Di sebuah SMA ternama di kota kecil, siswa-siswi kelas 12 tengah bersiap menghadapi ujian akhir. Namun, rencana mereka terganggu ketika sekolah mengumumkan program perjodohan untuk menciptakan ikatan antar siswa. Setiap siswa akan dipasangkan dengan teman sekelasnya berdasarkan kesamaan minat dan nilai akademis.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon AYANOKOUJI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 12
Setahun berlalu sejak festival budaya internasional itu. Kehidupan Andi, Putri, dan Amira di Berlin berjalan dengan lancar. Namun, suatu pagi di musim semi, sebuah telepon dari Indonesia mengubah dinamika keluarga kecil mereka.
"Andi, ibumu sakit," kata Putri dengan nada cemas, setelah menutup telepon dari mertuanya. "Sepertinya cukup serius."
Andi terdiam sejenak, wajahnya muram. "Aku harus pulang ke Indonesia, Putri. Ibu membutuhkanku."
Putri mengangguk penuh pengertian. "Tentu, sayang. Kita akan pergi bersama."
Namun, rencana mereka tidak semudah itu. Andi mendapat proyek penting di kantornya yang tidak bisa ditinggalkan, sementara Amira baru saja mulai masuk playgroup dan adaptasinya masih belum stabil.
Setelah berdiskusi panjang, mereka memutuskan bahwa Putri akan pergi lebih dulu ke Indonesia bersama Amira, sementara Andi akan menyusul sebulan kemudian setelah proyeknya selesai.
Malam sebelum keberangkatan Putri dan Amira, Andi tidak bisa tidur. Ia memeluk Putri erat-erat.
"Aku merasa bersalah tidak bisa mendampingimu dan Amira," bisiknya.
Putri mengusap lembut pipi suaminya. "Jangan khawatir. Kami akan baik-baik saja. Fokus saja pada pekerjaanmu dan selesaikan secepatnya. Ibumu akan senang melihat Amira."
Keesokan harinya di bandara, Andi memeluk putri kecilnya. "Jadilah anak yang baik ya, sayang. Ayah akan segera menyusul."
Amira, yang baru berusia tiga tahun, menatap ayahnya dengan mata berkaca-kaca. "Ayah ikut, ya?"
Hati Andi terasa teriris mendengar permintaan polos putrinya. "Maaf sayang, Ayah harus bekerja dulu. Tapi Ayah janji akan segera menyusul."
Setelah pelukan terakhir, Putri dan Amira melangkah menuju gate keberangkatan. Andi melambaikan tangan, berusaha tersenyum meski hatinya berat.
Di pesawat, Putri merenung tentang tantangan yang akan mereka hadapi. Ini akan menjadi kali pertama ia mengurus Amira sendirian di lingkungan yang berbeda, ditambah harus merawat mertuanya yang sakit.
Sementara itu di Berlin, Andi kembali ke apartemen yang kini terasa sepi. Ia memandangi foto keluarganya di dinding, bertekad untuk menyelesaikan proyeknya secepat mungkin.
Malam itu, baik Andi di Berlin maupun Putri di pesawat menuju Jakarta, sama-sama berbisik dalam hati, "Semoga kita bisa melewati tantangan ini bersama-sama."
Bab baru dalam kehidupan keluarga kecil mereka baru saja dimulai, membawa serta ujian baru bagi cinta dan komitmen mereka.
Putri dan Amira tiba di Jakarta dengan selamat. Mereka langsung menuju rumah orang tua Andi di pinggiran kota. Begitu sampai, Putri terkejut melihat kondisi ibu mertuanya yang ternyata lebih parah dari yang ia bayangkan.
"Ibu senang sekali kalian datang," kata ibu Andi lemah dari tempat tidurnya. Matanya berbinar melihat Amira yang bersembunyi malu-malu di balik kaki Putri.
"Kami juga senang bisa di sini, Bu," jawab Putri sambil menggenggam tangan mertuanya. "Andi akan menyusul secepatnya."
Hari-hari berikutnya menjadi rutinitas baru bagi Putri. Pagi hari ia mengurus Amira dan membantu di rumah, siang hingga sore merawat ibu mertuanya, dan malam hari ia tetap berusaha menyelesaikan beberapa pekerjaan lepasnya sebagai penerjemah.
Sementara itu di Berlin, Andi bekerja lebih keras dari biasanya. Ia ingin menyelesaikan proyeknya lebih cepat agar bisa segera menyusul keluarganya. Setiap malam, ia video call dengan Putri dan Amira.
"Ayah, kapan pulang?" tanya Amira suatu malam, matanya penuh harap.
"Sebentar lagi sayang," jawab Andi, hatinya terasa berat. "Ayah sedang berusaha keras agar bisa cepat pulang."
Putri bisa melihat kelelahan di wajah suaminya. "Jaga kesehatanmu, Andi. Kami di sini baik-baik saja."
Namun, tantangan terbesar datang ketika Amira mulai merasa tidak nyaman dengan lingkungan barunya. Ia sering rewel dan menangis, merindukan rumah mereka di Berlin.
"Amira ingin pulang," rengeknya suatu hari. "Amira mau ke taman bermain yang ada perosotan besar."
Putri berusaha menenangkan putrinya, "Sayang, di sini juga ada taman bermain yang bagus. Besok kita ke sana, ya?"
Tapi Amira tetap menangis, "Tidak mau! Amira mau pulang ke rumah!"
Malam itu, setelah Amira tertidur, Putri menghubungi Andi dengan air mata yang ditahan.
"Andi, aku tidak tahu harus bagaimana. Amira terus merengek ingin pulang, sementara ibumu masih membutuhkan perawatan," kata Putri, suaranya bergetar.
Andi merasa terpukul. Ia ingin sekali bisa memeluk istri dan anaknya, menenangkan mereka. "Maafkan aku, Putri. Aku akan berusaha lebih keras lagi agar bisa cepat pulang."
Malam itu, baik Andi maupun Putri sulit tidur. Mereka merenungkan situasi yang sedang mereka hadapi. Bagaimana menyeimbangkan antara kewajiban terhadap orang tua, pekerjaan, dan kebutuhan anak mereka?
Tantangan ini bukan hanya tentang jarak fisik, tapi juga tentang bagaimana mereka bisa tetap kuat sebagai keluarga meski terpisah dua dunia. Mereka tahu, ini akan menjadi ujian terberat bagi cinta dan komitmen mereka sejauh ini.