Yessi Tidak menduga ada seseorang yang diam-diam selalu memperhatikannya.
Pria yang datang di tengah malam. Pria yang berhasil membuat Yessi menyukainya dan jatuh cinta begitu dalam.
Tapi, bagaimana jika pacar dari masa lalu sang pria datang membawa gadis kecil hasil hubungan pria tersebut dengan wanita itu di saat Yessi sudah ternodai dan pria tersebut siap bertanggung jawab?
Manakah yang akan di pilih? Yessi atau Putrinya yang menginginkan keluarga utuh?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Baby Ara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7
"Naik lah," kode Regan dengan gerakan kepala pada Yessi. Menunjuk motornya terparkir di sudut basement. Regan meraih helm yang tergantung di kaca spion kanan.
Yessi menggaruk kepalanya, bingung cara untuk duduk di jok belakang dan Regan menangkap ekspresinya itu dari kaca spion.
"Kenapa?" tanya Regan menghadap Yessi sepenuhnya. Ditanya begitu, Yessi tercengir malu.
"Ini, Mas. Saya pendek. Motor mas tinggi banget. Gimana cara saya naiknya coba?" tunjuk Yessi pada motor trail merah milik Regan.
"Siapa suruh kerdil," ujar Regan sadis lalu menaiki motornya terlebih dahulu. Regan menyodorkan lengannya pada Yesi yang terlihat cemberut karena perkataannya.
"Pegang tangan saya," instruksi Regan.
Ia mengerti, Yessi kemungkinan tidak enak untuk menyentuh anggota tubuhnya tanpa seizin dirinya.
Yessi menurut, tangan mungilnya berpegangan di lengan berotot Regan. Setelah Yessi duduk di balik punggungnya, Regan memberikan helm berwarna pink yang tergantung di kaca spion kiri.
"Ini punya pacar, mas?" tanya Yessi penasaran seraya memakaikan helm di kepalanya sendiri.
Regan berdehem sebagai jawaban.
"Tapi, kok kayak baru ya? Wanginya itu persis banget"
"Mau tanya jawab, apa pergi?" Regan terdengar kesal.
"Ya, pergi dong, Mas."
Yessi mengambil sedikit jarak agar tidak terlalu menempel, tapi Regan menarik tangan Yessi melingkarkan di perutnya sendiri.
"Eh?" Yessi terkejut karenanya.
Kepala pria di depan Yessi itu sedikit me-miring dengan tangan menekan tombol stater motor.
"Mau cepat kan? Jadi, jangan ada drama kamu jatuh."
Yessi tak lagi menolak. Memang benar, mereka harus cepat menemukan Bima. Yessi tidak berdoa jahat, tapi bagaimana jika Bima memang sedang dalam bahaya dan butuh pertolongan?
Regan dan Yessi menembus dinginnya malam. Beruntung, Yessi tadi sempat berganti pakaian. Jika tidak, ia bisa masuk angin. Beberapa persimpangan jalan di lewati keduanya dengan hening. Suasana mencekam dengan kilatan guntur, tanpa sadar membuat Yessi mengeratkan pelukannya di tubuh hangat Regan.
"Mas, masih jauh ya?" Kepala Yessi menyembul antara pundak dan leher Regan.
"Dua belokan lagi," sahut Regan yang fokus kedepan. Tapi, bibirnya menerbitkan seringai penuh arti.
Yessi di buat terkejut, lampu motor Regan tiba-tiba mati total.
"Mas, kenapa dengan lampu motornya?!" seru Yessi panik. Ia mulai berpikir yang tidak-tidak tentang Regan.
Regan tidak menjawab malah menarik kencang gasnya hingga Yessi mau tidak mau menempel bagai cicak di punggung Regan. Mata Regan sesekali melirik kaca spion.
Motor trail di tunggangi keduanya, melesat masuk di sebuah gedung terbengkalai. Berputar-putar lalu berhenti di tempat paling sudut dipenuhi tumpukan drum bekas. Regan mematikan mesin motornya.
"Turun!" perintahnya sedikit kasar pada Yessi.
Yessi turun dengan lutut bergetar hebat. Kakinya menapak pada lantai semen sudah berlubang dan dipenuhi lumut hijau.
"Disini tempatnya, mas?"
"Bukan." Regan mendekati Yessi yang spontan mundur. Pencahayaan minim membuat kaki Yessi beberapa kali tersandung sesuatu dan itu sedikit membuat nyeri mata kakinya.
"La-lalu, kenapa mas bawa saya kesini?"
"Berhenti, Yessi."
Yessi menggeleng lantas hampir berlari. Tapi, pergelangannya di raih Regan. Sontak, Yessi berteriak minta di lepaskan. Dirinya bertambah takut karena tempat itu jauh dari pemukiman warga.
Pergerakan Yessi terhenti, mendengar suara knalpot motor besar yang mendekat.
"Tol--"
Regan membekap mulut Yessi dengan telapaknya lalu menarik Yessi ketempat paling gelap. Yessi tersudut di balik pilar besar dengan Regan berdiri di depannya. Mata tajam Regan, seperti elang memantau sekitar.
"Jangan bersuara," perintahnya tapi mendapat gelengan dari Yessi. Mata Yessi berkaca-kaca.
"Hmmmp!"
Suasana hening membuat seseorang yang baru turun dari motor besarnya mendengar gumaman Yessi. Ia memang mengikuti Regan. karena Regan membawa Yessi dan ia melihat dengan mata kepalanya sendiri. Regan berbelok di gedung tua ini.
"Regan! Keluar lah!" teriaknya menggelegar. Tangannya mengeluarkan sesuatu dari balik punggung.
Pistol.
'Sean?'
Yessi sangat yakin, itu suara Sean. Meski jarang berinteraksi, suara berat Sean sangatlah khas.
"Ck." Regan berdecak, Menyadarkan Yessi untuk memberontak lagi. Tanpa perduli Regan akan terluka, Yessi mengigit telapak Regan kuat.
"Jangan salahkan saya, Yessi," bisik Regan lalu menyelipkan salah satu tangannya di belakang leher Yessi, menahan saat wajahnya mendekat miring.
Cup!
Mata Yessi membulat sempurna. Regan mengambil ciuman pertamanya. Tangan Yessi meremas kusut jaket hitam bagian depan dada Regan.
"Regan! I said, come out!" Sean lagi-lagi berteriak. Di susul bunyi peluru di lepaskan ke udara.
"Hmmmp!"
Yessi terkejut memukul dada Regan. Daging liat itu membuat tangannya sakit. Regan menjauhkan sedikit wajahnya. Hanya ciuman, tidak lebih. Tapi, akan selalu membekas di ingatan Yessi.
"Diam, bisa?"
Yessi mengangguk terpaksa untuk patuh. Napas berbau mint Regan tercium sangat wangi menerpa hangat wajah Yessi membuat Yessi memuji ketampanan pria dingin itu dalam hati.
'Yessi bodoh! Ini bukan saatnya kasmaran. Fokus sama keadaan!' rutuk Yessi kesal pada dirinya sendiri.
Sean tidak menemukan Regan dan Yessi. Menendang kuat ban depan motornya.
"Jelas-jelas, aku melihat mereka tadi berbelok disini. Kemana mereka pergi?!" mata Sean tiba-tiba terbelalak lebar.
"Jangan-jangan?" Sean memikirkan satu tempat. Segera saja, Sean menaiki motornya lalu melesat kencang di jalan raya.
Regan dan Yessi keluar dari persembunyian. Banyak pertanyaan di otak Yessi, terutama, kenapa Sean terlihat sangat marah pada Regan?
"Kamu akan tahu jawabannya nanti." Tiba-tiba Regan berkata begitu, seakan-akan tahu, apa yang sedang di pikirkan Yessi.
Keduanya berkendara kembali. Yessi tidak ragu lagi memeluk Regan erat. Rintik gerimis yang turun membasahi keduanya, tidak membuat Regan memelankan laju motornya.
Setengah jam berlalu. Keduanya tiba di tengah hutan belantara yang terdapat rumah kayu tanpa penerangan sama sekali. Suara minta tolong bercampur rintihan terdengar mengerikan.
"Bima?"
Yessi sangat mengenali suara tersebut. Sudah hapal di luar kepala lebih tepatnya. Yessi nyaris berlari mendekati rumah angker itu, sebelum Regan menunjuk seseorang yang membuka pintu rumah dengan pencahayaan ponsel.
"Mas Sean ...," bibir Yessi bergetar menyebut nama itu. Ia tak percaya akan apa yang di lihatnya sekarang.
Regan menyeringai. "Tidak semua orang di sekitarmu itu baik, Yessi." peringat Regan penuh arti. Keduanya tengah bersembunyi di balik pohon besar di kelilingi semak belukar.
Regan mengeluarkan pisau lipat sangat tajam dan mengkilap dari saku jaketnya.
"Tunggu disini," pesan Regan lalu meninggalkan Yessi sendirian, belum sempat gadis itu menahannya.
Yessi melirik sekitarnya takut-takut. Ular adalah binatang paling Yessi takuti. Tak henti, ia panjatkan doa dalam hati.
Suara baku hantam terdengar dari dalam rumah. Menyita perhatian Yessi. Benda-benda dalam rumah tersebut, terdengar berjatuhan dilantai seperti terbentur sesuatu.
Dor!
Bunyi peluru ditarik memekikan telinga. Yessi mengigiti kukunya mondar-mandir. Bingung apa yang harus ia lakukan sekarang.
Tak lama, semua hening. Di susul terbukanya pintu dengan cara di tendang. Yessi mundur, melihat cahaya ponsel yang mendekat dan menyorotnya.
"Ini saya," ujar Regan datang dengan memanggul sesuatu.
Ternyata itu tubuh Bima. Yessi segera bersimpuh meletakan kepala Bima di pangkuannya. Laki-laki muda itu masih sadar, tapi sangat lemah. Tangan Yessi bergetar mengusap darah yang mengering di pelipis Bima.
"Bim, bertahan ya. Gue mohon ... hiks ... Bertahan demi orang-orang yang lo cintai ...."
"Ye-yessi," ucap Bima nyaris tidak terdengar.
Mata Regan menajam tanpa Yessi tahu. "Menangis tidak menyelesaikan masalah. Minggir, saya akan membawanya menuju jalan raya. Ambulans sudah menunggu.
Yessi menghapus air matanya. Benar, Bima memang harus cepat ditangani. Yessi berjalan tertatih di belakang Regan yang mengendong Bima di punggung.
"Mas, bagaimana dengan mas Sean?"
"Ck, mas lagi!" sewot Regan. "Kenapa? Kamu ingin menolongnya? Sana tolong!"
"Bukan begitu." Yessi cepat menggeleng meski Regan tidak melihatnya. "Maksud saya, takutnya dia terluka karena perkelahian kalian tadi."
Mendengar itu, Regan berdecak sinis. "Sama saja. Intinya kamu tetap ingin menolong orang yang menculik sahabatmu. Dengar Yessi, itu akibat dari orang yang suka mencampuri urusan orang lain."
Regan melirik Yessi dari ujung matanya. "
"Jangan lapor polisi," ujarnya membuat Yessi tidak mengerti.
Bukan kah bagus, Sean bisa langsung di penjara dan motif di balik kasus ini bisa diusut tuntas?