"Pokoknya aku mau Mama kembali!"
"Mau dibawa kemana anakku?!"
"Karena kau sudah membohongi puteriku, maka kau harus menjadi Mamanya!"
Tiba-tiba menjadi mama dari seorang gadis kecil yang lucu.
"Tapi, mengapa aku merasa begitu dekat dengan anak ini ya?"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon linieva, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
12. Dua Belas
“Terima kasih Pak. Ambil saja kembaliannya ya.” Alisha turun dari taksi setelah membayar ongkosnya.
“Kembaliannya kan hanya seribu doang Mba.”
“Jadi?” Alisha yang sempat mendengarnya berhenti berjalan dan menengok kebelakang, padahal sudah berada di depan rumah sakit, “Yang penting gak kurang kan?”
“I-iya Mba. Ma-makasih.”
“Hah… ada-ada saja, biasanya juga aku sering kasih lebihan yang banyak, tapi kebetulan saja aku pegang uang segitu, aku malas buka dompet lagi. Oh iya, dimana katanya ruangan Anisha?” Alisha mencoba menghubungi Sadewa lagi sambil dia berjalan.
“Hallo, Sadewa, dimana-
“Kau sudah dimana??? Kenapa kau masih belum datang???”
Alisha menjauhkan teleponnya karena suara teriakan Sadewa lagi.
“Akh… telingaku bisa berdarah karena suara teriakanmu! Aku sudah ada di rumah sakit, ruangannya dimana? Lantai berapa? Jangan teriak-teriak mulu! Heran deh!”
“Aku di lantai dua nomor 302! Cepat kesini-
Klik!
Karena sudah mendapat alamat yang jelas, Alisha yang ikutan emosi menutup teleponnya.
Sadewa menunggu dan menjaga Anisha di ruang pasien. Duduk disamping ranjang, dan mengusap kepala puterinya yang terpejam agar tenang.
Tok! Tok! Tok!
‘Kenapa dia mengetuk pintu? Bukankah langsung masuk saja?’
Tok! Tok! Tok!
‘Ck! Benar-benar menyebalkan!’ Sadewa pun berdiri dan berjalan menuju pintu untuk dibuka.
Ceklek!
“Kenapa kau tidak langsung masuk tanpa-
“Berisik!” Alisha melewati Sadewa dan masuk untuk melihat keadaan Anisha.
“Sayang, Mama sudah di sini sekarang.” Ucap Alisha dengan suara yang pelan dan lembut.
“Jangan bangunkan dia, baru saja dia tidur karena habis minum obat.”
Alisha hanya sekilas saja melihat wajah Sadewa karena kesal. Mereka berdua sama-sama emosi dan menahan amarahnya.
“Kenapa kau lama sekali datangnya? Apa kau masih sempat berleha-leha disana.”
“Hey! Tutup mulutmu! Kalau kau tidak tahu apa yang terjadi, jangan bicara sembarangan!”
“Apa? Kau berani-
“Ssshhttt! Apa kau tidak bisa melihat situasi sekarang? Anakmu sedang tidur, dan kau ingin membangunkannya?” bisik Alisha mengendalikan suaranya.
“Ikut aku, aku ingin bicara padamu.”
“Nanti saja, aku mau duduk disini sekalian istirahat-
“Aku bilang ikut aku!” Sadewa menarik pergelangan tangan Alisha untuk dibawa keluar.
‘Akh… kurang ajar sekali orang ini. Apa aku pukul saja kepalanya supaya dia juga pingsan?’
Mereka berdua pun sudah diluar.
“Jadi, katakan, apa yang ingin kau bicarakan di sini?” Alisha melipat kedua tangan didepan dadanya, bersikap acuh dan cuek.
“Aku tanya, apa kau begitu santainya di sana? Mentang-mentang aku mengijinkanmu pergi, tapi kau menyepelekan pekerjaanmu.”
“Hey, hey! Tunggu!” Alisha mengangkat dan menunjuk telapak tangannya didepan Sadewa agar berhenti bicara.
“Menyepelekan, kau bilang? Apa kau sedang asal bicara? Kalau aku tidak serius pada pekerjaanku, aku tidak mungkin bisa datang kesini dengan waktu yang begitu cepat ini kan? Kau bisa lihat perbandingan jam yang lalu dengan sekarang?”
Sadewa terdiam.
“Ingat ya, aku pergi, sudah minta ijin padamu. Aku bilang menginap di rumah kakak-ku, juga kau sudah mengijinkannya. Aku mengambil libur baru satu kali, dan itu memang hak-ku. Tapi apa? Beberapa jam kemudian, belum juga aku makan dan minum di rumah kakak-ku, kau sudah berteriak memanggil dan menyuruhku datang ke sini?” ucap Alisha meluapkan sebagian emosinya.
“Itu karena Anisha terus menangis mencarimu.”
“Kan aku bilang aku akan datang, tapi kenapa kau terus berteriak padaku?? Aku memang butuh uang dan pekerjaan, tapi bukan berarti aku harus terima dan sabar jika ada orang yang marah-marah, membentakku! Aku makhluk hidup loh, punya hati dan perasaan. Aku bukan benda mati!”
“Aku datang kesini secepat mungkin. Aku bukan burung yang punya sayap langsung terbang ke sini. Apa kau tidak bisa mengerti situasi orang lain? Heran deh…” Alisha melipat tangannya lagi, menghela napas, dan buang muka dari Sadewa.
Sebenarnya Alisha masih ingin meluapkan emosinya lagi, tapi karena Sadewa masih diam, dia pun diam. Satu kata saja keluar dari mulut Sadewa, Alisha akan menimpalinya dengan tumpukan kata-kata lagi.
‘Kenapa dia hanya diam? Sudah sadar?’
“Baiklah, aku minta maaf.”
“Itu makanya aku… ya? Barusan kau minta maaf padaku?” Alisha terkejut dengan apa yang dia dengar.
“Kau tuli?”
“Apa? Astaga…” kembali Alisha merasa kesal lagi, “Aku rasa permintaan maafmu itu hanya sekedar di mulut saja ya. Sudahlah, aku akan masuk kedalam dan istirahat disana. Aku capek karena rasanya aku melayang datang ke sini.” Alisha memilih menghindar. Belum juga dia masuk, Sadewa sudah pergi, ‘Hah… dasar gak punya perasaan. Tanya kek, mau minum apa, makan apa. Ya sudahlah. Sifatnya memang seperti itu.’
Alisha duduk ditempat Sadewa duduk tadi.
‘Matanya bengkak. Seberapa lama dia menangis?’
Setengah jam Alisha duduk menunggu dan menjaga Anisha, dan pintu terbuka lagi tanpa diketuk. Suara kecil itu membuatnya terbangun, “Ada apa lagi?” tanya alisha pada Sadewa yang baru masuk, dengan berbisik.
Sadewa masuk dengan membawa sesuatu yang bisa dimakan dan diminum ditangannya.
“Ini.” Diberikan pada Alisha.
“Hm? Apa ini?”
“Ambil saja. Itu bukan racun. Bukankah kau bilang kau belum makan atau minum?”
“Kau… membelinya untukku? Tumben. Kenapa? Apa kau merasa bersalah ya?”
“Ck, jangan banyak tanya, kau habiskan saja itu. Aku hanya mengantarkannya, dan aku akan pergi lagi. Tolong tetap disini dan jaga Anisha.”
“Iya, siap Bos!” Alisha sangat senang menerima pemberian Sadewa, secara dia memang membutuhkannya. Sadewa mencium kening puterinya sebelum dia benar-benar pergi, berangkat kerja.
Alisha menikmati roti dan minuman dingin dan manis, ‘Enak banget. Dia beli dimana sih? Nanti, kalau dia datang, aku ingin menanyakannya, aku ingin beli lagi.’
*
Alisha tertidur saat menunggu Anisha, “Mama… Mama..” dan Alisha terbangun ketika mendengar suara dari Anisha.
“Anisha, kamu sudah bangun Nak?” Alisha mengangkat kepalanya.
“Mama..” Anisha memeluk Alisha melepas kerinduannya.
“Iya Sayang, Mama sudah disini sekarang.”
“Mama dayimana saja? Kenapa Mama peylgi meninggalkanku?”
“Mama gak kemana-mana kok. Mama tadi ada urusan diluar. Mama kan sudah janji, gak akan pergi jauh lagi.”
Pelukan pun berakhir.
“Jangan menangis lagi ya. Matanya sudah bengkak begini, kayak mata ikan jadinya.”
“Hehehe…” Anisha malah tertawa ketika Alisha mengusap airmatanya.
Ceklek!
Tibat-tiba ada orang yang masuk, “Anisha! Anisha sayang, kamu sudah bangun?”
‘Siapa orang ini?’
Wanita itu adalah Miranda. Dia berlari mengabaikan Alisha dan memeluk Anisha. Entah dia sengaja atau tidak, dia menggeser Alisha untuk menjauh.
“Anisha, Tante sekarang sudah datang. Kamu pasti ketakutan ya.”
“Dia tidak akan takut, karena saya sudah ada di sini.” Kata Alisha.
Miranda melihatnya, “Kau siapa?”
“Saya? Saya adalah-
“Oh, kau pembantu barunya Sadewa ya?”
“Ya? pembantu?” Alisha melihat ada Dewi juga yang rupanya ikut datang bersama.
“Iya. Aku sudah tahu semuanya dari Dewi. Tapi, kenapa kau memegang tangan Anisha? Lepaskan tangannya!”