Bianca, adalah wanita berusia dua puluh empat tahun yang terpaksa menerima calon adik iparnya sebagai mempelai pria di pernikahannya demi menyelamatkan harga diri dan bayi dalam kandungannya.
Meski berasal dari keluarga kaya dan terpandang, rupanya tidak membuat Bianca beruntung dalam hal percintaan. Ia dihianati oleh kekasih dan sahabatnya.
Menikah dengan bocah laki-laki yang masih berusia sembilan belas tahun adalah hal yang cukup membuat hati Bianca ketar-ketir. Akankah pernikahan mereka berjalan dengan mulus? Atau Bianca memilih untuk melepas suami bocahnya demi masa depan mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vey Vii, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pesta Dan Air Mata
Abraham segera mengambil keputusan setelah istrinya sadar dari pingsan. Bianca bersyukur, sang mama baik-baik saja dan mau mendengarkan penjelasannya.
"Bagaimanapun, seseorang harus bertanggungjawab," ucap Abraham.
Daniel tersenyum mendengar keputusan bijak calon mertuanya. Meskipun ia paham jika dirinya dinilai kurang layak, namun Daniel akan berusaha membuktikan bahwa ia bisa dipercaya.
Setelah Bellinda membaik, Bianca kembali dirias untuk memperbaiki make up yang rusak karena air mata.
Tepat pukul sepuluh siang, prosesi pernikahan dimulai. Saat nama Daniel di sebut sebagai calon mempelai pria, orang-orang yang paham tentang keluarga ini pun mulai berbisik.
Daniel dan Bianca paham yang akan terjadi, ini adalah resiko yang harus mereka terima saat keduanya setuju untuk menikah.
"Itu kan Daniel, adik Darren. Bukankah di kertas undangan yang tertulis sebagai mempelai pria itu Darren?" Semua orang membicarakan hal yang sama.
Tidak ada penjelasan atau kalimat khusus yang bisa dikatakan oleh Bianca ataupun Daniel. Namun saat janji pernikahan diucapkan, Daniel nampak sangat mempesona, ia masih muda namun setiap kalimat yang keluar dari mulutnya begitu bijak dan mengharukan.
Mengingat kondisi Bianca yang sedang hamil dan butuh banyak istirahat, Daniel memutuskan untuk tidak membawa wanita itu ke lantai dansa, hal yang biasa dilakukan pengantin baru.
Terlebih Bianca terlihat tidak bahagia. Sepanjang acara, Daniel tidak melihat Bianca menunjukkan senyum di bibirnya. Wanita itu tampak murung, enggan berbicara. Ia berdiri dan berjalan seperti mayat hidup, membuat Daniel merasa bingung dan serba salah.
Demi kesehatan tubuh dan mental wanita yang baru saja sah menjadi istrinya, Daniel mengajak Bianca ke kamar khusus yang dipersiapkan untuk tempat istirahat.
Kedua orang tua Bianca dan Daniel tidak bisa melakukan apapun. Kini keputusan telah diambil, suka ataupun tidak, Bianca dan Daniel sudah resmi menjadi pasangan suami istri yang sah di mata hukum dan agama.
Di kamar, Daniel mengabaikan meriahnya pesta dan suara musik yang riuh. Ia membantu Bianca berbaring di atas tempat tidur dengan gaun pengantin yang masih melekat di tubuhnya.
"Bukankah itu tidak nyaman? Bagaimana jika kau berganti pakaian, Kak?" tanya Daniel.
Bianca tidak bersuara, ia hanya menggeleng lemah sambil menatap kosong pada jendela yang sedikit terbuka gordennya. Beberapa saat kemudian, wanita itu berjalan mendekati tempat tidur dan berbaring di sana.
"Jika kau malu berganti pakaian karena ada aku, aku akan tunggu di luar," ucap Daniel sambil duduk di pinggiran tempat tidur. Saat ia hendak beranjak pergi, Bianca menghentikannya.
"Tidak, biarkan tetap seperti ini," jawab Bianca lirih.
Bianca adalah wanita yang beruntung dalam hal kehidupan. Ia lahir dari keluarga kaya raya, bahkan ia sudah menjadi konglomerat sejak dalam kandungan. Ia dikelilingi orang-orang yang menyayanginya. Hanya saja, kisah percintaannya sungguh tragis. Siapapun tidak akan menyangka jika Bianca akan mengalami hal seburuk ini.
Demi melindungi harkat dan martabat keluarganya, ia rela menikah dengan Daniel, bocah laki-laki yang bahkan baru lulus SMA.
"Jangan melamun, semua akan baik-baik saja," tegur Daniel.
Bianca memang tidak lagi menangis, namun tatapan matanya kosong, ekspresi wajahnya datar.
Daniel berusaha menenangkan Bianca dengan mengusap lembut rambut wanita itu. Ia menawarkan makanan, minuman, buah, roti, namun Bianca bungkam. Tidak sedikitpun ia mau bersuara.
Tok ... Tok ... Tok ...
Suara pintu diketuk. Daniel beranjak dari kasur dan membuka pintu. Rupanya Abraham datang, ia pasti sangat mengkhawatirkan putrinya hingga meninggalkan pesta dan semua tamu pentingnya.
"Sayang, bagaimana kondisimu?" tanya Abraham. Bianca sama sekali tidak menoleh.
"Apa yang perlu Papa lakukan untukmu, Sayang? Papa tidak keberatan jika membunuhnya. Laki-laki sepertinya hanya akan menjadi sampah di dunia ini," ucap Abraham.
Daniel menelan ludah mendengar kalimat yang baru saja diucapkan oleh mertuanya. Sadis sekali, namun Darren pantas mendapatkan segala cacian dan kebencian dari keluarga itu.
Masih terlihat jelas kemarahan di wajah Abraham. Semua orang tua pasti tidak rela anak kesayangannya diperlakukan seperti sampah, dibuang begitu saja saat kepercayaan sudah diraih sepenuhnya.
Abraham sangat frustasi melihat keadaan Bianca. Ia sadar batin putrinyanya tersiksa, jiwanya terguncang. Tidak ada satupun wanita bisa bersikap baik-baik saja saat mengetahui penghianatan yang sudah begitu lama terjadi di belakangnya, meninggalkan luka dan rasa sakit yang luar biasa.
"Daniel," lirih Abraham sambil menoleh pada menantunya.
"Ya, Paman?"
"Mulai sekarang kau bisa memanggilku Papa. Kau adalah suami dari Bianca, kau pasti ingin yang terbaik untuknya, kan?" tanya Abraham. Daniel mendadak gelisah.
"Tentu saja, saya menginginkan yang terbaik untuk kami."
"Kalau begitu, bisakah kau mendukung Papa dan membantu Papa dalam mengatasi kakakmu?"
***