NovelToon NovelToon
Cerita Dua Mata

Cerita Dua Mata

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Cinta Terlarang / Identitas Tersembunyi / Kaya Raya / Misteri Kasus yang Tak Terpecahkan / Kriminal dan Bidadari
Popularitas:1.6k
Nilai: 5
Nama Author: R M Affandi

Sebelum Mekdi bertemu dengan seorang gadis bercadar yang bernama Aghnia Humaira, ada kasus pembunuhan yang membuat mereka akhirnya saling menemukan hingga saling jatuh cinta, namun ada hati yang harus dipatahkan,dan ada dilema yang harus diputuskan.

Mekdi saat itu bertugas menyelidiki kasus pembunuhan seorang pria kaya bernama Arfan Dinata. Ia menemukan sebuah buku lama di gudang rumah mewah tempat kediaman Bapak Arfan. Buku itu berisi tentang perjalanan kisah cinta pertama Bapak Arfan.

Semakin jauh Mekdi membaca buku yang ia temukan, semakin terasa kecocokan kisah di dalam buku itu dengan kejanggalan yang ia temukan di tempat kejadian perkara.

Mekdi mulai meyakini bahwa pembunuh Bapak Arfan Dinata ada kaitannya dengan masa lalu Pria kaya raya itu sendiri.

Penyelidikan di lakukan berdasarkan buku yang ditemukan hingga akhirnya Mekdi bertemu dengan Aghnia. Dan ternyata Aghnia ialah bagian dari...

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon R M Affandi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter Kedelapan Buku Itu

“Mata itu menipumu. Kerinduan di hatimu tidak akan usai dengan sebuah pertemuan. Mata itu akan meminta pertemuan-pertemuan selanjutnya, jika kau terlalu mendewakan kerinduan yang berdiam di ruang pandangmu.”

Aku membuka mataku, dunia terasa kabur dan samar. Suara-suara di sekitarku terdengar jauh, seperti datang dari tempat yang sangat jauh. Pusing dan berat di kepala membuatku sulit untuk fokus, sementara tubuhku terasa lemah. Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba mengumpulkan kekuatan perlahan-lahan.

Saat pandangan mulai jelas, aku menyadari bahwa aku sedang terbaring di ranjang Puskesmas. Ibuku berada di sampingku saat itu. Mata beliau tampak merah seperti habis menangis, dengan sorot matanya yang tampak cemas dan penuh kekhawatiran.

“Jangan banyak bergerak dulu Nak, kondisimu masih lemah,” ucap Ibuku menahan tubuhku yang mencoba untuk duduk saat itu.

Aku meraba-raba keningku yang terasa perih. Ada perban yang menempel di alis sebelah kiriku yang membuat kepalaku terasa berdenyut. Luka di balik perban itu sangat terasa di bandingkan luka lain yang ada di bagian siku dan lututku.

“Dimana Ayah?” tanyaku cemas, teringat pada Ayahku yang mungkin akan memarahiku. Aku masih ingat bagaimana kondisi sepeda motor Ayahku sebelum aku pingsan akibat kecelakaan hari itu.

“Ada di luar. Tadi Ayahmu sedang menelpon atasannya. Mau Ibu panggilkan?” tanya Ibuku melihat keluar ruangan tempatku di rawat.

“Apa Ayah marah?” tanyaku memegangi tangan ibuku yang hendak berjalan keluar.

“Tidak Nak! Ayah mana yang akan marah melihat kondisi anaknya seperti ini?

“Motor Ayah pasti rusak parah?

“Sudahlah! Kamu jangan khawatirkan motor itu. Yang penting kamu selamat Nak.” Ibuku mengusap keningku. “Lain kali hati-hati!” ujar beliau tersenyum.

“Apa kita jadi ke Pekanbaru?

“Jadi! Kamu harus cepat sembuh. Ayahmu tidak bisa izin lama-lama. Setelah kondisimu pulih, kita langsung berangkat,” terang Ibuku.

Aku memeriksa saku celana jeans pendek yang aku kenakan, teringat pada handphoneku.

“Hpmu ada pada Ayah. Tadi ada yang nelpon!” ujar Ibuku mengerti dengan apa yang aku lakukan.

“Mungkin Rani yang menelponku. Dia pasti sudah lama menungguku di sana,” pikirku mengeluhkan apa yang terjadi.

Aku tak dapat melakukan apa-apa di saat itu. Jangankan untuk menemui Rani, untuk bergerak saja tubuhku sangat terasa sakit. Pertemuan yang ku harapkan di hari itu tak pernah terjadi. Angan-angan yang ingin ku wujudkan sebelumnya, sia-sia dilerai tragedi hari itu.

Seminggu berlalu, akhirnya apa yang sebenarnya tidak aku inginkan terjadi. Aku dan keluarga berangkat menuju ke kota Pekanbaru. Walau tubuhku belum benar-benar pulih di saat itu, namun pekerjaan Ayahku yang mendesak, membuat kami harus segera pergi. Perban yang masih menempel di keningku, tak dapat menghentikan keputusan Ayahku di hari itu.

Menjelang hari kepergianku ke kota Pekanbaru, aku tak mendapatkan kesempatan menemui Rani. Melihat kondisiku yang masih belum pulih sepenuhnya, Ayahku tidak memberiku izin untuk memakai sepeda motor miliknya. Aku dan Rani, hanya bisa berbagi pesan seperti biasanya.

Dalam pesannya Rani menuliskan, “kerinduan di antara kita tidak akan usai dengan sebuah pertemuan. Kerinduan akan meminta pertemuan-pertemuan selanjutnya jika kita terlalu memanjakan kerinduan itu. Katakan pada rindumu untuk tegar dan berjanjilah padanya bahwa kamu akan pulang untuk sebuah pertemuan yang takkan terpisah lagi.

Setelah Membaca untaian kata dari Rani, aku menguatkan niat dalam hatiku untuk berdamai dengan kerinduan hati yang meskipun kurasa itu takkan mudah. Ku harus bisa menjauh dari kampung dan orang-orang yang selama ini menemani hari-hariku. Aku berjanji pada diriku untuk bisa mewujudkan masa depan yang pernah aku ceritakan bersama Rani, dan menemuinya kembali sampai tak ada lagi alasan yang dapat memisahkan kami.

Aku mulai menapakkan kakiku di tanah Pekanbaru di awal juni tahun 2000. Di sebuah kawasan yang sangat megah, dengan puluhan bangunan yang menggapai awan hampir di setiap sudut kotanya, aku kembali berbaur dan melangkah. Gedung-gedung pemerintahan, pusat perbelanjaan, dan perumahan elit yang bagai istana kerajaan, menjadi saksi baru cerita hidupku.

Jalan lebar kota itu dipisahkan oleh trotoar yang berpagar, dihuni ratusan kendaraan yang berdesak-desakkan seperti semut yang berjalan. Tanah-tanah pinggirnya yang banyak ditutupi semen, namun tetap ditumbuhi pohon-pohon, membuat pepohonan itu terlihat seperti tumbuh di atas beton. Aku yang meninggalkan kota itu di ketika usiaku baru menginjak lima tahun, sungguh telah kehilangan apa yang pernah ku lihat di masa kecilku dulu.

Hari-hari kembali kulanjutkan di tengah kota Pekanbaru. Ku terus menggapai cita-citaku dengan hati yang dipenuhi rasa rindu. Beban di hati terasa sedikit terkurangi saat kata-kata penyemangat dari Rani selalu hadir mengisi waktu yang kulalui. Kami masih selalu menjalin ikatan perasaan walau hanya lewat pesan. Rasa cinta di jiwaku selalu bertambah tumbuh meskipun aku dan Rani terpisah jauh, dan jaringan seluler menjadi penyubur rasa itu.

Tapi semua tidak berlangsung lama. Enam bulan berlalu, Tuhan kembali mengatur drama yang tak ramah terhadap cita-cita yang selalu kujaga. Lagi-lagi Tuhan ingin tunjukan bahwa kuasanya tak sejalan dengan takdir yang selalu kubayangkan. Tuhan ingin buktikan bahwa kuasanya lebih besar dari harapan yang selalu kudoakan.

Keluargaku di datangi oleh musibah yang membuat jalan hidupku berubah. Ayahku kehilangan pekerjaannya secara tiba-tiba. Beliau yang berkerja sebagai awak kapal, dipecat oleh pemilik perusahaan tempat beliau berkerja.

Namun yang paling membuat keluargaku terpukul, Ayahku tidak hanya dipecat secara paksa, namun juga harus ikut membayar sejumlah kerugian yang di alami pihak perusahaan. Kapal Peri yang beliau nahkodai mengalami kebakaran di tengah lautan, mengakibatkan sejumlah korban jiwa, dan perusahaan tempat Ayahku berkerja harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit. Ayahku yang menjadi ketua tim awak kapal tersebut, dianggap lalai oleh perusahaan kapal Peri, sehingga beliau harus mengeluarkan sejumlah uang yang ditagih oleh pihak perusahaan.

Setelah musibah itu terjadi, Ayah dan Ibuku memutuskan untuk kembali pulang ke rumah kami yang ada di kampung Lengayang. Kecelakaan yang ditimbulkan Ayahku di dunia pelayaran, membuat beliau tidak diterima di perusahaan kapal manapun yang ada di kota Pekanbaru. Beliau tidak bisa lagi mencari nafkah di kota itu, sehingga beliau tidak punya pilihan lain, selain hidup di kampung sebagai seorang petani.

Malam menjelang keberangkatan Ayah dan Ibuku, aku berpikir keras di saat itu. Orang tuaku akan kembali ke kampung esok hari, sementara aku belum bisa memutuskan kemana aku harus pergi.

“Fan! Sebaiknya kamu pulang saja bersama kami. Jangan menyusahkan bibimu di sini, beliau sedang sakit dan suaminya juga butuh biaya banyak untuk pengobatannya. Bibimu tidak akan mungkin bisa membantu biaya kuliahmu,” saran Ayahku di malam itu.

Bibiku mengidap penyakit gagal ginjal. Beliau harus melakukan cuci darah rutin tiap minggu dengan biaya yang tidak sedikit. Semenjak bibiku di diagnosis penyakit itu, kondisi ekonomi keluarga bibiku menjadi memburuk, karena suami beliau hanya berkerja sebagai pegawai negeri biasa.

Bersambung.

1
Riani
lebih ke perasaan
wekki
semangat thor
Marissa
Rata-rata baca buku harian, tapi penasaran juga
Robi Muhammad Affandi: Terimakasihh dukungannyaa😁
total 1 replies
Marissa
ini cerita misteri apa cinta? /Grin/
Hietriech Ladislav
dah mampir nih 🫡 next mampir baca novel saya & beri komen
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!