Debi menuruni jalan setapak yang menuju rumahnya dengan langkah cepat. Matahari mulai tenggelam, memberi warna keemasan di langit dan menyinari tubuhnya yang lelah setelah perjalanan panjang dari Sarolangun. Hawa desa yang sejuk dan tenang membuatnya merasa sedikit lebih ringan, meskipun hatinya terasa berat. Liburan semester ini adalah kesempatan pertama baginya untuk pulang, dan meskipun ia merindukan rumah, ada rasa yang tidak bisa ia jelaskan setiap kali memikirkan Ovil.
Debi sudah cukup lama tinggal di Sarolangun, bersekolah di sana sejak awal tahun ajaran baru. Sekolah di kota jauh berbeda dengan kehidupan di desa yang sudah dikenalnya. Di desa, segalanya terasa lebih sederhana. Namun, setelah dua tahun menjalani kehidupan kota, ia merasa bahwa dirinya sudah mulai terbiasa dengan keramaian dan rutinitas yang cepat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Debi Andriansah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
jalan yang terpisah
Setelah pertemuan yang berat itu, Debi merasa dunia seakan berubah dalam sekejap. Setiap langkah yang diambil terasa penuh dengan beban, tetapi dia tahu bahwa dia tidak bisa terus hidup dalam keraguan dan ketidakpastian. Keputusan yang diambil Ovil untuk tetap bersama Pandawa adalah sesuatu yang tidak bisa diubah, dan meskipun hatinya terluka, Debi harus menerima kenyataan itu.
Pagi setelah pertemuan di kedai kopi, Debi duduk di tepi jendela kamarnya, memandang keluar dengan pandangan kosong. Angin pagi yang sejuk menerpa wajahnya, tetapi tidak mampu menenangkan pikirannya. Perasaan campur aduk masih menguasai dirinya—rasa sakit karena melepaskan Ovil, rasa bingung tentang apa yang harus dilakukannya selanjutnya, dan juga rasa kesepian yang mulai menyelimutinya.
Meskipun dia tahu bahwa dia harus melanjutkan hidup, langkah pertama terasa begitu sulit. Beberapa hari terakhir, dia lebih banyak menghabiskan waktu di rumah, menghindari teman-temannya, dan berusaha menenangkan diri. Dia merasa kosong, tetapi pada saat yang sama, dia juga tahu bahwa hidupnya tidak bisa berhenti hanya karena cinta yang tidak terbalas.
Suatu sore, Redi datang menemuinya. Temannya itu tahu betul apa yang terjadi dengan Debi, dan meskipun Debi tidak pernah mengatakannya secara langsung, Redi selalu bisa membaca perasaannya.
"Deb, kamu nggak bisa terus begini," kata Redi dengan lembut, duduk di samping Debi yang masih termenung di jendela. "Kamu harus kembali bergerak. Ovil sudah membuat pilihannya, dan itu bukan kamu. Itu bukan salahmu, dan kamu nggak bisa terus meratapi sesuatu yang bukan untukmu."
Debi menunduk, merasakan perasaan yang campur aduk. "Aku tahu, Redi. Tapi rasanya sangat sulit untuk menerima kenyataan ini. Aku merasa... aku merasa seperti semuanya sia-sia."
Redi tersenyum, mencoba memberikan sedikit kenyamanan. "Debi, kamu lebih kuat dari yang kamu pikirkan. Ovil mungkin bukan orang yang tepat untukmu, tapi kamu akan menemukan seseorang yang akan menghargaimu lebih dari yang dia lakukan. Jangan biarkan perasaan ini menghambat masa depanmu. Kamu punya banyak hal yang bisa kamu capai."
Debi menghela napas panjang, matanya yang lelah menatap temannya. "Aku nggak tahu, Redi. Rasanya, setelah semua yang terjadi, aku nggak ingin jatuh cinta lagi. Aku nggak ingin terluka lagi."
"Jangan menutup hatimu begitu saja," jawab Redi dengan serius. "Cinta itu bisa datang kapan saja, tanpa kita duga. Jangan biarkan satu kegagalan merusak kesempatanmu untuk merasakan kebahagiaan sejati. Terkadang, kita harus mengalami rasa sakit untuk bisa lebih menghargai kebahagiaan yang datang di kemudian hari."
Kata-kata Redi menembus hatinya, meskipun masih ada keraguan yang menghantui dirinya. Dia tahu bahwa dia harus bergerak maju, tetapi perasaan yang terpendam begitu dalam. Redi benar, hidup tidak berhenti hanya karena satu cinta yang tidak terbalas. Namun, untuk mulai melangkah, Debi harus bisa melepaskan masa lalu dan membuka dirinya untuk masa depan yang lebih baik.
Sementara itu, di tempat lain, Ovil juga merasakan beban yang berat. Dia tidak pernah berniat untuk menyakiti Debi, tetapi perasaan cinta yang dimilikinya untuk Pandawa membuatnya merasa terjebak. Ia tahu bahwa hubungan LDR-nya dengan Pandawa penuh dengan tantangan, namun ia merasa bertanggung jawab untuk menjaga hubungan mereka, meskipun hatinya masih diliputi perasaan yang rumit terhadap Debi.
Pada suatu sore, Ovil memutuskan untuk berbicara dengan Pandawa. Mereka bertemu di sebuah taman yang sepi, tempat mereka biasa berbicara tentang berbagai hal. Ovil duduk dengan tatapan yang serius, sementara Pandawa menatapnya dengan cemas, seolah sudah merasakan ada yang tidak beres.
"Ada yang ingin aku bicarakan," kata Ovil dengan suara berat. "Aku tahu hubungan ini nggak mudah, dan aku nggak bisa terus membiarkan perasaan ini menggantung. Aku... aku merasa bersalah, Pandawa. Aku masih berpikir tentang Debi, dan itu mengganggu aku."
Pandawa terdiam, tidak tahu bagaimana harus merespon. "Kamu mencintai dia, ya?" tanya Pandawa pelan.
Ovil mengangguk, meskipun hatinya terasa hancur. "Aku nggak tahu harus bagaimana, Pandawa. Aku tahu aku harus berkomitmen padamu, tapi perasaan itu muncul lagi... Aku harus memilih antara kamu dan Debi, dan itu bukan pilihan yang mudah."
Pandawa menundukkan kepala, terlihat kecewa namun juga mengerti. "Aku tahu hubungan kita bukanlah yang mudah, Ovil. Aku sudah lama menerima kenyataan bahwa kita harus berjuang bersama, tapi aku nggak bisa memaksamu. Jika kamu merasa kamu lebih bahagia dengan Debi, aku nggak bisa menghalangi itu. Aku hanya ingin kamu jujur, Ovil."
Ovil merasakan beban yang semakin berat di dadanya. Ia tahu bahwa apapun keputusan yang diambil, seseorang pasti akan terluka. Namun, pada akhirnya, ia juga harus jujur pada dirinya sendiri.
"Debi nggak salah, dan aku nggak salah," kata Ovil pelan. "Tapi aku harus memilih jalan yang terbaik untuk diriku."
---
Bab ini adalah saat-saat introspeksi bagi kedua karakter utama. Debi berjuang untuk menerima kenyataan bahwa Ovil memilih jalan yang berbeda, sementara Ovil juga dihadapkan pada dilema antara cintanya pada Debi dan komitmennya pada Pandawa. Bab ini menggambarkan bahwa dalam cinta, tidak selalu ada jalan yang mudah, dan terkadang keputusan yang diambil akan meninggalkan bekas yang mendalam.