Cerita Dua Mata

Cerita Dua Mata

Misteri Kematian Arfan Dinata

Mekdi mengenakan seragam lengkap dengan topi dan lencana, sedang berdiri di depan lemari tua yang terbuat dari kayu jati berwarna gelap. Tangan kanannya perlahan membuka pintu lemari yang berderit, memperlihatkan interior lemari yang dipenuhi oleh debu dan sarang laba-laba.

Wajahnya terlihat tegang, matanya fokus meneliti setiap sudut dalam lemari, mencari sesuatu yang penting untuk memecahkan sebuah teka-teki kematian seorang pria paruh baya yang kaya raya. Cahaya redup dari jendela gudang rumah itu, menerangi bagian lemari yang terbuka, dan menyinari setiap sisi di dalamnya.

Mekdi menemukan sebuah buku usang yang tergeletak di dalam laci yang ada di lemari itu. “Lemari sebesar ini hanya berisi buku tua?” bisik Mekdi dalam hatinya sambil menutup laci seperti semula, dan kemudian membersihkan debu yang menempel pada buku yang ditemukannya.

Ia kembali memperhatikan isi lemari. Lemari itu benar-benar kosong. Rak-rak yang di rancang dalam lemari itu hanya berisi debu, dan beberapa sarang laba-laba yang terajut di setiap sudut sisinya. Dan bunyi nyamuk yang bermalam di dalam lemari itu, mulai berdengung di telinga Mekdi.

Mekdi kembali menutup pintu lemari itu. Bau khas lemari lama mulai menghilang dari hidungnya. Ia memperhatikan buku yang baru saja ditemukannya.

Sampul plastik berwarna hijau yang melindungi buku itu telah usang dan berkerut dengan goresan di setiap sisinya. Kertas-kertasnya yang dijilid telah kekuningan dan rapuh, sementara yang lain hampir terlepas dari jahitannya. Aroma kertas tua bercampur dengan debu memenuhi udara di sekitarnya.

Tulisan tangan pada halaman-halaman buku yang tersusun dari puluhan kertas double folio itu, telah hampir memudar, terkikis oleh waktu. Meski tampak lusuh, buku itu seperti menyimpan rahasia yang selama ini Mekdi cari, ada kisah lama yang telah terlupakan, dan menunggu waktu untuk ditemukan. Di sudut halaman pertama itu tertulis kalimat “Cara Tuhan Memisahkan Kita.”

Bunyi langkah kaki seseorang terdengar dari kejauhan. Sol keras terdengar samar-samar beradu dengan lantai granit, perlahan semakin jelas mendekat ke gudang barang lama tempat dimana Mekdi berada. Orang itu ialah seorang pria yang merupakan teman waktu SMA-nya Mekdi.

Pria itu memasuki ruangan paling belakang yang ada di rumah megah yang sedang diselidiki oleh Mekdi, menghampiri Mekdi yang masih berdiri di depan lemari jati. Nama teman SMA Mekdi itu ialah Rendra, seorang wartawan media online. Dia mendapatkan tugas dari perusahaan tempatnya berkerja untuk meliput perkembangan kasus kematian pemilik rumah yang dimasukinya itu, yang bernama Arfan Dinata.

Bapak Arfan Dinata ialah seorang pria berumur 42 tahun yang ditemukan tewas di kamar tidurnya. Ia meninggal tiga hari yang lalu dalam kondisi bersimbah darah dengan bekas pukulan benda keras di kepalanya. Polisi belum bisa menyimpulkan penyebab kematian itu, karena belum cukup ditemukannya petunjuk dan bukti, dan juga tidak ada saksi dalam perkara ini.

Ia tinggal sendirian di rumah besar yang terletak di kawasan perumahan elit kota Padang. Tidak ada siapa-siapa di rumah itu. Istrinya telah meninggal sepuluh tahun yang lalu, dan mereka tidak mempunyai keturunan dari pernikahan tersebut.

“Apa yang kau temukan itu?” sapa Rendra pada Mekdi yang terlihat sibuk membersihkan debu-debu yang menempel pada buku yang ada di tangannya.

“Hanya sebuah buku lama,” jawab Mekdi santai.

“Apa isi buku itu? apakah sebuah wasiat?

“Entahlah! Aku belum membaca isinya. Sepertinya buku ini cukup penting!

“Belum baca kok tahu isinya penting?” Rendra tersenyum.

“Dalam lemari sebesar ini hanya ada buku ini di dalamnya,” ungkap Mekdi memandangi lemari berukuran tiga meter persegi yang ada di hadapannya.

“Memangnya kalau tempatnya besar, itu tandanya penting? Septitang juga besar, tapi isinya nggak penting! sedangkan cincin tunangan kotaknya kecil, tapi sangat penting!

Mekdi hanya diam. Temannya yang satu itu memang tidak mau pernah mengalah jika berdebat dengannya. Ia tahu, percuma saja menjelaskannya, dan nantinya pasti akan tetap dibantah oleh temannya itu.

“Boleh aku lihat?” Rendra kembali tersenyum, berharap.

Mekdi memberikan buku di tangannya. Buku itu sudah terlihat bersih dari sebelumnya. Tulisan tangan yang ditulis dengan tinta pena berwarna hitam, sudah bisa untuk di baca, walaupun ada sebagian hurufnya yang sedikit mengabur akibat warna kertas yang telah terlampau menguning.

Rendra membalik satu persatu halaman kertas itu, membaca secara acak isi di dalamnya. “Ini seperti buku harian, tapi…, lebih seperti novel sih!” Rendra terus membalik halaman buku di tangannya. “ Ini novel! ujarnya kemudian, menemukan beberapa dialog dalam tulisan di buku itu.

“Hehehe..,” Rendra terkekeh. “Apa yang bisa kau dapatkan dalam tulisan ini? ini novel, bukan buku harian. Isinya pasti fiksi, bukan fakta!” sambung Rendra tersenyum.

“Apa setiap novel itu Fiksi? Bisa jadi ditulis berdasarkan kisah nyata dari penulisnya!” bantah Mekdi. Wajahnya tampak kesal mendengar tawa Rendra yang seolah-olah meledeknya.

“Tetap saja ada unsur fiksi di dalamnya!” Rendra membalik buku di tangannya kehalaman pertama, lalu membaca tulisan yang ada di halaman itu. “Cinta adalah anugerah yang tak dapat lepas dari manusia. Cinta adalah sifat yang tak dapat dibuat-buat. Cinta dapat membuat manusia kuat dan hebat. Cinta juga bisa membuat manusia lemah, bodoh, dan juga ceroboh. Dan cinta tak hanya ciptakan rasa lebih hidup, tapi juga dapat hadirkan asa untuk akhiri hidup!” Rendra terdiam, tak meneruskan membaca tulisan itu. Ada makna lain yang terasa di hatinya pada akhir kalimat yang baru dibacanya.

“Kenapa kau berhenti?” Mekdi menatap wajah temannya.

Pria tinggi dengan rambut keriting yang berdiri di samping Mekdi itu tampak sedang memikirkan sesuatu. Rambutnya yang bergelombang di sekitar kening sedikit bergerak akibat keningnya yang mulai mengerut mencari makna dari deretan kata yang baru saja diejanya.

“Cinta, tak hanya, ciptakan rasa, lebih hidup! tapi juga, dapat hadirkan asa, untuk akhiri hidup!” Rendra kembali mengulang kata-kata yang dibacanya. “Sepertinya penulis buku ini pernah mengalami tekanan yang berat dalam percintaan!

“Drrrtt… drrrtt… drrrtt…” Handphone Rendra bergetar di dalam saku kemejanya. Ia mengeluarkan Handphone itu dari sakunya. Panggilan Bos 2 tertera di layar handphone samsung kecil berwarna hitam miliknya itu.

“Aku harus kembali ke kantor.” Ia mengabaikan panggilan itu dan memasukan kembali handphone ke sakunya, lalu berniat meninggalkan tempat itu.

Mekdi dengan cepat mengambil kembali buku yang ada di tangan kiri Rendra. “Jangan sampai kau bawa!” ujarnya.

“Tentu saja tidak! Buat apa? Itu hanya fiksi!” timpal Rendra cengengesan. Pria yang mengenakan celana jeans dengan kemeja polos berwarna hitam itu pergi meninggalkan ruangan itu.

Mekdi berjalan ke tepi jendela, menuju sebuah kursi kayu yang tersimpan di gudang tempat penyimpanan barang-barang lama itu. Ia meniup debu-debu yang menempel di kursi, dan menyingkap lebih luas tirai jendela gudang itu.

Cahaya matahari yang mulai meninggi, berlomba-lomba menerangi tulisan tangan di kertas yang di pengang Mekdi. Ia kemudian menyandarkan tubuhnya, duduk di kursi kayu yang terletak di samping jendela gudang. Ia kembali membaca halaman satu buku itu.

Bersambung.

Terimakasih sudah membaca. Jangan lupa beri dukungannya ya! “Penulis tanpa dukungan pembaca, hanya seperti lukisan indah di depan orang buta.”(R M Affandi)

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!