"Apa dia putrimu yang akan kau berikan padaku, Gan...?!!" ujar pria itu dengan senyuman yang enggan untuk usai.
Deg...!!
Sontak saja otak Liana berkelana mengartikan maksud dari penuturan pria tua berkelas yang berada di hadapannya tersebut.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Itsaku, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Istri Calon Suamiku
Liana menatap dirinya di cermin, dia menghela nafas panjang. Hatinya gusar tak karuan lantaran hari ini dia akan bertemu dengan Haris dan Vanya. Iya, Haris memutuskan untuk bicara serius dengan Liana. Dan Haris membawa serta sang istri.
"Tenang Liana, bukannya kakek sudah bilang istrinya mas Haris tidak keberatan kalau dia menikah lagi. Apa yang kamu takutkan...?!"
Setelah memastikan penampilan sudah cukup enak dipandang mata, Liana segera meraih tasnya dan keluar dari kamar.
"Nona mau pergi?" sapa Anisa yang kebetulan hendak pergi ke kamar Liana.
"Iya, Nisa. Kenapa?" Liana bertanya balik pada Anisa.
"Ah, tidak." Anisa kemudian mendekati Liana. "Tadinya mau ngajak makan seblak." bisik Anisa.
'Ya ampun..., kalian makan saja tanpa aku kali ini. Aku harus segera pergi." jawab Liana sambil tersenyum.
Iya, begitulah para ART di rumah bak istana itu. Setiap kali mereka memasak atau membeli jajanan, mereka selalu minta Anisa untuk memanggil Liana. Dan Liana sangat senang bisa berbaur dengan mereka. Kalau saja tidak ada mereka, mungkin Liana akan mati kebosanan di rumah itu. Begitulah yang sering dia keluhkan pada para ART di sana.
Baru saja Liana melangkah keluar, mobil yang kesayangan kakek tiba. Liana pun menghentikan langkahnya, Anisa mengekor di belakangnya pun sontak berhenti juga. Dia juga mendengar suara mobil kakek Sudibyo.
Liana tampaknya ingin menunggu kakek dan berpamitan pada kakek yang sudah merawatnya belakangan ini. Hampir dua minggu hidup seatap dengan si kakek, Liana sudah merasa nyaman dan bisa legowo hatinya. Tak lagi meratapi nasibnya yang kini berstatus yatim piatu. Karena kakek sangat menyayanginya. Seperti apa yang sudah ayahnya katakan malam itu.
"Kek..." sapa Liana.
"Kamu mau kemana? Kok sudah rapi begini?" tanya kakek sambil memindai penampilan gadis di hadapannya dari atas sampai bawa.
"Mas Haris mengajak bertemu, kek." jawab Liana.
"Kenapa dia tidak menjemputmu saja..." gerutu kakek. "Biar kakek hubungi dia. Mengajak anak gadis orang kok seperti ini." kakek terus bergumam kesal lantaran sikap Haris yang dinilai kurang perhatian sama calon istrinya.
"Kek, jangan!!" cegah Liana dengan cepat.
"Mas Haris mengajak mbak Vanya juga. Kami akan bicara bertiga. Makanya biar aku naik taksi saja. Tidak enak juga kalau semobil sama mbak Vanya, kek..." adu Liana.
"Oh, begitu. Baiklah." jawab kakek tanpa memperpanjang lagi soal itu. Dia mengerti sekali bagaimana perasaan Liana.
"Aku pergi dulu ya, kek. Assalamu'alaikum...!!" pamit Liana sambil mencium punggung tangan kakek Sudibyo.
Setelah berpamitan pada kakek Sudibyo, Liana segera pergi menuju restoran tempat yang sudah dijanjikan.
Tanpa sepengetahuan Liana, kakek Sudibyo mengutus orang-orang kepercayaannya untuk mengikuti kemana Liana pergi. Karena dia sangat mengkhawatirkan gadis kesayangannya tersebut.
___
Jantung Liana berdetak kencang saat memasuki restoran. Dan semakin terpacu setelah dia tiba di ruang VIP yang Haris pesan. Karena melihat Haris dan istrinya sedang bersenda gurau di dalam sana. Dimana Vanya tengah merasa nyaman bersandar pada bahu calon suami Liana.
"Hei..., sini...!" Vanya yang lebih dulu menyadari kehadiran Liana, segera berdiri dan menyambut calon madunya.
Liana mengangguk sambil tersenyum kikuk.
"Duduklah, Liana..." balas Vanya.
"Terimakasih..." jawab Liana yang masih gugup.
"Mas..." Vanya menegur Haris yang hanya sibuk dengan benda pipih di tangannya.
"Pesanlah apapun yang kamu suka." kata Haris kemudian, tanpa mau melihat Liana.
"Ah, tidak perlu. Katakan saja yang ingin mas bicarakan, karena aku tidak bisa berlama-lama." balas Liana.
"Baiklah." Haris langsung bersemangat.
Haris meletakkan ponselnya. Lalu menatap Liana yang ragu-ragu menatapnya.
"Mas..., jangan buat dia takut...!" ujar Vanya dengan lembut.
"Kenapa kamu bersedia menikah denganku?" tanya Haris. "Bukankah kamu sudah tahu aku memiliki istri...?!!"
"Mas...!" Vanya kembali menegur suaminya. Karena yang dia bicarakan justru hal yang mereka sepakati untuk tidak dibahas.
"Kalau kamu ingin menyenangkan hati kakek, harusnya kamu nikahi pria tua itu. Bukan malah setuju menikah sama suami orang!" katanya.
"Mas Haris, cukup!" bentak Vanya.
Vanya beranjak dari kursinya, lalu mendekati Liana dan mengusap bahu Liana dengan lembut. Dia berusaha membuat Liana tenang.
Liana menyingkirkan tangan Vanya dengan sopan. Dia kumpulkan semua keberaniannya lalu berdiri dan menatap Haris penuh percaya diri. Karena dia tidak terima dipojokkan seperti itu.
"Aku sudah katakan pada kakek, ya. Aku bersedia menuruti permintaan kakek. Semata untuk balas budi atas semua kebaikan kakek. Tapi semua keputusan aku serahkan pada mas Haris. Tapi nyatanya apa yang terjadi? Mas juga bersedia bukan? Apa alasan mas Haris melakukan itu? Coba katakan, aku mau dengar!" ujar Liana dengan tegas.
Haris tampak mengepalkan tangannya erat-erat. Jika Liana bukan seorang perempuan, mungkin dia akan menghajar Liana saat itu juga.
Sedangkan Vanya terpaku mendengar ocehan Liana. Dia tidak menyangka Liana bisa berani banyak bicara di hadapan suaminya.
"Jadi sekarang to the point saja. Apa yang ingin kalian katakan?!" Liana menatap Haris dan Vanya bergantian.
Bukannya menjawab pertanyaan Liana, Haris justru memilih hengkang dari hadapan dua perempuan yang membuat rumit hidupnya.
"Duduklah Liana...!" pinta Vanya. "Maafkan sikap mas Haris, ya..." ujarnya sambil tersenyum.
"Katakan sekarang, mbak. Aku tidak bisa berlama-lama. Banyak tugas kuliah." bohongnya.
"Baiklah. Pertama, aku mau jawab pertanyaan kamu. Mas Haris terpaksa menyetujui perjanjian dengan kakek, karena aku menolak menikah secara sah dengannya. " ujar Vanya.
"Aku tahu semuanya, mbak..." jawab Liana pelan.
Vanya pun tetap mempertahankan senyumannya. Senyum yang hangat, tapi memberi kesan ada banyak hal yang dia sembunyikan.
"Syukurlah kalau kamu sudah mengetahui semuanya. Aku hanya berharap kita bisa menjalin hubungan yang baik. Sebentar lagi mas Haris menikah denganmu, yang artinya menjadi milik kita bersama. Semoga kita bisa tetap rukun. Dan bisa saling mengerti dan berbagi." Vanya meraih tangan Liana.
Agak heran mendengar penuturan dan sikap Vanya, begitu batin Liana. Benar yang dikatakan kakek waktu itu. Vanya perempuan aneh.
"Bagaimana bisa mbak serela ini? Harusnya mbak mempertahankan pernikahan ini, dan nggak mengizinkan kehadiran orang ketiga. Tapi mbak justru mengizinkan suami mbak menikah denganku." sahut Liana karena tak habis pikir dengan pola pikir Vanya.
"Biarlah alasannya hanya aku dan mas Haris yang tahu." Vanya tersenyum.
"Sudahkah, cuma itu?" balas Liana kemudian.
"Kamu benar-benar tidak mau makan?" tanya Vanya sekali lagi.
"Siapa yang bisa makan tenang dengan wajah suami mbak yang suram dan emosian itu." balas Liana yang tak bisa menyembunyikan kekesalannya.
"Kamu lupa, dia calon suamimu juga, lho...!" Vanya justru tertawa mendengar Liana mengatai suaminya.
"Haaah..., mbak benar." Liana mendengus pasrah.
"Baiklah-baiklah, aku tidak akan menahanmu lagi. Simpan nomormu. Kita bisa saling berkomunikasi nanti." Vanya menyodorkan ponselnya pada Liana.
Liana mengambil ponsel Vanya, lalu menyimpan kontaknya di sana. Kemudian dia pamit pada Vanya.
"Hati-hati, Ana...!" begitu Vanya memanggilnya. "Kalau sudah sampai kabari aku." ujar Vanya selanjutnya.
Liana tersenyum sambil mengangguk pelan, lalu melambaikan tangannya sebelum keluar.
"Benarkah kakak maduku sehumble itu...?! Kok rasanya impossible banget, yaaa..." ujar Liana dalam hati.
......................