Trisya selama ini tinggal di Luar Negri. Dia harus kembali pulang ke Indonesia atas perintah ibunya. Ibunya khawatir dengan perusahaan yang dikuasai ibu tirinya. Hal itu membuat Trisya mau tidak mau harus bergerak cepat untuk mengambil alih Perusahaan.
Tetapi ternyata memasuki Perusahaan tidak mudah bagi Trisya. Trisya harus memulai semua dari nol dan bahkan untuk mendapatkan ahli waris perusahaan mengharuskan dia untuk menikah.
Trisya dihadapkan dengan laki-laki kepercayaan dari kakeknya yang memiliki jabatan cukup tinggi di Perusahaan. Pria yang bernama Devan yang selalu membanggakan atas pencapaian segala usaha kerja keras dari nol.
Siapa sangka mereka berdua dari latar belakang yang berbeda dan sifat yang berbeda disatukan dalam pernikahan. Devan yang percaya diri meni Trisya yang dia anggap hanya gadis biasa.
Bagaimana kehidupan Pernikahan Trisya dan Devan dengan konflik status sosial yang tidak setara? apakah itu berpengaruh dengan pernikahan mereka?"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ainuncepenis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 34 Mulai Sibuk.
"Kamu sedang mengerjakan apa?" tanya Trisya.
"Proyek di Singapura. Aku mengecek cara pengerjaannya," jawab Devan yang memperlihatkan kepada istrinya.
Trisya mendekat dan bahkan kepalanya sudah bersandar di bahu Devan. Devan juga merangkul Trisya.
"Kamu mendapatkan proyek baru?" tanya Trisya.
"Iya," jawab Devan.
"Kamu pasti sangat sibuk sekali nantinya," sahut Trisya.
"Kamu juga pasti akan sibuk dengan jabatan baru kamu. Kamu akan memulai semuanya, bertemu banyak klien," ucap Devan.
"Jika kita berdua sama-sama sibuk. Apa itu tidak akan pengaruh untuk pernikahan kita?" tanya Trisya yang melihat ke arah Devan
Wajah Trisya tampak serius dan sepertinya pertanyaan itu bukan hanya sekedar pertanyaan saja dan memiliki makna.
"Kita sama-sama bekerja dalam dunia yang sama. Kita juga bekerja dalam satu Perusahaan yang sama. Aku rasa tidak akan terjadi jarak diantara kita. Justru kita berdua bisa melakukan segala sesuatu secara bersamaan. Seperti yang kita lakukan beberapa hari belakangan ini, pergi ke kantor bersama, sarapan di jalan bersama, makan siang bersama, pulang bersama dan mungkin waktu-waktu yang sedikit yang kita miliki justru menjadi penguat hubungan di antara kita," jawab Devan.
Trisya tersenyum dan memeluk lengan Devan. Dia mendadak manja pada suaminya.
"Aku juga berharap kita berdua terus semakin dekat dan walau kita berdua memiliki kesibukan masing-masing," sahut Trisya.
"Iya, aku juga mengharapkan yang sama dan aku juga berharap komunikasi kita berdua tetap lancar dan tidak berjarak," sahut Devan.
"Iya," sahut Trisya.
"Hmmmm.....Kamu tahu tidak apa yang aku lakukan tadi malam," ucap Trisya yang mengusap-usap lembut dada Devan
"Apa yang kamu lakukan?" tanya Devan dengan alis terangkat.
Trisya mengangkat kepalanya yang melihat ke arah suaminya itu, "aku menunggu kamu tadi malam sampai aku ketiduran di sofa. Kamu lama sekali datangnya. Aku merasa sia-sia telah menunggu kamu dan kamu juga tidak membangunkanku," jawab Trisya.
"Kenapa menungguku?" tanya Devan.
"Karena aku mengingat apa yang kamu katakan di mobil," jawab Trisya.
Devan melihat penampilan istrinya dan dia memang tidak peka tadi malam. Mungkin karena memang istrinya sangat cantik dan tidak ada yang berubah sama sekali. Devan yang sudah mulai mengerti langsung mengeluarkan tersenyum dan terlihat ada penyesalan di wajahnya yang tadi malam kurang peka dan seharusnya dia membangunkan Trisya saja
Devan meletakkan tabletnya di atas meja dan lebih mengeratkan pelukannya pada istrinya itu.
"Jadi kamu benar-benar menungguku tadi malam?" tanya Devan memastikan sekali lagi.
Trisya menganggukkan kepalanya.
"Pantas sampai pagi ini kamu masih begitu sangat harum. Lalu menurut kamu apa tadi malam aku harus membangunkan kamu?" tanya Devan.
"Kenapa tidak?" tanya Trisya yang memang ingin mereka melakukan hubungan itu tadi malam.
"Tapi aku takut kamu marah dan kalau kamu marah terlihat begitu sangat menyeramkan sekali yang semua orang bisa takut kepada kamu dan bahkan pimpinan juga sangat takut kepada kamu," jawab Devan.
Trisya tersenyum dengan mengangkat kepalanya yang kembali saling melihat dengan Devan.
"Meski semua orang takut padaku. Tetapi ada satu yang paling aku takuti di dunia ini," ucap Trisya.
"Tuhan?" tanya Devan.
"Kalau takut pada Tuhan itu pasti nomor satu. Tetapi ada satu lagi," jawab Trisya.
"Apa?" tanya Devan.
"Aku takut kamu yang marah padaku, aku takut melakukan kesalahan yang membuat kamu marah, aku takut salah bicara yang membuat kamu tersinggung, Aku takut sekali jika terjadi salah paham di antara kita berdua," jawab Trisya.
Devan tersenyum mendengarnya. Devan akan semakin jatuh cinta kepada istrinya itu yang memang sangat jelas melihat ketulusan Trisya.
"Aku juga takut, jika kita berdua akan terlibat kesalahpahaman dengan masalah-masalah yang tidak perlu," sahut Devan.
"Kalau begitu mari berjanji satu sama lain," ucap Trisya.
"Mau berjanji apa?" tanya Devan.
"Berjanji padaku bahwa kita berdua harus saling mempercayai satu sama lain, kita berdua harus saling mengerti, kita berdua harus terus berpikir positif dan tidak boleh berpikir negatif antara satu sama lain," ucap Trisya dengan mengacungkan jari kelingkingnya.
"Kamu mau berjanji padaku?" tanya Trisya.
Devan menganggukkan kepalanya yang juga mengacungkan jari kelingkingnya dan menyatukan pada Trisya.
"Aku juga akan berjanji pada diriku sendiri. Bahwa aku sudah menerima semua pernikahan ini dan tanpa memikirkan hal-hal lain lagi. Aku percaya diri dengan pernikahan ini dan tidak menganggap bahwa aku terjebak dalam pernikahan ini," jawab Devan.
Trisya mengangguk tersenyum, "makasih sudah mau berusaha untuk itu," ucap Trisya.
Devan mengangguk. Devan yang mencium lembut kening Trisya. Mata mereka berdua bahkan masih tetap saling menatap begitu dalam.
Devan bukan hanya mencium lembut kening Trisya. Tetapi juga mencium pipi kanan dan pipi kiri Trisya. Trisya memejamkan matanya menerima ciuman itu dan ciuman Devan yang juga turun pada bibir ranum milik Trisya.
Mereka berdua berciuman romantis dengan posisi Devan yang sudah berada di atas tubuh Trisya yang berbaring di bawahnya.
Tangan Trisya yang juga dikalungkan di leher Devan dengan ciuman mereka berdua yang semakin dalam yang saling bertukar saliva. Mungkin kah malam yang tertunda itu akan digantikan di pagi hari ini.
Tangan Devan yang yang ternyata sangat cepat sekali bergerak yang sudah melepaskan tali piyama istrinya itu. Ciuman itu sudah pindah ke leher jenjang Trisya yang memberikan tanda kepemilikan di sana. Sejak tadi mata Trisya hanya terpejam yang menikmati sentuhan suaminya dengan tangannya yang juga digenggam Devan.
Trisya tidak bisa menggambarkan apa yang dia rasakan saat ini yang dia rasakan hanyalah kenikmatan yang tidak pernah dia rasakan.
"Devan tunggu dulu!" Trisya tiba-tiba saja menghentikan permainan itu dengan menahan dada suaminya yang membuat jarak diantara mereka.
Nafas Devan dan Trisya sama-sama naik turun dengan tatapan mata mereka berdua yang sayu yang sangat cepat dipenuhi gairah.
"Ada apa Trisya?" tanya Devan dengan suara berat.
"Devan kita sepertinya tidak bisa melanjutkan apa yang tertunda pagi ini," ucap Trisya yang sejak tadi sangat menahan diri.
"Memang kenapa? Ini hari Minggu dan kita berdua tidak ada kegiatan untuk bekerja?" tanya Devan
"Tapi aku ada janji dengan klien besar hari ini," jawab Trisya.
"Oh iya," sahut Devan.
"Benar sekali dan sepertinya aku juga sudah telat. Aku minta maaf tidak bisa melanjutkan semua ini," ucap Trisya yang merasa tidak enak.
Devan tersenyum dengan mengangguk yang mencium lembut kening Trisya dan juga mengecap sekilas bibir istrinya itu.
"Tidak apa-apa. Kamu sama sekali tidak perlu memikirkan hal itu. Kamu baru saja memulai pekerjaan kamu dalam jabatan kamu dan sangat wajar kamu harus menemui klien dan untuk masalah kita berdua bisa nanti saja," sahut Devan yang ternyata begitu sangat pengertian.
"Kamu tidak marah padaku?" tanya Trisya.
"Aku sama sekali tidak punya alasan untuk marah pada kamu. Jadi jangan memikirkan hal itu," jawab Devan yang membuat Trisya lega dan langsung memeluk Devan.
"Maafkan aku ya," ucap Trisya.
"Kamu sama sekali tidak perlu meminta maaf," sahut Devan dengan mengusap-usap rambut Trisya.
Dia harus memahami istrinya, karena dia juga pekerja kantoran dan sangat tahu betapa beratnya masa-masa yang dihadapi Trisya pada awal-awal pekerjaannya.
Bersambung....
mungkin nenek sudah tenang karena perusahaan itu sudah di pegang oleh Trisya, karena itu dia tenang meninggalkan dunia ini
sama² punya tingkat kepedean yg sangat luar biasa tinggi