SIPNOSIS:
Kenneth Bernardo adalah pria sederhana yang terjebak dalam ambisi istrinya, Agnes Cleopatra. demi memenuhi gaya hidupnya yang boros, Agnes menjual Kenneth kepada sahabatnya bernama, Alexa Shannove. wanita kaya raya yang rela membeli 'stastus' suami orang demi keuntungan.
Bagi Agnes, Kenneth adalah suami yang gagal memenuhi tuntutan hidupnya yang serba mewah, ia tidak mau hidup miskin ditengah marak nya kota Brasil, São Paulo. sementara Alexa memanfaatkan kesempatan itu untuk mendapatkan suami demi memenuhi syarat warisan sang kakek.
Namun, kenyataan tak berjalan seperti yang Agnes bayangkan, setelah kehilangan suaminya. ia juga harus menghadapi kehancuran hidupnya sendiri-dihina orang sekitarnya, ditinggalkan kekasih gelapnya uang nya habis di garap selingkuhan nya yang pergi entah kemana, ia kembali jatuh miskin. sementara Alexa yang memiliki segalanya, justru semakin dipuja sebagai wanita yang anggun dan sukses dalam mencari pasangan hidup.
Kehidupan Baru Kenneth bersama Alexa perlahan memulihkan luka hati nya, sementara Agnes diliputi rasa marah dan iri merancang balas dendam, Agnes bertekad merebut kembali Kenneth bukan karena haus cinta tetapi ingin menghancurkan kebahagiaan Alexa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon adelita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
HMYT-26
Agnes duduk di sofa, matanya memandang kosong ke dinding yang dingin, menunggu dengan cemas. Pikirannya terus dipenuhi oleh masalah utang yang semakin menghimpit, dan sekarang, Rerry kembali meneror lewat telepon. Sudah berulang kali ia meminta waktu, namun Rerry tetap mendesak. Sementara itu, situasi keuangan mereka semakin terjerat.
Telepon berbunyi. Tanpa melihat layar, Agnes sudah bisa menebak siapa yang menelepon.
"Agnes, kamu nggak bisa terus-terusan menghindar dari ini!"suara Rerry terdengar keras dan menuntut di ujung telepon. "Kamu janji! Kamu bilang bisa bantu aku sekarang mana uangnya?!"
Agnes menggigit bibirnya, mencoba menahan amarah yang sudah mulai meluap. "Aku bilang, Rerry, belum ada. Tolong sabar sedikit! Aku butuh waktu! Aku masih mencari jalan keluar, oke?" suaranya terdengar tertekan, mencoba untuk tetap tenang meski hatinya sebal.
"Tunggu apa lagi?!" seru Rerry, nada suaranya semakin meninggi, penuh ancaman. "Aku nggak bisa nunggu terus. Uang itu harus aku gunakan! Sekarang! Untuk pengobatan ayah ku!"
"Kenapa kamu nggak pernah ngerti?! Aku sudah bilang belum ada!" jawab Agnes dengan suara yang mulai mengeras. "Ini bukan cuma soal uang, Rerry. Aku butuh waktu. Tolong!"
Di sisi lain telepon, Rerry mendengus, jelas kesal. " Aku sudah cukup bersabar Agnes! Aku butuh uangnya! Keadaan ayah aku semakin kritis!"
Agnes merasa perutnya mual, emosi mulai terlepas dari kendali. "Kamu pikir mudah, Rerry?! Semua ini nggak cuma soal uang! Ada banyak hal yang terjadi, dan kamu nggak ngerti!" teriak Agnes, hampir menangis karena frustasi. "Kenapa kamu nggak bisa sabar sedikit?!"
Rerry terdiam sesaat, namun kemudian berbicara dengan nada yang lebih dingin. "Dengar, Agnes. Aku nggak ada waktu buat sabar! Ini masalah janji yang basah kamu tepati. Aku mohon pinjamkan saja pada rentiner siapapun katakan aku akan mengganti setelan ayah ku sadar."
Telepon terputus begitu saja. Agnes duduk terdiam, dadanya sesak. Semua tekanan ini... semakin lama, semakin memuncak. Hatinya merasa sesak, tetapi ia tahu, ia harus bertahan.
Namun, ketegangan masih belum selesai.
Pintu rumah terdengar diketuk keras. Agnes yang masih tenggelam dalam pikirannya, merasa seakan-akan dunia ini semakin hancur. Ia berteriak tanpa berpikir, "Siapa itu?! Ini pasti Kenneth kan?!" Kemarahannya yang tersisa seakan mencari tempat untuk keluar, dan ia melampiaskannya tanpa sadar.
Namun, begitu ia membuka pintu, bukan Kenneth yang berdiri di sana. Sosok yang muncul adalah Rico, rentenir yang selama ini menagih utang. Wajahnya keras dan masam, dan ekspresinya membuat jantung Agnes berdebar keras.
"Agnes, kenapa kamu nggak bayar?!" suara Rico menggema, penuh amarah. "Kamu tahu waktunya sudah habis, kan?! Hutangmu harus lunas! Kamu nggak bisa terus-terusan bikin alasan!"
Agnes langsung merasakan keringat dingin membasahi punggungnya. Ia teringat kembali tentang pembayaran yang baru separoh itu—separuh yang dibayar oleh Kenneth. "Aku sudah bayar separoh, Rico. Itu sudah cukup!" jawab Agnes, mencoba mempertahankan diri.
Rico menyeringai tajam, tidak terkesan. "Separuh? Itu belum apa-apa, Agnes! Kamu janji, kan? Kamu janji lunas bulan ini! Jangan buat aku marah!" tambah Rico, suaranya semakin keras, penuh tekanan. "Aku nggak peduli siapa yang bayar separohnya! Hutangnya harus dilunasi! Kamu sudah lewat batas waktu!"
Hati Agnes berdegup lebih cepat. Ia ingin membela dirinya, tapi kata-kata Rico sudah menjeratnya. "Aku sudah berusaha! Aku nggak bisa begitu saja bayar utang 1 miliar! Kamu tahu itu!" jawabnya dengan emosi yang semakin meledak.
Rico mendekat, matanya berbinar dengan ancaman yang jelas. "Kamu harus bayar, atau rumah ini akan jadi jaminan! Dua minggu, Agnes. Kalau nggak lunas, aku akan ambil rumah ini!" kata Rico dengan suara tegas dan dingin, menegaskan ancaman yang menggantung.
Tiba-tiba, langkah kaki terdengar dari belakang, dan Agnes tahu itu adalah Kenneth yang baru pulang kerja. Begitu Kenneth masuk, ia mendapati situasi yang semakin memanas di hadapannya.
Kenneth yang baru saja masuk langsung menghentikan langkahnya. Wajahnya berubah muram, matanya menyipit menatap Agnes dan Rico dengan tajam.
"Apa yang terjadi di sini?" suara Kenneth keluar dengan dingin, jelas tidak senang melihat keadaan ini.
Agnes segera menoleh, tubuhnya terhuyung sedikit karena terkejut. "Rico menuntut semuanya dibayar lunas, Kenneth! Aku nggak tahu lagi harus gimana!"
Kenneth memutar bola matanya, kemudian memandang Agnes dengan tatapan dingin. "Kamu yang harusnya tahu gimana, Agnes! Kamu yang memulai semuanya sejak awal."
Agnes merasa darahnya mendidih.
“Kenapa kamu nggak full bayar?! Kenapa separuh-separuh aja?!"balas Agnes dengan nada yang mulai memuncak. "
Kenneth, yang sudah kesal, melangkah maju dengan nada yang lebih tajam. "Kamu pikir aku nggak mau bayar full? Aku sudah coba! Tapi kamu terus-menerus membiarkan semuanya makin kacau, Agnes!"
Rico yang melihat pertengkaran itu hanya diam, menunggu untuk mendengar keputusan. Agnes dan Kenneth berteriak satu sama lain, tak peduli lagi siapa yang mendengarkan.
Akhirnya, Kenneth yang mulai merasa kehilangan kontrol, berbalik kepada Rico. "Saya akan bayar lunas dalam dua minggu," kata Kenneth dengan suara dingin yang dipenuhi keputusan.
"Tapi rumah ini sebagai jaminan. Kalau dalam dua minggu saya belum bayar, kalian bisa ambil. Tapi beri saya waktu itu."
Rico mendengus puas, seakan menang. "Baiklah, dua minggu, tapi kalau nggak bayar, rumah ini jadi milik saya. Ingat itu, Kenneth!" katanya sebelum akhirnya berbalik pergi, meninggalkan mereka berdua yang masih terdiam dengan emosi yang menggelegak.
Setelah Rico pergi, suasana di rumah menjadi semakin mencekam. Agnes dan Kenneth berdiri berhadapan, amarah mereka masih menggelora, tak bisa lagi ditahan.
Kenneth berjalan ke arah Agnes dengan tatapan tajam. "Aku akan bayar utang itu, tapi kamu harus tahu, Agnes, ini semua karena kebohonganmu! Kenapa kamu nggak jujur dari awal?!"
Agnes terdiam sejenak, dan kemudian suara amarahnya keluar dengan keras, "Aku nggak punya pilihan, Kenneth! Kamu nggak tahu gimana beratnya semua ini! Semua tanggung jawab itu ada di pundakku!"
"Dan kamu pikir aku nggak tahu itu?!" balas Kenneth, menahan emosi yang hampir meledak. "Aku juga lelah, Agnes! Tapi kamu malah membuat semuanya semakin buruk dengan sikapmu!"
Kenneth melangkah maju, tatapannya tajam, penuh tekanan. "Dan juga, Agnes..." suaranya rendah, tetapi dinginnya menusuk, "kamu pinjam 1 miliar. Kamu apakan uang itu?!"
Agnes yang tadinya masih menatap Kenneth dengan marah, kini terdiam, wajahnya memerah karena campuran emosi dan rasa bersalah. Namun, Kenneth tidak berhenti.
"Kamu bilang sama aku, semuanya hanya 10 juta. Tapi nyatanya, Agnes... 1 miliar itu nggak sedikit. Itu banyak! Kamu apakan uang itu? Kamu gunakannya buat apa?!" suaranya semakin meninggi, frustrasi bercampur amarah.
Agnes mengepalkan tangannya, mencoba mempertahankan diri. "Aku... aku sudah pakai uang itu buat bayar utang-utang sebelumnya! Aku nggak tahu apa yang kamu harapkan, Kenneth! Aku juga nggak mau semua ini terjadi!" Bohong Agnes nyata nya ia berikan pada Rery si selingkuhan nya.
"Tapi kamu nggak pernah jujur sama aku!" bentak Kenneth, suaranya menggema di ruang tamu yang kini terasa semakin sempit.
"Kamu bilang hutangmu sudah lunas bulan ini. Kamu bilang semuanya selesai! Tapi apa?! Nyatanya apa, Agnes?! Itu belum lunas! Masih ada tanggungan lagi! Kamu nggak pernah cerita yang sebenarnya ke aku!"
Agnes menghempaskan tangan ke udara, ekspresinya marah dan tertekan. "Kamu pikir gampang?! Kamu pikir aku nggak capek?! Aku harus memikirkan semuanya sendiri, Kenneth! Kamu cuma tahu kerja, kerja, kerja! Kamu nggak pernah tahu apa yang aku alami!"
Kenneth mendekat, menatap Agnes dengan tatapan dingin yang menusuk. "Aku nggak tahu?!" suaranya rendah, tetapi penuh kemarahan terpendam.
"Agnes, aku kerja siang-malam, aku kasih semua yang aku bisa! Separuh gaji terakhirku aku berikan untuk bayar hutangmu, dan kamu masih bilang aku nggak peduli?!"
"Kalau kamu peduli, kamu kasih semuanya! Jangan setengah-setengah!" balas Agnes, suaranya pecah. Ia hampir menangis, tetapi amarahnya membuatnya tetap berdiri tegak. "Aku harus cari jalan sendiri, Kenneth! Aku yang menghadapi mereka! Aku yang jadi sasaran semua ini!"
Kenneth menggelengkan kepala dengan getir, seolah tak percaya. "Jangan balikkan semuanya keaku , Agnes. Kamu yang buat semua ini jadi lebih buruk dengan kebohonganmu. Kalau dari awal kamu cerita semuanya, kita nggak akan ada di situasi ini!"
Agnes meledak lagi, suaranya naik hingga mencapai nada tinggi yang penuh dengan frustrasi. "Aku cerita semuanya, lalu apa?! Kamu cuma akan menyalahkan aku lagi, kan?!"
Kenneth mengambil napas panjang, mencoba menenangkan dirinya, tetapi dadanya terasa sesak. "Agnes, aku ini suamimu. Kalau kamu nggak bisa percaya sama aku, kalau kamu terus berbohong seperti ini, bagaimana kita mau selesaikan semua ini bersama?"
Agnes tidak menjawab. Ia hanya berdiri di sana, tubuhnya bergetar karena emosi. Air matanya akhirnya jatuh, tetapi ia segera menghapusnya dengan cepat. "Kamu nggak pernah ada di posisiku, Kenneth. Kamu nggak akan pernah ngerti..."
Kenneth hanya menatapnya dengan pandangan yang lelah dan dingin. "Saya ngerti satu hal, Agnes. Kita nggak akan pernah selesai kalau kamu terus seperti ini."
Ia memalingkan wajahnya, seolah-olah tidak ingin melanjutkan pertengkaran ini lagi. Tetapi Agnes, dengan rasa sakit yang membara, tidak bisa membiarkan semuanya berakhir begitu saja.
"Jadi, kamu mau menyerah?!" serunya dengan suara yang bergetar. "Kamu pikir semua ini salahku?! Kalau kamu jadi aku, kamu nggak akan sanggup bertahan sehari pun!"
Kenneth tidak menjawab. Ia berjalan menuju pintu depan, mengambil jaketnya dengan gerakan kasar. Tanpa menoleh ke belakang, ia berkata dengan nada dingin, "Aku butuh waktu sendiri. Aku nggak tahu kapan aku akan pulang."
Pintu tertutup keras di belakangnya, meninggalkan Agnes yang berdiri sendirian di ruang tamu. Suasana hening, tetapi emosinya masih membara.