Selama 10 tahun lamanya, pernikahan yang Adhis dan Raka jalani terasa sempurna, walau belum ada anak diantara mereka.
Tapi, tepat di ulang tahun ke 10 pernikahan mereka, Adhis mengetahui bahwa Raka telah memiliki seorang anak bersama istri sirinya.
Masihkah Adhis bertahan dalam peliknya kisah rumah tangganya? menelan pahitnya empedu diantara manisnya kata-kata cinta dari Raka?
Atau, memilih meladeni Dean, mantan kekasih serta calon tunangannya dimasa lalu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon moon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
#34•
#34
Para pengawal segera mengabari Ayah Bima tentang kecelakaan yang baru saja menimpa Adhis, dan tak sampai satu jam Ayah Bima dan Bunda Sherin tiba di rumah sakit dengan menggunakan dua mobil berbeda.
Bahkan Gala tampak begitu emosional ketika melihat Raka yang telah duduk meringkuk di depan pintu utama ruang operasi.
Gala berjalan cepat menghampiri Raka, ia kembali mencengkram kerah baju Raka seperti tempo hari, dan Raka sudah terlampau berduka untuk melakukan perlawanan.
Raka benar-benar dihantam kekecewaan saat ini, rasa sedih dan bahagia seolah sedang bekerja sama menghancurkan mentalnya sampai kedasar yang paling dalam.
Kehamilan Adhis adalah yang paling ia tunggu sejak hari pertama pernikahan mereka, tapi kemudian kenyataan pahit menghantam dadanya dengan tepat, ketika Dean mengatakan janinnya tak bisa diselamatkan.
Seperti kertas yang basah, Raka lunglai ke lantai, ia seperti kehilangan nyawanya sendiri, kedua istrinya hamil di waktu bersamaan. Tapi sangat disayangkan karena Raka harus merelakan salah satunya, padahal 10 tahun lamanya Raka menantikan kehadirannya.
“KAU …!!!” Gala urung mengarahkan tinjunya, wajahnya sudah seperti banteng mengamuk.
Tapi melihat aura kehancuran di wajah Raka, Gala sepenuhnya menyadari, bahwa hati Raka jauh lebih sakit, dibandingkan ketika tubuhnya babak belur karena luka.
Bugh!
Sekuat tenaga Gala menghantamkan tinjunya kedinding, sesuatu yang tak Raka duga sebelumnya. Ia sudah bersiap jika Gala ingin menghabisinya kali ini, tapi yang terjadi justru sebaliknya.
“Kenapa? Ayo hajar aku! Aku tahu kamu pasti ingin membuatku gak bisa bernafas lagi, kan?!” tantang Raka dengan air mata yang membanjiri kedua pipinya.
Raka meraih telapak tangan Gala kemudian meletakkannya di pipi kanannya, “Ayo, tampar aku disini.”
Plok plok plok!!
Bunyi tepukan kecil itu terdengar, ketika Raka memukul pipinya dengan menggunakan telapak tangan Gala. “Hentikan sampai disini,” pinta Gala dengan hati hancur.
“Tolong lepaskan adikku!” lanjut Gala, “jika kamu tak bisa lagi membuatnya jadi Ratu dihatimu, biar kami saja yang menjadikan dirinya sebagai Ratu di istana kami.” Gala melepaskan cengkraman tangannya.
“Pergi dari sini!!” usir Gala.
“Tidak, tolong jangan memintaku pergi,” mohon Raka. Tapi Gala tak ingin bertambah marah hanya gara-gara melihat Raka.
“Maaf, karena sekarang kami harus melindungi orang yang paling kami sayangi.”
Gala memberikan kode pada para pengawal agar menjauhkan Raka dari ruang tunggu pasien.
“Ayah …!! tolong, biarkan aku disini, setidaknya sampai Dokter bilang, operasinya berhasil!!” Raka berteriak, ia meraung pilu, namun Ayah Bima hanya menatap menantunya tanpa ekspresi, ia sudah tak peduli, baginya pernyataan Gala sudah lebih dari cukup mewakili hancurnya perasaannya sebagai seorang Ayah.
Lebih baik melihat putrinya menjanda, daripada harus meregang nyawa karena merasa tersiksa batin dan pikirannya. Bahkan kini terluka fisiknya, padahal ada satu nyawa lagi yang baru mulai menggeliat mencari tempat berlindung.
Menit-menit berjalan sangat lambat, sepasang orang tua itu terus memanjatkan doa untuk putri tersayang mereka.
Kejadian ini terlalu mendadak, bahkan ayah Bima dan bunda Sherin masih belum percaya dengan musibah yang tengah menimpa Adhis.
Tiga puluh menit yang lalu, beberapa polisi datang, dan mengamankan TKP, bukti fisik serta rekaman CCTV yang akan berbicara.
Tak ada saksi, karena ketika kejadian berlangsung ruangan Raka terkunci, dan tidak semua orang hafal sandi pintu ruangan Raka.
Satu jam tiga puluh menit telah berlalu, tapi belum ada tanda-tanda TIM dokter keluar dari ruang operasi.
“Mas …”
Yudha adik sepupu ayah Bima, tergopoh-gopoh datang. “Belum selesai operasinya?” tanyanya dengan nafas tersengal.
Gala menjawab dengan gelengan kepala, Yudha ikut menatap gusar ke arah pintu utama ruang operasi.
Tak berselang lama dari kedatangan Yudha, pintu ruang operasi terbuka. Dokter Santi keluar dari pintu tersebut.
Seluruh anggota keluarga Narendra segera mengerubungi sang dokter, demi mendengar penuturannya. “Operasi berjalan dengan lancar, walau pasien kehilangan banyak darah.”
Semua bernafas lega mendengar penuturan sang dokter Santi. “Dan, kami sudah berusaha semaksimal mungkin, tapi sangat disayangkan, karena janin pasien tak bisa diselamatkan.” Dokter Santi kembali menundukkan kepala sebagai tanda ikut berduka.
Bunda Sherin kembali menangis, sebagai seorang ibu, ia pun ikut merasa sesak ketika mendengar calon cucunya tak sempat merasakan bernafas di dunia.
“Saat ini, Dokter Dean sedang menyelesaikan operasi tahap akhir.” Dokter Santi mengakhiri penjelasannya.
“Terima kasih, Dok, terima kasih,” ucap ayah Bima berulang kali.
Dokter Santi pun pamit untuk kembali melanjutkan tugasnya.
•••
Ruang pemulihan pasca operasi.
“Hmm … tolong telepon aku, jika ada pasien datang,” pinta Dean pada perawat yang saat ini menjadi operator.
“Baik, Dok!”
Dean pun mengakhiri panggilan, tatapan matanya kembali mengarah pada wajah pucat yang kini berbaring di hadapannya.
Secara keseluruhan, operasi Adhis berjalan lancar, hanya satu masalahnya, Adhis kehilangan banyak darah, tapi kini walau masih pucat, tapi setidaknya ia mendapatkan banyak transfusi darah.
Sesuai permintaan anggota keluarga, Adhis akan di beritahukan perihal kehamilan dan kegugurannya pasca kondisinya pulih total.
Tak ada yang Dean lakukan di ruangan tersebut, hanya saja kakinya terlalu berat untuk melangkah pergi. Akhirnya ia hanya bisa menggenggam tangan Adhis, lebam biru keunguan itu kembali Dean lihat, dan hatinya kembali berdenyut nyeri karenanya.
Beberapa jam yang lalu, Polisi mendatangi Dean, dan menanyakan kondisi fisik pasien, karena polisi melihat ada sedikit tindak kekerasan yang dimaksudkan untuk memaksa korban bertahan di ruangan tersebut.
Dengan senang hati Dean memberikan informasi yang polisi butuhkan, serta sesuai dengan apa yang Dean lihat di tubuh korban, tak kurang dan tak lebih sedikitpun.
Tiba-tiba, Dean merasakan sedikit pergerakan, yah, jari tangan Adhis bergerak, Dean pun melihat kedua kelopak mata Adhis mulai membuka secara perlahan.
Dean melihat kedua mata Adhis menatap sekeliling ruangan hingga kedua mata mereka bersirobok, Dean mencoba tersenyum, dan kembali melepaskan genggaman tangannya pada tangan Adhis.
Dean mengeluarkan senter kecil dari saku snelinya, guna memeriksa kedua pupil mata Adhis, kemudian mengangkat lima jari tangannya. “Berapa jumlah jariku?” tanyanya.
“Apa Kakak pikir … aku anak TK?” tanya Adhis lemah.
“Jawab saja, ini pertanyaan standar untuk memastikan tanda-tanda kesadaran pada pasien.” Dean menggerutu.
“Sa … tu … “ Adhis pun menjawab.
“Lalu ini?” Dean kembali mengubah jumlah jarinya.
“Lima.”
“Apa kedua matamu bermasalah? Aku hanya mengangkat 3 jari.”
“Kalau begitu, kakak yang harus memeriksakan diri. Kedua mataku melihat dengan jelas, jangan coba-coba mengelabuiku.” Adhis mendengus kesal.
“Hahahaha … ketahuan, ya?” Dean tertawa, sebenarnya hatinya yang bahagia, karena Adhis kembali siuman.
Dean kembali duduk, “Aku senang, kamu bisa kembali siuman.”
Adhis mengedipkan matanya sebagai respon, “baiklah, aku harus kembali bertugas, karena jika tidak, akan ada banyak desas-desus di Rumah Sakit ini,” pamit Dean, “oh, iya, beberapa saat lagi, perawat akan memindahkanmu ke ruang perawatan.”
“Kak … “ seru Adhis, ketika Dean mencapai pintu keluar.
Dean diam di tempatnya. “Terima Kasih,” ucap Adhis dengan suara parau, ia hampir menangis ketika ingatannya kembali mengingat kejadian sebelum ia kehilangan kesadaran.
Dean kembali berbalik, “Aku hanya melakukan tugasku.” Dengan jari tangannya, Dean mengusap air mata yang mengalir dari kelopak mata Adhis.
“Jangan menangis lagi, kami akan semaksimal mungkin membantumu mendapatkan keadilan.”
Adhis kembali mengedipkan kelopak matanya.
•••
Di tempat lain, tepatnya di Benua Eropa, bergeser sedikit dari pusat kota London. Seorang anak berusia 11 tahun, tengah berjalan lesu dengan skateboard di tangan kanannya, sementara ranselnya menggantung di kedua pundaknya.
Wajah tampannya terlihat lesu, mungkin ia lelah, karena jam sekolah baru saja selesai. Dan esok weekend kembali datang, satu weekend lagi harus kembali ia lalui tanpa kehadiran sang daddy.
Dimana sang mommy?
Mommynya seorang workaholic, tentu saja masih sibuk mengurus pekerjaan ketimbang anak dan rumahnya. Kadang ketika weekend sang mommy ada di rumah, tapi ia tetap sibuk dengan sejumlah besar pekerjaan yang ia bawa ke rumah. Jadilah setiap weekend, Aaron hanya memainkan bola di dalam kamarnya, atau jika moodnya sedang baik, ia akan pergi kerumah Edward teman sekolahnya.
Jika ada Daddynya, Aaron punya banyak kegiatan, mereka biasa pergi ke pusat kebugaran berdua, selepas dari sana Dean akan memasak makanan favorit mereka.
Bukan masakan mewah, bukan juga masakan yang sulit, hanya sandwich, atau beef steak sederhana dengan saus mushroom dan mashed potato. Simpel dan mudah, dua pria ini biasa mempelajarinya dari YouTube, atau jika kepepet, Dean akan melakukan Video Call langsung ke Chef Aya. Namun karena perbedaan waktu, seringnya Darren yang mengamuk karena kadang Dean melakukan panggilan di tengah malam ketika sang istri beristirahat.
“Aaron … !”
Celline tersenyum kearah putra semata wayangnya, ia sengaja pulang cepat hari ini agar bisa memasak makan malam untuk Aaron.
Aaron balas tersenyum, “Hei … what happen with you?”
“I'm okay, Mom.” jawab Aaron singkat.
“Sure?”
“Yes, I'm sure,” Aaron menegaskan.
Celline memeluk putranya, ada banyak kata maaf yang belum sanggup ia ucapkan, karena tak mampu mewujudkan keinginan Aaron agar kedua orang tuanya tidak berpisah.
Keduanya memasuki rumah, Celline meletakkan barang belanjaannya di atas meja. “What do you want for dinner today?”
“Apapun, Mom, aku aku bisa makan semua.” Aaron menjawabnya dengan bahasa Indonesia.
“Can you help me?” tanya Celline ketika melihat Aaron menjauhinya.
“Sorry, I'm tired, Mom.” Jawaban singkat itu tercetus sebelum Aaron menghilang dari hadapan sang mommy.
Aaron kembali ke kamarnya, rumahnya terasa sepi tanpa kehadiran sang daddy. Ada perbedaan jelas antara mommy dan daddynya, daddynya memang sibuk di rumah sakit sepanjang hari, tapi Dean selalu memprioritaskan Aaron ketika weekend. Jadi walau di tengah weekend ada panggilan darurat, Aaron tak pernah mempermasalahkannya.
Tapi Celline, nyaris jarang melakukan hal itu, kadang di weekend pun ia pergi ke lokasi pemotretan, agar pekerjaannya berjalan sempurna semaksimal mungkin.
Aaron hanya bisa memandang lembar demi lembar foto kebersamaannya bersama sang Daddy, rindu itu terasa berat, apalagi kini daddynya memilih tinggal di Indonesia. Sementara dirinya terjebak di London, karena hak asuh anak sebelum dewasa masih berada di tangan Ibunya.
Dean pun tak bisa berbuat banyak, karena hukum yang berlaku demikian, bukan Dean tak mampu mengajukan gugatan hak asuh anak. Tapi Dean lebih memikirkan efek psikologis anaknya jika proses hak asuh terus berjalan alot. Karena tak mau itu terjadi, maka Dean pilih bersabar menunggu enam tahun kedepan, sampai Aaron berusia dewasa, dan bisa memilih sendiri kewarganegaraan sesuai undang-undang yang berlaku.
#Othor gak tahu banyak tentang kewarganegaraan anak dari hasil pernikahan campuran, yang othor tahu hanya anak-anak ini biasanya memiliki kewarganegaraan ganda, sampai usianya dianggap dewasa oleh undang-undang negara yang bersangkutan, dan dia siap memilih kewarganegaraannya sendiri. Jadi othor gak akan membahasnya secara detail. ✌
Di tengah proses menunggu masakan sang mommy siap, Aaron mencoba menghubungi Dean. Tapi ketika menyadari bahwa di Indonesia mungkin hampir tengah malam, Aaron mengurungkan niatnya.
Dengan malas ia meletakkan ponsel di meja belajarnya.
Berkali-kali ia menarik dan menghembuskan nafasnya, mencoba belajar pun tak membantu kekosongan yang mulai hinggap di hati dan jiwanya.
Hingga …
“Aaron … dinner's ready!” Celline berseru dari arah dapur di lantai bawah.
“Okay, Mom,” Sahut Aaron.
Aaron mengganti celana panjangnya dengan celana santai, kemudian bergegas turun ke dapur.
“Hei, Boy … “
Rupanya Celline tak sendiri, ada Matt juga di ruang makan.
Aaron yang memang tak begitu lapar, kini semakin kehilangan selera makannya. Namun ia memaksa dirinya duduk demi menghargai jerih payah Celline yang sudah memasak untuknya.
Menu malam ini seafood pasta, makanan favorit Aaron, tapi dengan catatan, sang daddy yang membuatnya. “Mommy mencoba membuatnya, semoga kamu suka.” Celline berbicara dengan bahasa Indonesia.
Aaron menatap piringnya dengan malas, “Thanks, Mom.” Aaron mulai makan.
“Enak?” tanya Celline penasaran dengan reaksi putranya.
“Buruk,”
“Oh, this isn't so bad.” Matt mengemukakan pendapatnya.
“Just kidding mom, ini lumayan.” Jawaban Aaron membuat Celline tersenyum lebar.
Celline menyentuh tangan kiri Aaron, “Next, akan Mommy perbaiki.”
Aaron mengangguk, ia mencoba tersenyum, walau merasa tak nyaman dengan kehadiran Matt.
Matt adalah sahabat Celline, bahkan teman kerja Celline pula, tapi entahlah, sejak dulu Aaron tak pernah menyukainya, terlebih belakangan ini Matt terus berusaha mendekatinya, bahkan beberapa kali coba menggantikan peran sang daddy.
Tentu saja, Matt membuat Aaron semakin ilfil, tak ada yang bisa menggantikan sang daddy, tidak juga Matt.
“Baby, besok Uncle Matt akan mengajakmu pergi ke pedesaan dengan caravannya.”
“I'm not a baby mom,” protes Aaron.
“Ups, sorry, mommy lupa,” ucap Celline kikuk.
“Bagaimana? Besok mau pergi bersamaku?” Matt menyela obrolan.
“Sorry, I can't,” jawaban Aaron singkat, tapi di telinga Celline, lebih terdengar bahwa Aaron masih enggan berdekatan dengan pria dewasa lain selain daddynya sendiri.
“Kenapa? Bukankah biasanya kamu suka berakhir pekan bersama daddy?” tanya Celline penasaran.
“Yah, aku hanya ingin daddy, tidak yang lain.” Aaron kembali menjawab.
“Tapi daddy bahkan tak peduli padamu saat ini.”
Bagi Aaron daddy adalah segalanya, dibandingkan mommy yang hanya sibuk bekerja. Jadi ketika tiba-tiba sang mommy membuat daddynya terlihat buruk, seketika Aaron bereaksi.
Brak!
Aaron reflek berdiri sambil meletakkan sendok dan garpunya dengan kasar, dengan wajah memerah, “Daddy tidak seperti itu, Mom! Jika sekarang Daddy tak bisa dihubungi, itu karena perbedaan waktu kita saat ini, dengan waktu Daddy di Indonesia.”
Setelah menyatakan keberatannya, Aaron pun pergi meninggalkan meja makan, bahkan makanannya baru ia makan beberapa suap saja.
Pemuda tanggung itu sedang dalam masa gejolak masa remaja, jika ada sedikit saja hal yang menyinggung perasaannya, ia akan bereaksi keras, bahkan meluapkan amarahnya.
Namun marahnya Aaron hanya sekejap, karena lima menit kemudian ia kembali turun, dan bermaksud meminta maaf pada sang Mommy seperti yang biasa sang daddy ajarkan. Tak boleh membentak mommy, tak boleh menyakiti hati mommy, karena mommy sudah mengandung dan melahirkannya ke dunia.
Tapi …
Pemandangan itu kembali menyakiti hatinya, karena ketika kembali, Aaron justru disuguhi pemandangan yang seharusnya tak ia lihat.
Jika Mommy dan daddynya yang berciuman, Aaron tak pernah mempermasalahkannya, tapi Mommynya berciuman dengan pria lain, itu sangat melukai perasaannya.
•••
2155 kata!!
othor gak minta yang berbayar poin, no vote, no gift, no apapun, cukup yang gretongan saja, baca, like dan komen, biar othor bahagia, itu sudah cukup 💃💃💃
oke?! sepakat para pasukan bulan?👻👻
Pecinta textbook pasti 😀
apapun keputusan kak author kamu terima aja ya raka
keinginan eyang bella terkabul nih.