Selama 10 tahun lamanya, Pernikahan yang Adhis dan Raka jalani terasa sempurna, walau belum ada anak diantara mereka.
Tepat di ulang tahun ke 10 pernikahan mereka, Adhis mengetahui bahwa Raka telah memiliki seorang anak bersama istri sirinya.
Masihkah Adhis bertahan dalam peliknya kisah rumah tangganya? menelan pahitnya empedu diantara manisnya kata-kata cinta dari Raka?
Atau, memilih meladeni mantan kekasih yang belakangan ini membuat masalah rumah tangganya jadi semakin pelik?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon moon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
#21•
#21
Dean kembali keluar dari hotel tempatnya menginap selama seminggu di Yogyakarta, sekedar menikmati malam di angkringan sepertinya bisa menghangatkan hidupnya yang kini sunyi selepas berpisah dari celline.
Enam bulan yang lalu, mereka resmi berpisah setelah lebih dari sepuluh tahun bersama. Sejatinya sebuah cinta, maka tak ada perpisahan yang indah, semua terasa pahit dan meninggalkan bekas luka yang mungkin tak akan pernah bisa disembuhkan.
Bukan karena tak ada lagi rasa cinta, tapi karena tak ada lagi rasa nyaman serta rasa saling membutuhkan diantara keduanya. Kesibukan, sudah menghabiskan waktu yang seharusnya menjadi momen mereka bersama, bahkan tak ada lagi komunikasi baik karena semakin lama rasa tak percaya semakin membentang luas diantara mereka.
Selalu ada masalah setiap kali Dean coba memperbaiki hubungan, selalu ada halangan ketika Dean mencoba kembali menumbuhkan cinta diantara mereka. Dan setelah palu pengadilan memutuskan perceraian mereka, ada perasaan seorang anak yang harus tetap Dean utamakan di atas keegoisannya sendiri. Karena itulah, Dean masih bertahan di London demi mendamaikan kondisi psikis Aaron yang masih belum mau menerima perpisahan kedua orang tuanya.
Dean mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru ruangan, pengunjung masih ramai, dan semuanya sibuk dengan teman mengobrol mereka masing-masing. Tapi pandangan Dean tertuju pada satu meja yang ada di sudut ruangan, ia merasa tak asing dengan salah seorang pengunjung yang duduk disana seorang diri. yah tak salah lagi, karena baru pagi tadi mereka berjumpa, bahkan orang itu masih mengenakan pakaian yang sama.
Walau heran, namun Dean sama sekali tak menaruh curiga, usai memesan makanan, ia berjalan lurus menghampiri Adhis yang tampaknya sedang melamun seorang diri. Harap-harap bahwa mereka memang ditakdirkan berjumpa, hingga secara kebetulan mereka kembali bertatap muka di hari yang sama.
Tanpa ragu, Dean melepas jaket yang ia kenakan, karena ia sudah merasa cukup hangat dengan sweater yang saat ini ia kenakan, sementara Adhis hanya mengenakan pakaian berbahan katun yang tak terlalu bisa menghalau udara dingin.
Setelah menyelimutkan jaket di punggung Adhis, Dean mengambil tempat di seberang Adhis, tentu agar pandangannya tak terhalangi.
“Disini juga? Aku pikir Kakak menginap di Twenty Five Hotel.” Adhis lebih dulu menyapa.
Dean mengangkat malas kedua pundaknya, “Bosan, sekali-sekali ingin menginap di tempat lain, lagi pula Mom Dad menginap di rumah orang tuamu,” jawab Dean santai, khas keturunan konglomerat yang masih bingung bagaimana cara menghabiskan uangnya. “Kamu sendiri? Kupikir sedang di rumah keluarga suamimu?”
Adhis tersenyum, mencoba menutupi getir yang tengah menggelayuti hatinya, “Biasalah, Mas Raka dapat panggilan darurat dari Rumah Sakit, jadilah aku menyendiri di sini, karena di rumah pun, aku tak akan bertemu siapapun.”
Kini Dean mulai sedikit curiga dengan jawaban Adhis, tapi Dean menahan diri agar tak kembali bertanya, terutama hal-hal yang bukan urusannya. “Jika demikian, setidaknya kamu kenakan jaket.”
“Tak terpikirkan, karena aku kesini pun mendadak, tanpa rencana.”
Seorang pramusaji datang membawa wedang ronde dan nasi gudeg paket lengkap yang tadi Dean pesan sebelum duduk. “Mau pesan lagi? Tak seru kalau aku makan sendiri,” tanya Dean.
Namun dengan senyum Adhis menggeleng, “jangan terlalu manis senyumnya, kalau aku tergoda lagi bagaimana?” cetus Dean iseng.
Adhis melongo, wah sungguh tak menyangka pria dihadapannya benar-benar tak berubah, dia sudah beristri, tapi masih menggoda wanita bersuami.
“Kok malah bengong, aku hanya bercanda, jangan bilang kalau kamu benar-benar memikirkan kata-kataku?” Dean terkekeh geli, ia tak menyangka jika gurauannya membuat Adhis terdiam.
“Jangan terlalu percaya diri, aku sudah dewasa, bukan lagi gadis 13 tahun yang bisa kamu buang setelah kamu kejar dengan berbagai rayuan,” balas Adhis mendadak kesal, dulu ia pernah menjatuhkan pilihan hatinya pada pria di hadapannya ini. Tapi ternyata hanya kesakitan yang menjadi balasannya.
Andai kini Adhis masih sendiri pun, ia tetap tak akan pernah mau memikirkan ucapan Dean.
“Maaf.”
“Jangan pernah lupa, bahwa di matamu, aku hanya anak kecil yang membutuhkan uang jajan agar bisa berhenti menangis.”
“Kenapa? terkejut karena aku masih ingat semua perkataanmu? itu masih seperti rekaman yang terus berputar di kepalaku.”
•••
Flashback.
Di sebuah cafe, sepasang kekasih tengah saling memandang tanpa senyuman, hampa hanya penuh riak ketidakpercayaan, bahkan dinding pemisah kini terlihat lebih meyakinkan.
Cinta semanis gula-gula yang baru saja terjalin, kini dihajar fakta menyakitkan, Adhis baru saja mengakui bahwa dirinyalah, gadis yang Opa Alex pilih sebagai jodohnya Dean.
Pemuda tampan itu tergugu di tempatnya, entah mengapa kini hatinya mulai terasa berbeda. Di satu sisi ia menyayangi Adhis dengan segenap ketulusan, tapi di sisi yang lain egonya sungguh berperan. Ia justru marah, merasa di bohongi dan di mata-matai, bukannya bahagia ketika mengetahui fakta bahwa Adhis adalah gadis pilihan opa Alex. Dean justru sangat terluka, tanpa mau tahu bahwa Adhis pun sama dengan dirinya, terluka karena Dean ternyata bermain-main dengan cintanya.
"Jadi kamulah orangnya," desis Dean dengan suara lirih, ia menatap tajam kedua mata yang lembut menyorot padanya.
"Iya… akulah gadis itu, katakan apa pendapatmu?" tanya Adhis penuh harap.
"Pendapatku? Hah!! Tak penting apa pendapatku, memangnya bicara dengan anak kecil seperti dirimu, bisa disebut mengemukakan pendapat?"
"Aku sudah 13 tahun, kak, dan aku mengerti bahasa Indonesia dengan baik dan benar."
"Bahkan dalam musyawarah mufakat, hanya yang berusia 17 tahun yang diizinkan berpendapat." Dengan nada sarkastik Dean memuntahkan kalimat Adhis.
"Apa kakak sedang meremehkan aku?" tanya Adhis, yang kedua matanya mulai berkaca-kaca.
"Tidak, tapi kenyataannya memang demikian, bagiku kamu hanya anak kecil!!" hardik Dean tanpa perasaan, dan sayangnya kalimat itu begitu membekas, melukai perasaan Adhis.
"Tapi setidaknya aku bisa menjaga setiaku, tidak setiap saat berbagi perhatian pada yang lain selain dirimu." Adhis menggumam, seraya memalingkan wajahnya ke jalanan.
"Jangan bilang kamu cemburu?" Ejek Dean.
"Apa itu salah? Bukankah cemburu itu wajar dalam sebuah hubungan?”
Jangan dikira kalimat Adhis membuat Dean senang, karena merasa dicintai, justru sebaliknya ia muak dan kesal.
“Dan sekarang, kamu mulai berunjuk rasa karena banyak gadis di sekitarku? Padahal mereka saja mengerti, bahwa aku tak bisa bertahan dengan seorang gadis, lebih dari satu minggu.”
Di bawah meja, Adhis mengepalkan kedua tangannya, “Awalnya biasa saja, tapi lama kelamaan, kurasa kalian mulai keterlaluan."
Dean tertawa garing, "Keterlaluan??" Ia agak tersinggung dengan kalimat yang Adhis lontarkan, "asal kamu tahu yah, aku lebih dulu mengenal Vero, daripada kamu, dia lebih dari teman bagiku, selalu ada ketika aku butuh, dia sahabatku!!" Dean menekankan kalimat terakhirnya, seolah benar-benar ingin melukai perasaan Adhis.
"Ya… sahabat rasa cinta," Adhis membatin, terlalu malas mengeluarkan kata. Kini gadis belia tersebut hanya bisa menangis, ternyata hanya sebatas itulah arti dirinya dalam hidup Dean. Dan Sampailah ia pada satu keputusan, lebih baik mundur perlahan, dari pada bertahan tapi menyakitkan.
Adhis melepas kalung berbandul cincin pertunangan yang diberikan opa Alex padanya tempo hari, sebagai simbol bertunangannya dengan Dean, "baiklah … aku memang masih anak-anak, ini ku kembalikan cincinnya." Adhis menyodorkan cincin pertunangan miliknya.
Dean berdiri dari kursinya, dan dengan gayanya yang angkuh, dia berkata, "gak perlu, kamu bisa membuangnya, karena aku bisa memiliki 100 benda serupa bila mau. Tapi seandainya benda itu di jual juga pasti sangat lumayan, buat nambahin uang jajanmu, jangan pernah menemuiku lagi!, atau jika kita bertemu, kamu bersembunyi lah, karena aku tak mau melihatmu lagi!"
Usai mengeluarkan segala rasa angkuh dan egonya, Dean pergi begitu saja, meninggalkan sebaris luka yang menganga. Adhis hanya tergugu tanpa kata, benci, dan kecewa berbaur menjadi satu, ia masih terlalu belia untuk menerima sebuah kegagalan cinta, bahkan jalan hidup nya mungkin baru saja bermula.
Flashback end.
•••
Udara disekitar mereka sudah sangat dingin, tapi kalimat Adhis membuat Dean merasa semakin kedinginan. Dean menghentikan pergerakan sendok yang hampir mencapai mulutnya, ia beralih menatap kedua mata Adhis yang tiba-tiba berembun. “Kamu?”
“Kenapa? terkejut karena aku masih ingat semua perkataanmu? itu masih seperti rekaman yang terus berputar di kepalaku.”
“Tapi itu, sudah sangat lama berlalu?” tanya Dean heran.
“Iya, memang sudah sangat lama, tapi luka dan penghinaanmu saat itu, masih meninggalkan bekas yang tak mungkin bisa disembuhkan.”