"Apakah aku ditakdirkan tidak bahagia di dunia ini?"
Ryan, seorang siswa SMA yang kerap menjadi korban perundungan, hidup dalam bayang-bayang keputusasaan dan rasa tak berdaya. Dengan hati yang terluka dan harapan yang nyaris sirna, ia sering bertanya-tanya tentang arti hidupnya.
Namun, hidupnya berubah ketika ia bertemu dengan seorang wanita 'itu' yang mengubah segalanya. Wanita itu tak hanya mengajarinya tentang kekuatan, tetapi juga membawanya ke jalan menuju cinta dan penerimaan diri. Perjalanan Ryan untuk tumbuh dan menjadi dewasa pun dimulai. Sebuah kisah tentang menemukan cinta, menghadapi kegelapan, dan bangkit dari kehancuran.
Genre: Music, Action, Drama, Pyschologycal, School, Romance, Mystery, dll
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ravien Invansia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 29: Siapa?
Ryan berjalan menuju kantin dengan langkah malas, wajahnya kusut. Perutnya keroncongan, menuntut asupan sejak tadi.
kruyuk...
"Kenapa pagi tadi bisa-bisanya aku lupa sarapan?" gumamnya sambil memegang perut yang sudah mendesak.
Dia memasuki kantin yang sudah penuh sesak. Suara tawa teman-teman, denting piring dan sendok yang beradu, semuanya membaur jadi satu kekacauan.
clank clank...
Dia mengambil nampan dan berbaris di antrian makanan, perut makin berteriak-teriak. Tapi fokusnya terganggu ketika mendengar bisik-bisik dari dua siswa di belakangnya.
"Eh, itu si Ryan," bisik salah satu dengan suara kecil tapi tajam.
"Iya, katanya dia cekcok sama Rei sama Ivan kemarin," sahut temannya, suaranya merendah tapi cukup jelas.
Ryan melirik ke belakang, mendapati tatapan mereka cepat-cepat berpaling. Napasnya makin berat, dadanya panas. 'Dari mana mereka tahu?' gumamnya dalam hati.
Setelah mengambil seporsi makanan, Ryan melangkah ke pojok kantin yang agak sepi dan segera duduk, mulai makan perlahan, mencoba mengabaikan semua keributan di sekelilingnya.
ting...
Di meja sebelah, ada sekumpulan siswi yang mengobrol dengan suara rendah tapi masih terdengar. Suara mereka penuh antusiasme.
"Dengar-dengar, Ryan itu pacaran sama Hana," kata seorang siswi dengan nada penuh gosip.
"Seriusan? Dari kapan?" sahut temannya, nyaris berbisik tapi cukup keras untuk telinga Ryan.
Ryan tersentak, hampir tersedak mendengar itu. "Astaga, apa-apaan ini? Gosip kemarin di ungkit lagi." gumamnya, menahan kesal.
Dia meminum air dari gelas plastiknya, menenangkan diri sejenak.
gluk gluk...
Pikirannya makin kacau. "Siapa yang mulai semua ini? Kenapa mereka tahu tentang cekcok itu, padahal cuma aku dan Rei sama Ivan yang ada di sana?"
Begitu selesai makan, Ryan berdiri, langsung mendekati meja siswi yang tadi bergosip. "Maaf, boleh tanya sebentar?"
Mereka semua menoleh, wajah-wajah terkejut. "Eh, ada apa, Ryan?"
"Aku denger kalian ngomongin aku sama Hana tadi. Bisa jelasin?"
Mereka saling bertukar pandang dengan ekspresi canggung. Salah satu dari mereka akhirnya buka mulut. "Oh… itu, ya. Cuma gosip sih, katanya kalian pacaran."
Ryan mengerutkan dahi. "Siapa yang bilang begitu?"
Mereka terdiam, tampak ragu sebelum salah satu akhirnya menjawab dengan pelan, "Entahlah, kita cuma denger dari yang lain juga."
Ryan menghela napas panjang, lalu melangkah keluar kantin, rasa kesal di dadanya semakin membuncah. "Ini nggak masuk akal… semua orang ngomongin itu, tapi nggak ada yang tahu siapa yang mulai. Gila."
Di koridor, pandangannya teralihkan oleh sekumpulan siswa lain yang juga tampak berbisik-bisik sambil melirik ke arahnya. Tekadnya menguat, ini nggak bisa dibiarkan. Ryan segera menghampiri mereka, suaranya tegas dan tajam.
"Hei, kalian tahu dari mana gosip soal aku sama Hana?"
Mereka langsung diam, beberapa malah menunduk. Salah satu dari mereka akhirnya membuka mulut dengan gugup. "Eh… kita cuma denger dari teman juga."
"Teman yang mana?" Ryan semakin menekan.
Anak itu tampak semakin kikuk. "Maaf, gue… lupa siapa yang ngomong pertama kali."
Tanpa menunggu lebih lama, mereka semua bubar, meninggalkan Ryan di tengah koridor yang mulai sepi. "Mereka semua ngehindar. Nggak satu pun mau bicara jelas," gumamnya, rasa frustrasi makin mendesak.
Dia melangkah berat, otaknya terus berputar, mencoba mencari tahu. "Harusnya aku tanya langsung ke Rei sama Ivan."
Tapi setelah berkeliling mencari mereka, hasilnya nihil. Rei dan Ivan seakan menghilang dari sekolah.
Dengan perasaan lelah, Ryan kembali ke kelas. Duduk di bangkunya dengan lemas, pandangannya tertuju ke bangku kosong Hana. "Kalau Hana masuk hari ini, mungkin dia tahu sesuatu… atau setidaknya bisa bantu cari jawabannya."
Bel pelajaran berikutnya berbunyi, suara itu menggema di seluruh sekolah.
kring...
Teman-temannya mulai kembali ke kelas, wajah-wajah yang tadi menatapnya aneh berangsur-angsur memenuhi ruangan. Tapi Ryan duduk dengan tatapan kosong, pikirannya masih kacau, seperti benang kusut yang sulit diurai.
...---------------...
Ryan duduk di bangkunya saat pelajaran ketiga berlangsung. Pandangannya kosong, menatap ke arah papan tulis tanpa benar-benar melihat. 'Kenapa gosip ini menyebar begitu cepat?' pikirnya dengan gelisah. 'Reputasi Hana dipertaruhkan di sini.'
Matanya perlahan berubah menjadi putih, seperti yang pernah terjadi pada Rei. Suara-suara di kelas mulai menghilang, tenggelam dalam lamunannya sendiri. 'Aku harus menghentikan ini,' batinnya dengan nada dingin.
Dia teringat bagaimana semua orang berbisik tentang dirinya dan Hana. 'Mereka tidak tahu apa-apa, tapi sudah menilai seenaknya,' gumamnya dalam hati. 'Aku tidak bisa membiarkan Hana terkena dampaknya.'
Tiba-tiba, suara keras memecah keheningan di kepalanya.
"Ryan!"
Dia tersentak, matanya kembali normal. Pak Jaka menatapnya dengan tajam dari depan kelas.
"Kamu mendengar saya tidak?" tanya Pak Jaka dengan nada tegas.
"Oh, maaf, Pak," jawab Ryan gugup.
"Saya sudah memanggilmu beberapa kali. Silakan maju ke depan dan kerjakan soal nomor empat."
Ryan berdiri perlahan, merasa semua mata tertuju padanya. 'A-apa yang harus aku lakukan sekarang?' pikirnya panik. Dia berjalan ke depan kelas, mengambil kapur, dan menatap soal di papan tulis.
Soal bahasa Indonesia itu berkaitan dengan pemahaman puisi dan struktur kalimat. Deretan kata-kata di papan itu seperti berputar di kepalanya. 'Aku bahkan tidak mendengarkan penjelasannya tadi,' batinnya. :Bagaimana aku bisa menjawab ini?"'
"Kami menunggu," kata Pak Jaka sambil mengetukkan jari di mejanya.
"Tenang, tenang," ia mencoba menenangkan diri. "Pikirkan langkah pertama."
Dia menuliskan sesuatu di papan tulis, tetapi segera menyadari bahwa jawabannya salah. Beberapa siswa tertawa kecil di belakang.
"Jika kamu tidak siap, lebih baik perhatikan pelajaran dengan baik," kata Pak Jaka dengan nada dingin.
Ryan menunduk. "Maaf, Pak," ucapnya pelan sebelum kembali ke tempat duduknya.
Dia duduk dengan lesu, perasaan malu bercampur marah pada dirinya sendiri. 'Kenapa aku bisa seceroboh ini?' pikirnya. 'Ini, idak bisa terus seperti ini."
Sambil mencoba mengikuti pelajaran, pikirannya tetap saja kembali ke Hana. 'Apa dia tahu tentang gosip ini? Bagaimana reaksinya. mendengar ini.' kutanyanya dalam hati. 'Mungkin aku harus menemuinya setelah sekolah' pelajaran selsai telah selesai lah Bel pelajaran berikutnya berbunyi.
kring...
Karena MC ada di semua bab, pakai POV bisa lebih mudah. Tapi nggak juga gpp.
Yang saya kurang suka kalau cerita multiplot tapi pakai POV 1 yang berganti-ganti.
Bahasa cerita menurut saya udah bagus, baik itu narasi ataupun dialog.
btw, banyak orang di kehidupan nyata terwakilkan Ryan. Biasanya itu pengalaman penulis lalu di dunia fiksi dia ganti dg tema fantasi misal dapat sistem atau masuk ke dunia game.