Santi sigadis kecil yang tidak menyangka akan menjadi PSK di masa remajanya. Menjadi seorang wanita yang dipandang hina. Semua itu ia lakukan demi ego dan keluarganya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lianali, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7
“Iya sebentar, siapa?” suara seorang wanita menyahut dari dalam, yang membuat jantung Sumi berdetak kencang. Deg deg kan.
Sumi mulai menanamkan mindset di pikirannya bahwa demi anak anaknya dia harus bermuka tembok.
“Ceklek” pintu terbuka, seorang wanita cantik terurus, dengan memakai daster yang kainnya adem membukakan pintu.
“Cari siapa Bu?” ujar wanita itu datar, wanita itu adalah Lusi istri Pak Bani.
Lusi menatap Sumi dari ujung kaki sampai ujung rambut, penampilan Sumi kotor dan kumuh.
Maklum saja, tadinya Sumi siap siap hendak mengarit rumput, bukan bertamu ke rumah Pak Bani bos suaminya. tapi karena terpaksa, jadilah Sumi pergi tanpa berganti baju terlebih dahulu.
“Anu Bu.. anu, saya istrinya Burhan” sahut Sumi dengan jari tangan saling meremas.
Wajahnya sedikit menunduk, ia sadar diri dengan penampilannya yang kumuh, rasanya tidak layak meski hanya sekedar menginjakkan kakinya di teras rumah yang lantainya terbuat dari marmer milik bos suaminya itu.
“Ohhh istrinya pak Burhan, karyawan suami saya. Ada apa Bu, pagi pagi begini datang ke rumah? Pak Burhan belum pulang ya ke rumah?” tanya Lusi.
Ia berfikir bahwa Sumi datang ke rumahnya untuk mencari tahu keberadaan Burhan. Sebab karyawan suaminya yang lembur kadang tidak pulang ke rumah, tapi menginap langsung di tempat mereka mengayam bambu.
Pak Bani sendiri sudah menyiapkan selimut dan kasur, sebagai jaga jaga jika karyawannya harus lembur dan tidak bisa pulang ke rumah.
“Bu-kan, bu-kan begitu Bu, Burhan ada di rumah kok Bu, saya ke sini ada perlu dengan Pak Bani” ucap Sumi sedikit terbata.
“Pak Bani suami saya?”
Lusi mengerutkan keningnya, ia merasa bahwa Bani suaminya tidak pernah membahas Burhan dan keluarganya, apalagi mengatakan ada urusan dengan Sumi istrinya Burhan
“Iya Bu, benar sekali.”
“Oh ya sudah, mari masuk,” ajak Lusi.
“Tidak apa-apa saya masuk Bu, saya kotor begini, nanti lantainya ikutan kotor” ucap Sumi merasa tidak enakan kepada Lusi.
“Sudah tidak apa apa, nanti akan ada pembantu yang membersihkannya. Sudah ayo masuk, biar saya panggilkan suami saya dulu,” ujar Lusi.
Sumi mengekor dari belakang Lusi.
“Ayo silahkan duduk dulu Bu,” ucap Lusi mempersilahkan Sumi untuk duduk.
Tapi Sumi merasa enggan untuk duduk sebab rumah Lusi tampak sangat mewah dan bersih, ia takut jika ia duduk maka pakaian kotor yang tengah ia kenakan itu akan mengotori sofa milik pak Bani.
“Sudah tidak apa-apa Bu, duduk saja,” ucap Bu Lusi.
“Bi Inem, buatkan minum bi untuk tiga orang!” teriak Lusi kepada Bi inem pembantunya.
“Baik non,” ujar Bi Inem, langsung datang ke ruang tamu.
“Minum apa yang saya buatkan non?” tanya Bi Inem.
“Oh ya Bu Sumi mau minum apa, ada jus, susu, kopi, teh, es, hangat, dingin?” tanya Bu Lusi ramah.
“Air putih saja Bu, tidak usah repot-repot,” ucap Sumi semakin tidak enakan.
“Tidak merepotkan kok,” ucap Lusi.
“Buatkan satu kopi untuk suami saya, dan dua jus buah naga untuk saya dan Bu Sumi!“ ucap Lusi kepada Inem.
“Tidak apa-apa kan kalau minum jus buah naga? Itu minuman kesukaan saya soalnya,” tanya Lusi kepada Sumi.
Sumi menggelengkan kepalanya, “tidak apa-apa Bu,” dalam hati Sumi senang, sebab seumur hidupnya ia belum pernah meminum jus buah naga. Ia sering melihat jus hanya di tv saja. Ia juga penasaran bagaimana rasanya jus buah naga yang warna merah magenta itu.
“Ya sudah, buat kan yang saya sebutkan tadi saja Bi!”
“Baik non,” Bi Inem langsung pergi ke dapur untuk membuatkan pesanan Lusi nyonya rumah ini.
“Ya sudah duduk Bu Sumi,” ujar Lusi merangkul pundak Sumi, dan mengarahkannya untuk duduk di sofa.
“Tidak apa-apa saya duduk di sofa Bu, saya kotor begini nanti sofanya kotor,” ucap Sumi sungkan untuk duduk.
“Tidak apa-apa Bu, duduk saja, oh ya itu ada cemilan silakan di makan Bu,” Lusi membukakan beberapa tutup toples yang ada di meja ruang tamu, di antaranya berisi kacang, kue dan ada juga manisan.
“Silahkan di makan hidangan seadanya Bu, saya mau ke atas dulu, panggil suami saya,” ucap Lusi tersenyum, kemudian beranjak pergi.
Dalam hati Sumi terbesit rasa iri, dia iri melihat kehidupan Lusi yang serba berkecukupan dan bisa hidup santai menjadi nyoya pak Bani. Dia iri melihat rumah semegah ini.
Dia juga iri melihat Lusi yang cantik terawat, berbeda sekali dengan dirinya yang kumal dan kumuh. Ia juga iri sebab Lusi begitu baik dan ramah, meskipun kepada seorang gembel sepertinya. Sungguh tidak ada celah untuk membenci dan mencari kekurangan Lusi.
Beberapa makanan di cicipi oleh Sumi, rasanya enak sekali. Tidak lama kemudian bi Inem datang membawa pesanan Bu Lusi.
“Silahkan diminum jusnya Bu,” Bi Inem mempersilahkan Sumi untuk meminum jusnya.
“Terima kasih banyak Bu,” ucap Sumi
“Sama-sama Bu, oh ya panggil saja saya bibi atau bi Inem,” ucap Bi inem.
“Iya bi, terimakasih,” ucap Sumi janggal.
“Ya sudah saya permisi dulu,” ujar Bi Inem meninggalkan Sumi dengan sopan.
Ternyata begini rasanya menjadi orang kaya. Ada tamu yang hidang pembantu, makanan enggak pernah kosong, rumah cantik bersih terawat. Enggak capek, enggak lelah, enggak kepanasan enggak kedinginan.
Menyenangkan sekali menjadi orang kaya. Kapan ya saya bisa hidup seperti Bu Lusi. Batin Sumi.
Tidak lama kemudian Lusi dan Bani suaminya datang.
“Eh Bu Sumi, silahkan di minum dulu jusnya Bu,” sapa Bani, kemudian duduk di sofa yang ada di hadapan Sumi.
“Iya, silahkan di minum Bu,” ucap Lusi, seraya duduk di samping suaminya pak Bani.
Kemudian ia meraih jus buah naga miliknya, dan meminumnya seteguk.
Sedari tadi Sumi belum ada minum jusnya sebab menghargai pemilik rumah. Setelah melihat Lusi meminum jusnya, Sumi pun ikut meminum jus miliknya. Jus buah naga segar berhasil lewat dari kerongkongannya. Rasanya segar sekali. Terobatilah sudah rasa penasaran Sumi terhadap bagaimana rasa jus buah naga selama ini.
“Oh ya Bu, ada keperluan apa datang ke mari? tumben sekali,” tanya Pak Bani ramah.
“Iya Bu, tumben, ada apa, katakan saja,” ucap Lusi lembut.
“Begini pak, anu,”
“Anu apa Bu, katakan saja, siapa tahu saya bisa bantu,” ucap Bani.
“Saya lagi butuh uang untuk sekolah anak saya pak Bu, jadi jika pak Bani dan Bu Lusi berkenan saya mau minjam uang sebesar satu juta setengah, jika tidak ada satu juta setengah, berapapun adanya saya akan terima Pak Bu,” ucap Sumi menunduk, ia merasa tidak enakan untuk mengatakan hal itu, tetapi ia terpaksa, anaknya butuh uang untuk bayar tunggakan.
Sementara suaminya Burhan tidak mau tahu mengenai urusan anak-anaknya. Yang Burhan tau hanyalah mengayam bambu, kemudian beli rokok, dan sisanya ia biarkan Sumi yang mencukup-cukupkannya. Cukup tidak cukup, menurut Burhan tanggung jawabnya sudah selesai jika ia sudah bisa memberikan Sumi uang senilai dua puluh lima ribu rupiah setiap harinya.
Dengan kebutuhan ada delapan orang yang harus ia beri makan, di antaranya ia dan istrinya serta ke enam anak-anaknya.
Pak Bani dan Bu Lusi saling pandang.
“Begini Bu, bukannya kami tidak mau membantu, tetapi apa sebelumnya pak Burhan tidak ada cerita ya Bu mengenai hutangnya kepada kami?” tanya pak Bani, yang membuat Sumi sontak mengangkat wajahnya.
“Utang pak?” tanya sumi kaget, selama ini Burhan tidak pernah cerita kalau ia ada hutang kepada pak Bani dan Bu Lusi.
“Hutang apaan ya pak, Bu, saya tidak tahu?” tanya Sumi dengan ekspresi kaget