Raisha seorang agen rahasia ditugaskan menjaga seorang pegawai kantor bernama Arya dari kemungkinan ancaman pembunuhan Dr. Brain, seorang ilmuwan gila yang terobsesi menguasai negara dan dunia menggunakan alat pengendali pikiran yang terus di upgrade menggunakan energi kecerdasan orang-orang jenius. Temukan keseruan konflik cinta, keluarga, ketegangan dan plot twist mengejutkan dalam novel ini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Here Line, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 12 : Di Balik Pintu Rumah
Raisha berdiri di depan pintu rumah Arya, memandang fasad bangunan sederhana itu dengan alis sedikit berkerut. Sejujurnya, ia tidak tahu apa yang harus diharapkan dari seorang pria yang tampaknya biasa saja, bekerja sebagai sales asuransi, meskipun IQ-nya di atas rata-rata.
Di kepalanya, ia membayangkan Arya akan tinggal di rumah yang penuh dengan chart-chart asuransi, poster-poster tokoh bisnis dan ekonomi yang tersenyum percaya diri dari dinding, serta buku-buku bertema keuangan yang ditata rapi di rak.
Mungkin nanti akan ada beberapa kutipan motivasi tentang sukses finansial yang tertempel di dinding, seperti layaknya rumah seorang "penjual kesuksesan."
Namun, ketika Arya membuka pintu, Raisha hampir tersedak oleh ketakjubannya. Ternyata apa yang ada di balik pintu jauh dari apa yang ia bayangkan.
Raisha melangkah masuk dengan sedikit ragu. Bukannya disambut dengan pemandangan buku bisnis atau poster inspiratif, matanya langsung tertumbuk pada rak-rak yang penuh dengan barang-barang elektronik—atau lebih tepatnya, rongsokan elektronik.
Komponen-komponen elektronik tua, part-part analog hingga digital, berserakan di mana-mana. Rak-rak tersebut tersusun rapi, tetapi isinya terkesan seperti tumpukan barang bekas yang diambil dari pasar loak.
Beberapa rangkaian kabel tergantung dari ujung meja kerja, sementara bagian-bagian kecil seperti chip komputer dan motherboard tergeletak di berbagai sudut. Ruangan itu seperti perpaduan antara bengkel dan gudang.
Raisha memutar kepala, memperhatikan sekeliling. Hanya ada sebuah sofa yang terlihat layak untuk menerima tamu, dan itu pun tampak hampir terselip di antara tumpukan barang-barang yang tak teridentifikasi. Ia mengerjap beberapa kali, masih mencerna pemandangan yang benar-benar tidak terduga ini.
“Ini… rumahmu?” Raisha akhirnya bertanya, suaranya sedikit terbata.
Arya tersenyum tipis, matanya menyiratkan kesenangan melihat reaksi Raisha. “Ya, tentu. Memangnya kamu mengira aku tinggal di mana? Kantor asuransi?”
Raisha sedikit tersipu. “Jadi… ini semua apa?” Ia menunjuk ke arah salah satu rak yang penuh dengan motherboard tua dan beberapa layar monitor kecil yang tampak usang.
“Ini? Hanya barang-barang elektronik lama yang aku kumpulkan. Hobi lama, cukup sesuai dengan pendidikanku di bidang komputer namun ini lebih ke arah hadware, meski aku juga belajar tentang software dan coding,” jawab Arya sambil berjalan santai menuju rak itu. “Aku memang suka mengutak-atik barang-barang seperti ini. Banyak yang bilang ini rongsokan, tapi bagiku, ini potensi. Kadang ada komponen yang masih bisa dipakai, atau diubah jadi sesuatu yang baru.”
Raisha memandang sejenak, masih agak bingung. “Hobi? Kamu seorang jenius dengan IQ 180, dan hobi kamu… begini?”
Arya tertawa kecil, suaranya rendah dan tenang. “Bukan hanya ini, aku juga punya workshop yang mengerjakan bahan besi dan plastik. Ya, di luar pekerjaan asuransi, ini adalah dunia yang sebenarnya aku nikmati.”
Raisha berjalan lebih jauh ke dalam, menyentuh sebuah rangkaian elektronik di meja kerja Arya yang berantakan. “Jadi, ini semua barang-barang hasil proyekmu?”
Arya mengangguk sambil memutar kursi di sudut ruangan, lalu duduk dengan santai. “Iya, semuanya hasil eksperimen. Aku suka menciptakan berbagai macam alat. Lihat ini,” Arya menarik sebuah kotak kecil dari bawah meja dan membuka tutupnya, memperlihatkan kepada Raisha sesuatu yang terlihat seperti perangkat mata-mata.
“Ini… alat apa?” Raisha memegang benda itu dengan hati-hati, melihat beberapa tombol kecil di bagian sampingnya. “Ini seperti sesuatu yang biasa dipakai agen rahasia.”
“Yah, memang itu konsepnya.” Arya tersenyum, matanya berbinar. “Aku membuat berbagai macam alat. Beberapa untuk keperluan pribadi, beberapa hanya untuk bersenang-senang. Ini, misalnya, adalah perangkat pendeteksi gelombang suara ultra-rendah. Dengan ini, kamu bisa mendengar percakapan dari jarak ratusan meter.”
Raisha terdiam sejenak, masih memegang perangkat itu dengan ekspresi kagum sekaligus heran. “Ini seperti… sesuatu dari film James Bond. Kamu benar-benar membuat semua ini sendiri?”
Arya mengangguk lagi, tampak puas melihat reaksi Raisha. “Benar. Selain itu, aku juga sedang bekerja pada beberapa alat lain yang mungkin lebih berguna. Tapi, yah, di ruangan ini kebanyakan masih dalam tahap konsep. Belum ada yang benar-benar selesai. Kecuali di ruangan lain yang akan aku tunjukkan nanti”
“Baiklah, aku ingin melihatnya nanti,” sahut Raisha.
Raisha memandang sekeliling dengan mata yang berbeda sekarang. Sebelumnya, ia mungkin merasa aneh, bagaimana seorang pria seperti Arya, dengan kecerdasan luar biasa, hanya berakhir menjadi seorang sales asuransi. Tapi setelah melihat semua ini, ia mulai menyadari bahwa ada lebih banyak hal tersembunyi di balik penampilan Arya yang sederhana.
Di sini, di dalam rumahnya yang penuh dengan alat-alat elektronik dan perangkat aneh, Arya tampak seperti seseorang yang menjalani kehidupan ganda. Satu kehidupan yang terlihat biasa di mata orang lain, dan kehidupan lain yang penuh dengan kreativitas yang tersembunyi di balik pintu rumahnya.
“Lalu, ini?” Raisha menunjuk sebuah perangkat berbentuk seperti sarung tangan mekanik yang tergeletak di sudut meja.
“Oh, itu…” Arya tersenyum, matanya kembali berkilau. “Itu semacam alat bela diri yang sedang aku rancang. Ide dasarnya adalah menggabungkan kekuatan manusia dengan kekuatan mekanik, semacam eksoskeleton mini. Masih dalam tahap awal pengembangan.”
Raisha memandang perangkat itu dengan mata berbinar. “Kamu benar-benar serius tentang ini, ya?”
Arya hanya mengangkat bahu santai. “Ini hanya hobi, tapi… siapa tahu? Mungkin suatu hari aku bisa menyelesaikannya.”
Raisha mengangguk, perlahan-lahan merasa tertarik. Semua perangkat aneh ini, ruangan yang penuh dengan proyek-proyek setengah jadi, membuatnya semakin penasaran. “Sekarang tunjukkan hasil-hasil karyamu yang sudah jadi, aku penasaran,” katanya sambil menatap Arya dengan mata penuh rasa ingin tahu.
Arya tersenyum lebar. “Baiklah, tapi jangan kaget dengan apa yang kamu temukan nanti.”
Mereka berjalan menuju arah lain. Langkah-langkah mereka terasa pelan dan tenang, namun di dalam hati, Raisha tak bisa menahan kegembiraannya untuk melihat lebih dalam apa saja yang disembunyikan Arya sebagai sosok jenius.
Saat Raisha dan Arya baru saja berjalan beberapa langkah, langkah mereka terhenti ketika dari arah dapur terdengar suara langkah kaki mendekat. Seorang perempuan paruh baya muncul lebih dulu, diikuti oleh seorang pria tua yang lebih banyak tersenyum daripada berbicara.
“Lho, ada tamu!” seru si perempuan dengan ramah, matanya berbinar melihat Raisha berdiri di tengah ruangan yang penuh dengan komponen elektronik.
Arya segera merespons dengan santai, meskipun ada sedikit kejutan di wajahnya. “Oh iya, kenalkan ini Paman dan Bibi. Mereka bekerja di sini, tapi aku sudah menganggap mereka seperti paman dan bibiku sendiri.”
Raisha tersenyum sopan, lalu menganggukkan kepalanya sedikit sebagai bentuk hormat. “Raisha. Senang bertemu dengan Paman dan Bibi,” katanya memperkenalkan diri.
“Teman? Cantik loh, masa cuma teman, Den?” tanya Bibi dengan nada menggoda, sambil tertawa kecil. Tatapan matanya penuh rasa penasaran yang tak tersamar.
Raisha tersenyum canggung dan Arya terbatuk kecil, berusaha menjaga ekspresinya tetap tenang meski sedikit tersipu. “Bibi, dia memang cuma teman. Ke sini mau main, lebih tepatnya mungkin...” Arya tampak mencari-cari alasan, belum sempat menyelesaikan kalimatnya ketika tiba-tiba Raisha menyela dengan cepat.
“Mungkin akan tinggal beberapa lama, Bi. Saya mahasiswa dan ingin belajar banyak tentang elektronika sama Mas Arya,” kata Raisha sambil tersenyum lebar, suaranya terdengar meyakinkan. Ia mengarang cerita secepat kilat, mencoba membuat situasi ini terdengar wajar.
Pikiran Raisha berputar dengan cepat. Dia tidak mungkin mengatakan yang sebenarnya, bahwa dia adalah agen rahasia yang sedang menyamar. Itu hanya akan menimbulkan lebih banyak pertanyaan dan membahayakan misinya.
Arya tertegun sejenak. Matanya melebar saat mendengar kata-kata Raisha, tapi ia segera menguasai dirinya dan tersenyum, memahami situasi yang dihadapi.
Di balik keterkejutannya, Arya tampak mengerti bahwa Raisha tengah menciptakan alasan agar tidak menarik perhatian lebih dari orang-orang di sekitar mereka. Mungkin juga, ia menyadari bahwa Raisha sedang berusaha melindunginya, meskipun belum sepenuhnya paham bagaimana.
“Oh, begitu? Mahasiswa ya?” Bibi tampak terkesan, pandangannya bergantian antara Raisha dan Arya dengan rasa ingin tahu. “Kalau begitu boleh saja, Den Arya. Lalu, kamarnya bagaimana? Menginap di mana?” tanyanya kepada Arya dengan nada yang lebih serius kali ini.
Arya terdiam sejenak, sedikit bingung. Ia belum benar-benar memikirkan sampai sejauh itu. Raisha yang menginap? Itu tidak pernah terlintas dalam benaknya.
“Nanti di kamar tamu saja, Bi!” Arya menjawab cepat, meskipun dalam hatinya ia masih merasa canggung. Situasinya berubah begitu cepat, dan dia masih memproses bahwa Raisha tiba-tiba memutuskan untuk menginap.
Raisha mengangguk, senyumnya tidak goyah. Dalam hatinya, ia tahu ia telah membuat langkah yang berani, meskipun dengan sedikit kebohongan. Namun, di balik alasan yang ia karang, ada niat nyata untuk melindungi Arya. Dalam pandangannya, Arya adalah seseorang yang berharga, dan ia tidak ingin misinya membawa masalah bagi pria ini.
“Terima kasih, Bi. Senang bisa belajar lebih banyak di sini,” lanjut Raisha, menutup percakapan dengan elegan.
Bibi tampak puas dengan jawabannya. “Baiklah, nanti saya siapkan kamarnya. Kamu pasti betah belajar di sini sama Den Arya, dia kan pinter sekali urusan begituan!” katanya sambil tertawa.
Setelah Paman dan Bibi meninggalkan ruangan, Arya menoleh ke arah Raisha dengan ekspresi yang sulit dibaca. Ada keheranan, kekaguman, dan juga rasa bingung di matanya.
“Kamu… serius mau tinggal di sini?” tanyanya pelan, masih mencoba memahami situasi.
Raisha menatapnya sejenak, lalu tersenyum lebar. “Enggak, kok. Itu cuma untuk menutupi identitasku. Tapi, kelihatannya aku memang harus tinggal sebentar, setidaknya sampai urusan ini selesai,” jawabnya dengan nada lebih rendah, berusaha memastikan hanya Arya yang mendengar. “Aku di sini bukan hanya untuk belajar elektronik, Arya. Aku di sini untuk memastikan kamu aman.”
“Baiklah,” katanya singkat, tak ingin memperpanjang percakapan. “Ayo kita lanjut ke ruangan yang kujanjikan.”
Raisha tersenyum tipis lalu mengikuti Arya menuju ruangan di ujung lorong.
TBC
Dukung terus "Raisha & Arya" menghadapi kejahatan Dr. Brain di cerita ini ya teman-teman ! Jangan lupa LIKE, COMMENT, KASIH BINTANG & IKUTI Author, biar Author tambah semangat !!! Nantikan chapter berikutnya, daaah... !!!