Karena dikhianati, aku trauma terhadap wanita. Ditambah anakku yang masih bayi membutuhkan bantuan seorang 'ibu'. Apa boleh buat, kusewa saja seorang Babysitter. masalahnya... baby sitterku ini memiliki kehidupan yang lumayan kompleks. Sementara anakku bergantung padanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Septira Wihartanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Cemburunya
Aku mengetahui sifat asli Kayla saat ibuku memperlihatkan kamarku.
Yang jarang kutempati.
Karena terlalu banyak kenangan akan Reina di sana.
Bukannya aku tak suka dengan sifat asli Kayla.
Malah sebaliknya.
Ia sangat... cute. Dan pencemburu.
“Ini kamarnya Zaki, tapi sekarang kalau pulang ke sini, dia malah tidur di kamar tamu. Kamar ini belum kami apa-apakan karena bingung, terlalu banyak barang.” Kata ibuku.
“Ibu nggak ambil saja barang-barang Reina.” Kataku.
Ibuku mengibaskan tangan padaku.
“Ibu tidak berhak. Kamu tidak memberikannya ke ibu.” Katanya. “Menurut pengadilan, semua barang ini jadi milik Zaki. Reina hanya boleh mengambil beberapa. Tapi karena dia buron ya akhirnya semua ini tetap di tempatnya. Kami sih menunggu instruksi Zaki saja.” Kata ibuku.
Kayla berdiri mematung sambil menatap kamarku. Ia melayangkan pandangan ke segala arah dalam diam.
“Oke, ibu mau siap-siap arisan dulu, kalian berdua santai saja ya. Nanti malam kita makan di restoran yakiniku yang waktu itu reviewnya ada di TikTok ya. Kalau bisa Kayla menginap di sini ya, Pleeeease? Aku pingin nonton dracin berdua, ada 40 episode kayaknya nggak seru kalau nonton sendirian.” Kata ibuku.
Aku pun menghela nafas saat kami hanya berdua saja. Dan mengernyit saat kupandangi kamar ini.
Setiap sudutnya masih terasa sisa aura percintaan gila dengan mantanku.
Juga ranjang itu... saat aku memergoki Reina yang sedang hamil besar sedang ... hadoooh rasanya ingin keluar saja dari sini! Bisa-bisanya dia membawa dua laki-laki tak dikenal masuk kamar dan tidak ada seorang pun di rumah ini yang tahu?!
Tak tahu atau memang dipaksa agar tutup mulut?!
Yang mana pun semua itu sudah masa lalu.
Mungkin kujadikan saja kamar ini gudang ya? Semacam kloset untuk barang-barang lama.
Kayla memandang dengan wajah cemberut saat melihat ke lemari penuh tas di depannya.
“Pak Zaki masih menyimpan semua ini.” Desisnya.
“Tidak tahu harus saya apakan.” Kataku sambil duduk di kursi meja rias.
“Tidak tahu mau diapakan, atau masih kangen dengan yang pemiliknya?” tanya Kayla.
Aku langsung memperhatikannya.
“Ha?” dengusku.
“Kalau orang lain pasti sudah membuang semua barang kenangan mantan. Apalagi kalau memiliki trauma mendalam tak peduli berapa harganya, seperti saya, cuma bawa barang-barang seperlunya saja. Tapi Pak Zaki sepertinya merawat semua barang ini.”
“Ini semua mahal harganya. Ditotal bisa puluhan miliar.”
“Hanya itu alasannya? Kan bisa dilelang?”
“Nggak ada waktu.”
“Nggak ada waktu atau masih terbayang-bayang?”
Aku diam.
Tunggu...
Nada suaranya berbeda dari yang biasa.
Yang ini terdengar seperti ditekan di akhiran, seakan sedang menyindirku.
“Tidak ada waktunya Kayla sayaaaang." Gumamku mencoba bersabar. “Kamu tahu sendiri waktu saya tersita buat kamu dan Aram, mostly buat kamu, malah.”
“Oh, menyesal ya kenal saya, saya jadi buang-buang waktu bapak?”
Aku melongo.
“Elah maunya apa sih?” sahutku kesal.
“Mau saya nggak penting kok, barang-barang Reina lebih penting kan harganya miliaran.” Gumamnya pelan sambil balik badan ke arah pintu keluar.
Jelas aku tak bisa menerima gumamannya barusan. Bukannya menyinggungku, tapi aku merasa persoalannya jadi menggantung tanpa ada solusi yang tepat kalau ia kubiarkan keluar dari kamar.
Jadi kuraih lengannya dan kuhadapkan dia ke arahku.
Kami saling bertatapan.
Sekilas, ia buang muka.
Dia... ngambek?
Kok bisa dia ngambek gara-gara Tas?!
“Kamu tahu kalau harga satu tas itu bisa memberi makan satu keluarga selama satu bulan sudah foya-foya Gofood tiap hari?” tanyaku lembut.
“Iya terserah Pak Zaki, itu kan istri Pak Zaki dulu. Mau bapak kasih istana juga terserah bapak. Saya kan belum jadi siapa-siapa. Hanya pendapat random saja kok, tak usah dipikirkan.” Katanya, tapi sambil tetap buang muka.
Aku menghela nafas kesal.
Iya aku kesal.
Sekaligus gemas.
Harus kuapakan wanita ini, kenapa dia manis sekali.
Nyerah saja lah...
“Kayla, sayangku. Kalau kamu mau kamu bisa ambil semuanya. Sepatunya juga, pakaiannya juga. Terserah mau kamu apakan.” Akhirnya aku menyerah.
“Oke, kalau sudah diberikan ke saya, mau saya bakar juga tak masalah ya.” Dia malah bilang begini.
“Ya jangan dibakar dong! Itu namanya mubazir!”
“Tuh kan masih ada hati.”
“Ya nggak keleee!” seruku kesal lagi.
“Sepertinya Pak Zaki sejak kemarin ngomel-ngomel terus. Saya pulang saja deh, kehadiran saya mengganggu sepertinya.” Ia meronta minta kulepaskan.
Jelas tak kulepaskan.
Aku malah menciumnya.
Aku memeluknya dan kueratkan dadanya yang se mok itu ke dadaku, lalu kurenggut bibirnya.
Aku lapar. Jelas.
Manisnya bibirnya yang lembab itu menggodaku untuk menyapukan seluruh lidahku ke setiap sudutnya.
Gila! Candu sangat...
Kuremas rambut di bagian belakangnya karena ia meronta seakan ingin lepas dariku.
Tentu saja tidak kuizinkan, aku malah memperdalam lidahku dan kubelit lidah mungilnya sampai ia mendesah.
Tanganku yang bebas turun ke bokongnya, kuremas dan kuangkat sedikit.
Ia ringan sekali. Dengan satu tangan saja tubuhnya sudah terangkat.
Aku berhenti saat ia menghujamkan kukunya ke lenganku.
Ya Ampun, aku lepas kendali.
Loh... kenapa posisi kami sudah di atas kasur?
Kayla memandangku sambil cemberut.
Aku menyeringai.
“Kamu duluan yang mulai.” Gumamku sambil mengecup puncak dadanya.
“Pak Zaki tidak pernah bilang mengenai perasaan Pak Zaki terhadap saya.” Desisnya.
Aku mencibir. Butuh pembuktian apa lagi sih? Aku sudah hampir bunuh orang, banyak orang pula, dia masih minta pembuktian cinta? Apa harus kumusnahkan satu dunia?
“Bilang saja mau kamu apa. Sebentar lagi kita menikah.” kataku. Sabar Zaki, Sabar. Jangan ngomong jorok. Jangan!
“Saya mau satu kalimat. Pak Zaki pasti tahu apa itu.”
Perempuan.
Mau kita serahkan nyawa, mau kita sehidup semati, mau kita rela bunuh diri demi dia. Pasti butuh secara lisan kata-kata :
“Aku sayang kamu, Kayla.” Aku mengecup dahinya.
Rasanya gombal sekali ya. Berasa buaya darat aku.
Namun reaksinya seusai kusebutkan kalimat itu, di luar ekspektasiku.
Ia menangis.
Air matanya jatuh ke pipinya.
Aku tidak yakin kalau salah bicara. Aku sudah menyebutkan sesuai kaidah yang berlaku.
Aku merasa ia menangis karena ada sebab lain. Bukan karena ada yang salah di diriku maupun di ucapanku barusan.
Aku mengelus bahunya yang bergetar, ia masih menunduk sambil terisak.
“Baru...” gumamnya.
Aku menajamkan pendengaranku.
“Baru kali ini ada yang...”
Oke, aku sudah tahu kalimat selanjutnya.
Itu yang dia inginkan selama ini.
Ada yang sayang padanya, bukan karena terpaksa.
Seperti bapak ibunya yang rela menyerahkan nyawa demi keselamatannya.
Aku pun begitu.
“Sekarang ada aku, ada Aram.” Kataku sambil kembali memeluknya. “Kamu hadir untuk kami, kami ada untuk kamu. Aku dan kamu mungkin orang lain, tapi Aram sudah kamu beri setengah nyawamu. Jadi akan selalu ada ikatan di antara kita bertiga sampai kapan pun.”
Ia mengangguk di pelukanku.
“Kayla, dengar...” aku melepaskan pelukan dan menatap wajahnya yang sembab. “Kita buka lembaran baru berdua ya, kita rangkai kenangan bersama. Kita timpa semua masa lalu suram dengan kebahagiaan kita. Aku minta maaf atas masa laluku, seandainya ada yang menyinggung kamu.”
“Buat apa kamu minta maaf sih, kamu kan nggak salah.” Gumam Kayla.
Aku sedikit banyak mengerti tabiat wanita. Kami kaum ‘suami sayang istri’ terbiasa meminta maaf atas kesalahan yang tidak kami lakukan, hanya agar situasi terkendali. Tapi kami ikhlas saja melakukannya karena yang terpenting sang kekasih tersenyum lagi.
“Aku tidak jatuh cinta pada orang lain. Hanya padamu.” Kataku. Kubuang semua harga diriku demi wanita ini. Gombal biarlah, buaya, biarlah. Menye-menye, biarlah. Nggak laki lo, biarlah.
Bodo amat sama pendapat orang.
maaf y Thor bacanya maraton tp untuk like dan komen ngak pernah absen kog 😁😁😁,,,,