal, malam ini dia sudah dandan secantik dan seanggun mungkin. Namun, tetap saja, Nero masih pada prinsip kolotnya.
"Justru karena kita bukan orang lain, makanya aku menghindar. Ya, anggap saja aku sedang jaga image, Ava. Wajar kan, berusaha menunjukkan sikap terbaik di depan orang yang kita anggap istimewa?"
Ava tersenyum senang. Entah serius atau sekadar merayu, tetapi tak dipungkiri, Ava sempat bangga dengan jawaban Nero. Dianggap istimewa katanya, apa itu berarti Nero lebih menganggap penting dirinya, dibanding wanita yang bergelar istri di Indonesia sana?
Ya, mungkin saja begitu.
Usai berbincang sambil melontarkan rayuan dan sanjungan secara tersirat, Nero dan Ava meninggalkan restoran. Keduanya mulai belanja baju untuk acara besok malam. Gaun panjang merah tanpa lengan, dengan bagian punggung yang terbuka bebas. Itulah yang menjadi pilihan Ava, lengkap dengan high heels warna senada.
"Kita lihat besok, Nero. Sampai sejauh mana pertahananmu," batin Ava sambil tersenyum puas. Gaun pilihannya tidak hanya mengekspos bagian punggung, melainkan juga betis dan paha. Karena meski panjang, tetapi belahannya sampai ke atas lutut.
Ava sudah bertekad, selain menyelesaikan misi dari sang ayah, dia juga harus menjalankan misinya sendiri. Tak akan ia biarkan lelaki semenarik Nero lepas begitu saja, tanpa mencicip malam panjang dengannya.
_______
Sesuai dengan rencana yang telah dibahas dari beberapa hari lalu, malam ini Nero menepati janjinya, yakni menemani Ava menghadiri pesta pernikahan rekannya.
Dalam balutan gaun yang dipilih semalam, Ava tampak cantik dam sexy. Benar saja, belahan gaun itu sampai jauh di atas lutut, sehingga paha mulus Ava terpampang dengan jelas. Belum lagi rambut panjangnya sengaja digulung ke atas. Leher jenjang dan punggungnya pun terbuka tanpa terhalang apa pun. Bukan itu saja, Ava juga mengenakan parfum dengan wangi sensual, seakan-akan malam ini tubuhnya memang ditujukan untuk menggoda Nero.
"Bagaimana penampilanku malam ini? Bagus tidak?" pancing Ava ketika keduanya melangkah bersama memasuki area pesta.
Meski dari tadi ia menggamit lengan Nero, tetapi tak sedikit pun lelaki itu menunjukkan sikap tergoda. Mencuri pandang atau memuji dengan sedikit vulgar misalnya. Nyatanya tidak. Sikap Nero tetap seperti kemarin malam.
"Bagus." Jawaban Nero cukup singkat, itu pun hanya menoleh sekilas, seolah Ava bukanlah objek yang bisa memanjakan matanya.
Tanpa sepengetahuan Nero, Ava memutar bola mata dengan malas. Lantas membatin, "Benar kata Papa, kau memang angkuh, Nero. Memangnya prinsip apa yang kau pegang, sampai tidak tergoda dengan penampilanku yang menawan. Tapi, lihat saja malam ini. Masih bisakah mempertahankan prinsip dan keangkuhanmu itu. Ahh, tapi bersedia ataupun tidak, pada akhirnya kamu juga tidak akan bisa menolak ranjangku, Nero."
"Ava, terima kasih untuk kehadirannya. Kau cantik sekali malam ini," sambut sang mempelai ketika Ava dan Nero memberikan ucapan selamat pada mereka.
Lantas dalam beberapa waktu, keduanya terlibat obrolan ringan dengan mereka, pun dengan tamu lain yang juga mengenal Ava. Bahkan, keduanya juga sempat turun ke lantai dansa dan ikut menari di sana.
Sampai kemudian, Ava membisikkan sesuatu di telinga Nero, "Bagaimana kalau kita minum sebentar? Rekanku menyediakan banyak minuman spesial untuk acara malam ini. Bukankah sayang jika kita melewatkannya?"
"Aku ikut saja. Jika kau ingin minum, ayo!" jawab Nero, setuju dengan tawaran Ava.
Tentu saja hal itu membuat Ava merasa senang. Kemenangan seolah sudah di depan matanya. Bagaimana tidak, rencana yang ia susun berjalan mulus tanpa kendala sedikit pun. Ternyata, Nero cukup mudah diperdaya. Kecerdikannya tidak sepadan dengan penampilan luar.
Setelah keluar dari lantai dansa, Ava mengajak Nero untuk duduk di meja yang paling ujung. Satu-satunya meja kosong di antara meja yang lain.
Tak lama setelah keduanya duduk, seorang pelayan datang mengantar dua botol wine.
"Silakan, Tuan, Nona."
"Terima kasih," jawab Ava. Lalu ia beralih menatap Nero. "Ini adalah wine yang paling banyak dicari di kota ini. Harganya fantastis, makanya ... sayang kalau kita lewatkan," ucapnya sambil tertawa renyah.
"Kau benar."
"Mau kubantu menuangkan?" tawar Ava, yang kemudian ditanggapi dengan anggukan.
Dengan senang hati, Ava melakukan itu untuk Nero, karena memang itulah yang dia harapkan.
"Tidak peduli sekuat kemampuanmu minum. Malam ini ... kau tidak akan berdaya, Nero," batin Ava sembari menuangkan wine ke dalam gelas Nero.
"Terima kasih," ucap Nero.
Dia meraih gelas itu dan mulai meneguknya tanpa ragu.
Di hadapan Nero, Ava bersorak dalam hati. Musuh sudah masuk perangkap, pikirnya.
Namun tanpa Ava sadari, Nero diam-diam tersenyum miring. Bahkan, dia juga melirik tajam meski hanya sekilas.
Bersambung...